Gairah Menantang di Rumah Mertua

Gairah Menantang di Rumah Mertua

last updateLast Updated : 2025-10-10
By:  Allensia MarenUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
15views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Selina menikahi Giovanni hanya untuk satu tujuan: menghancurkan Dusan Mathias, ayah mertuanya. Dengan pesona dan tipu dayanya, ia berhasil membuat Dusan jatuh ke pelukannya.  “Kau menantuku… tapi mengapa tubuh ini hanya menginginkanmu?” bisik Dusan, membuat Selina yakin kemenangannya tinggal selangkah lagi. 

View More

Chapter 1

Chapter 1 | Malam Pertama 

“Ahh…”

Erangan Selina pecah di kamar pengantin bernuansa merah, bercampur dengan derit ranjang yang bergetar mengikuti irama.

Giovanni menindihnya dengan gairah yang membara. Kulit mereka menempel erat. Keringat Giovanni mengalir dari pelipis ke leher Selina. Setiap gerakannya membuat tubuh Selina berguncang, mengikuti irama liar itu.

“Selina… nikmat sekali…” desis Giovanni, bibir pria itu nyaris menyentuh telinganya.

Sementara tubuhnya terseret dalam ritme itu, pikiran Selina melayang beberapa jam ke belakang, saat ia resmi menjadi istri Giovanni Mathias—lelaki tampan, pewaris sah kerajaan bisnis keluarga Mathias Group yang menjadi idaman banyak wanita. 

Namun bagi Selina, pernikahan ini hanyalah pintu untuk menembus dunia keluarga Mathias. 

Setiap senyuman yang ia berikan, setiap sentuhan yang ia mainkan, adalah bagian dari rencananya untuk menyingkap kelemahan mereka, dan pelan-pelan memporakporandakan keluarga itu.

Bayangan wajah ibunya yang koma, ayahnya yang tewas terus membara dalam hatinya. Semua itu menuntunnya pada satu nama : Dusan Mathias, sang ayah mertua. 

“Lebih dalam, Gio…” Selina menjerit lebih keras. Tangannya mencengkeram sprei, pahanya melingkari pinggang Giovanni, menahan agar pria itu masuk lebih dalam.

Tepat saat hampir mencapai puncak, Selina melengkungkan punggungnya, membiarkan suaranya terdengar jelas hingga kamar Dusan yang ada di seberang. 

Malam ini, biarlah semua erangannya jatuh ke telinga ayah mertuanya dan mengusik ketenangan pria itu.

***

Menjelang tengah malam, usai memastikan Giovanni tertidur pulas, Selina turun dari kamar. Ia keluar hanya dengan gaun tidur tipis yang melekat di tubuhnya, sengaja tidak mengenakan bra, membuat lekuknya jelas di bawah cahaya lampu.

Langkah Selina berhenti sejenak di anak tangga terakhir. Asap tembakau dan aroma alkohol bercampur di indera penciuman Selina. 

Ketika sampai di dapur, sosok Dusan Mathias, duduk santai di kursi bar, satu tangan menggenggam gelas bourbon, satunya lagi memegang cerutu menyala. 

Lengan piyama hitamnya digulung, memperlihatkan urat-urat yang masih kokoh. Meski hampir setengah baya, Dusan tetap menjaga tubuh dan gaya hidupnya. Tidak sedikit orang-orang di luar sana masih menganggap Dusan berusia sepuluh tahun lebih muda. Pesonanya di mata wanita tak kalah memikat dibanding Giovanni. 

"Papa Belum tidur?" sapa Selina seraya menerbitkan senyum. Setibanya di meja bar ia membungkuk mengambil gelas di rak bawah.

Saat Selina menegakkan tubuhnya, Dusan tampak menelan ludahnya kasar. Ia berdeham pelan sebelum berkata, “Tidak bisa tidur kalau ramai.”

"Ramai?" tanya Selina memperjelas maksud sang mertua.

"Pengantin baru terlalu bersemangat memadu cinta." Nada suara Dusan terdengar tenang, tapi jelas menyiratkan sindiran bahwa aktivitas panas Selina dan Giovanni tadi telah mengusik tidurnya.

Bagi Selina, itu justru kabar baik, artinya Dusan mendengar setiap erangan yang ia lontarkan.

Selina pura-pura menahan senyum malu, lalu menunduk. “Ah, maaf, Pa. Sepertinya kami… Kelepasan.”

Dusan hanya tersenyum tipis, seolah menganggap itu bukanlah hal penting. “Malam pertama, wajar saja,” katanya, lalu kembali menghisap cerutunya.

Selina segera merapatkan gaun tipisnya, tapi justru membuat bulatan hitam yang menegang semakin jelas. Ia sempat menangkap tatapan Dusan yang jatuh ke sana, meski cepat-cepat pria itu membuang pandangan.

Pura-pura tak menyadari, Selina mengeluarkan dua kantung teh lavender dari saku gaunnya, menaruh satu ke dalam cangkir, lalu menuang air panas dari teko elektrik. Aroma lembut segera menguar, beradu dengan pekatnya asap nikotin yang melingkupi udara di ruangan itu.

“Papa mau?” tanyanya sambil mendongak. “Teh lavender ini bisa membantu tidur lebih nyenyak. Juga lebih sehat daripada bourbon di tangan Papa.”

Dusan menunduk, menatap sebentar pada cairan keemasan yang berputar di dalam sloki. Tanpa banyak ekspresi, ia meletakkannya di meja bar. “Kalau begitu, buatkan satu. Tanpa gula,” ucapnya, sambil mengetuk abu cerutu ke asbak.

“Kebetulan belum ditambahkan gula. Ini untuk Papa, Selina bisa buat lagi.” Ia menyerahkan cangkir pertama yang sudah terisi, lalu beralih mengambil cangkir lain. 

Cangkir di rak bawah sudah habis, membuat Selina terpaksa berbalik untuk meraih ke kabinet atas. Saat tubuhnya membelakangi Dusan, pantulan samar di permukaan kulkas stainless menampakkan sosok pria itu. 

Dari sana, ia bisa melihat bagaimana Dusan sedang menyeruput tehnya, tetapi matanya tak lepas dari punggung dan gaun tidur tipis yang hanya jatuh sampai paha Selina.

Saat itu juga, Selina memanfaatkan momen. Cangkir yang hampir ia raih tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh pecah di lantai.

“Aduh!” Selina meringis kecil, refleks berjingkat. Suara pecahan membuat Dusan mengangkat kepalanya..

“Ma—maaf, Pa. Selina akan membereskannya.” Selina segera berjongkok, mengumpulkan serpihan keramik cangkir. Namun tanpa sepengetahuan Dusan, ia sengaja menekan pinggiran tajam, membuat kulit jarinya robek.

“Ahh!” Selina menarik tangannya, kemudian meniup telunjuk yang sudah berlumur darah segar.

Dusan segera mematikan rokoknya, lalu bangkit dan berjongkok di belakangnya. Jemarinya meraih tangan Selina, memeriksa luka yang cukup mengucurkan banyak darah itu.

“Lukanya cukup dalam.” Suaranya terdengar khawatir. Ia bangkit sejenak, mengambil kotak P3K dari laci, lalu kembali untuk membalut luka Selina dengan hati-hati.

"Papa—"

“Jangan bergerak dulu.” Suara Dusan terdengar berat. Seketika Selina mengatupnya bibirnya.

Saat Dusan membersihkan jarinya dengan alkohol, Selina refleks mundur sedikit. Punggungnya tersentuh dada bidang Dusan, jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangat tubuh pria itu. 

Dusan sempat terdiam beberapa detik, menatap Selina dengan tenang, sebelum kembali membalut luka itu dengan telaten. 

Selina menahan senyum tipis, ia sadar betapa rapatnya mereka dalam momen itu. Ia bisa merasakan detak jantung  Dusan yang lebih cepat.

“Lain kali hati-hati,” ucap Dusan akhirnya.

Selina mendongak, tersenyum tipis. “Kalau Papa yang obati, Selina jadi ingin ceroboh lagi.”

Dusan tidak banyak bereaksi kecuali sudut bibir yang bergerak tipis. Setelah selesai, ia lalu membantu Selina berdiri dan menaruh kembali kotak P3K ke tempat semula.

“Maaf, Pa, sudah merepotkan Papa,” ujar Selina, menundukkan kepalanya..

Dusan hanya mengangguk. “Buatlah yang baru. Pecahannya biar Papa yang bereskan.”

“Pa, tapi—”

“Bibi sudah tidur, tidak enak membangunkannya.”

Selina mengangguk patuh, lalu memeriksa air panas di teko. Saat ia menunduk sedikit, sebuah bayangan tinggi muncul di belakangnya. Dusan berdiri begitu dekat, hingga hangat napasnya menyapu tengkuk Selina.

Sebuah cangkir disodorkan melewati sisi tubuhnya, lalu diletakkan di atas meja marmer tepat di depan Selina. Gerakan sederhana itu membuat tubuhnya seakan terperangkap di antara dada bidang Dusan dan meja yang dingin.

“Sepertinya kamu sangat suka bunga lavender?” suara Dusan terdengar rendah di dekat telinganya. 

Kedua telapak tangan Dusan menempel di permukaan meja, kanan dan kiri tubuh Selina, membuat wanita itu seolah terkurung dalam bayangannya. Tubuh pria itu berdiri rapat di belakangnya, cukup dekat hingga Selina bisa merasakan hembusan napas hangat di tengkuknya.

“Mm… sejak kecil Selina sering insomnia. Ibu selalu menaruh bunga lavender di kamar. Dari situlah Selina terbiasa, bahkan sampai mengganti semua barang dengan aroma itu.”

Tangan Selina meraih rambut yang jatuh ke depan, menyelipkannya ke belakang telinga, membuat lehernya terekspos di bawah napas hangat Dusan. “Kenapa Papa bertanya begitu?"

“Sepertinya papa juga mulai suka Lavender,” bisik Dusan, napas hangatnya menggelitik telinga Selina. Tubuhnya kian merapat, kedua tangannya masih menahan Selina di antara meja dan dadanya.

Selina nyaris memejamkan mata ketika suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

“Sayang? Apa kamu di dapur?” suara itu membuat keduanya seketika mematung, tubuh mereka menegang dan jarak yang tadinya nyaman terasa mendadak canggung.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status