LOGINSelina menikahi Giovanni hanya untuk satu tujuan: menghancurkan Dusan Mathias, ayah mertuanya. Dengan pesona dan tipu dayanya, ia berhasil membuat Dusan jatuh ke pelukannya. “Kau menantuku… tapi mengapa tubuh ini hanya menginginkanmu?” bisik Dusan, membuat Selina yakin kemenangannya tinggal selangkah lagi.
View More“Ahh…”
Erangan Selina pecah di kamar pengantin bernuansa merah, bercampur dengan derit ranjang yang bergetar mengikuti irama.
Giovanni menindihnya dengan gairah yang membara. Kulit mereka menempel erat. Keringat Giovanni mengalir dari pelipis ke leher Selina. Setiap gerakannya membuat tubuh Selina berguncang, mengikuti irama liar itu.
“Selina… nikmat sekali…” desis Giovanni, bibir pria itu nyaris menyentuh telinga Selina.
Sementara tubuhnya terseret dalam ritme itu, pikiran Selina melayang beberapa jam ke belakang, saat ia resmi menjadi istri Giovanni Mathias—lelaki tampan, pewaris sah kerajaan bisnis keluarga Mathias Group yang menjadi idaman banyak wanita.
Namun bagi Selina, pernikahan ini hanyalah pintu untuk menembus dunia keluarga Mathias.
Setiap senyuman yang ia berikan, setiap sentuhan yang ia mainkan, adalah bagian dari rencananya untuk menyingkap kelemahan mereka, dan pelan-pelan memporakporandakan keluarga itu.
Bayangan wajah ibunya yang koma, ayahnya yang tewas terus membara dalam hatinya. Semua itu menuntunnya pada satu nama : Dusan Mathias, sang ayah mertua.
“Lebih dalam, Gio…” Selina menjerit lebih keras. Tangannya mencengkeram sprei, pahanya melingkari pinggang Giovanni, menahan agar pria itu masuk lebih dalam.
Tepat saat hampir mencapai puncak, Selina melengkungkan punggungnya, membiarkan suaranya terdengar jelas hingga kamar Dusan yang ada di seberang.
Malam ini, biarlah semua erangannya jatuh ke telinga ayah mertuanya dan mengusik ketenangan pria itu.
***
Menjelang tengah malam, usai memastikan Giovanni tertidur pulas, Selina turun dari kamar. Ia keluar hanya dengan gaun tidur tipis yang melekat di tubuhnya, sengaja tidak mengenakan bra, membuat lekuknya jelas di bawah cahaya lampu.
Langkah Selina berhenti sejenak di anak tangga terakhir. Asap tembakau dan aroma alkohol bercampur di indera penciuman Selina.
Ketika sampai di dapur, sosok Dusan Mathias, duduk santai di kursi bar, satu tangan menggenggam gelas bourbon, satunya lagi memegang cerutu menyala.
Lengan piyama hitamnya digulung, memperlihatkan urat-urat yang masih kokoh. Meski hampir setengah baya, Dusan tetap menjaga tubuh dan gaya hidupnya. Tidak sedikit orang-orang di luar sana masih menganggap Dusan berusia sepuluh tahun lebih muda. Pesonanya di mata wanita tak kalah memikat dibanding Giovanni.
"Papa Belum tidur?" sapa Selina seraya menerbitkan senyum. Setibanya di meja bar ia membungkuk mengambil gelas di rak bawah.
Saat Selina menegakkan tubuhnya, Dusan tampak menelan ludahnya kasar. Ia berdeham pelan sebelum berkata, “Tidak bisa tidur kalau ramai.”
"Ramai?" tanya Selina memperjelas maksud sang mertua.
"Pengantin baru terlalu bersemangat memadu cinta." Nada suara Dusan terdengar tenang, tapi jelas menyiratkan sindiran bahwa aktivitas panas Selina dan Giovanni tadi telah mengusik tidurnya.
Bagi Selina, itu justru kabar baik, artinya Dusan mendengar setiap erangan yang ia lontarkan.
Selina pura-pura menahan senyum malu, lalu menunduk. “Ah, maaf, Pa. Sepertinya kami… Kelepasan.”
Dusan hanya tersenyum tipis, seolah menganggap itu bukanlah hal penting. “Malam pertama, wajar saja,” katanya, lalu kembali menghisap cerutunya.
Selina segera merapatkan gaun tipisnya, tapi justru membuat bulatan hitam yang menegang semakin jelas. Ia sempat menangkap tatapan Dusan yang jatuh ke sana, meski cepat-cepat pria itu membuang pandangan.
Pura-pura tak menyadari, Selina mengeluarkan dua kantung teh lavender dari saku gaunnya, menaruh satu ke dalam cangkir, lalu menuang air panas dari teko elektrik. Aroma lembut segera menguar, beradu dengan pekatnya asap nikotin yang melingkupi udara di ruangan itu.
“Papa mau?” tanyanya sambil mendongak. “Teh lavender ini bisa membantu tidur lebih nyenyak. Juga lebih sehat daripada bourbon di tangan Papa.”
Dusan menunduk, menatap sebentar pada cairan keemasan yang berputar di dalam sloki. Tanpa banyak ekspresi, ia meletakkannya di meja bar. “Kalau begitu, buatkan satu. Tanpa gula,” ucapnya, sambil mengetuk abu cerutu ke asbak.
“Kebetulan belum ditambahkan gula. Ini untuk Papa, Selina bisa buat lagi.” Ia menyerahkan cangkir pertama yang sudah terisi, lalu beralih mengambil cangkir lain.
Cangkir di rak bawah sudah habis, membuat Selina terpaksa berbalik untuk meraih ke kabinet atas. Saat tubuhnya membelakangi Dusan, pantulan samar di permukaan kulkas stainless menampakkan sosok pria itu.
Dari sana, ia bisa melihat bagaimana Dusan sedang menyeruput tehnya, tetapi matanya tak lepas dari punggung dan gaun tidur tipis yang hanya jatuh sampai paha Selina.
Saat itu juga, Selina memanfaatkan momen. Cangkir yang hampir ia raih tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh pecah di lantai.
“Aduh!” Selina meringis kecil, refleks berjingkat. Suara pecahan membuat Dusan mengangkat kepalanya..
“Ma—maaf, Pa. Selina akan membereskannya.” Selina segera berjongkok, mengumpulkan serpihan keramik cangkir. Namun tanpa sepengetahuan Dusan, ia sengaja menekan pinggiran tajam, membuat kulit jarinya robek.
“Ahh!” Selina menarik tangannya, kemudian meniup telunjuk yang sudah berlumur darah segar.
Dusan segera mematikan rokoknya, lalu bangkit dan berjongkok di belakangnya. Jemarinya meraih tangan Selina, memeriksa luka yang cukup mengucurkan banyak darah itu.
“Lukanya cukup dalam.” Suaranya terdengar khawatir. Ia bangkit sejenak, mengambil kotak P3K dari laci, lalu kembali untuk membalut luka Selina dengan hati-hati.
"Papa—"
“Jangan bergerak dulu.” Suara Dusan terdengar berat. Seketika Selina mengatupnya bibirnya.
Saat Dusan membersihkan jarinya dengan alkohol, Selina refleks mundur sedikit. Punggungnya tersentuh dada bidang Dusan, jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangat tubuh pria itu.
Dusan sempat terdiam beberapa detik, menatap Selina dengan tenang, sebelum kembali membalut luka itu dengan telaten.
Selina menahan senyum tipis, ia sadar betapa rapatnya mereka dalam momen itu. Ia bisa merasakan detak jantung Dusan yang lebih cepat.
“Lain kali hati-hati,” ucap Dusan akhirnya.
Selina mendongak, tersenyum tipis. “Kalau Papa yang obati, Selina jadi ingin ceroboh lagi.”
Dusan tidak banyak bereaksi kecuali sudut bibir yang bergerak tipis. Setelah selesai, ia lalu membantu Selina berdiri dan menaruh kembali kotak P3K ke tempat semula.
“Maaf, Pa, sudah merepotkan Papa,” ujar Selina, menundukkan kepalanya..
Dusan hanya mengangguk. “Buatlah yang baru. Pecahannya biar Papa yang bereskan.”
“Pa, tapi—”
“Bibi sudah tidur, tidak enak membangunkannya.”
Selina mengangguk patuh, lalu memeriksa air panas di teko. Saat ia menunduk sedikit, sebuah bayangan tinggi muncul di belakangnya. Dusan berdiri begitu dekat, hingga hangat napasnya menyapu tengkuk Selina.
Sebuah cangkir disodorkan melewati sisi tubuhnya, lalu diletakkan di atas meja marmer tepat di depan Selina. Gerakan sederhana itu membuat tubuhnya seakan terperangkap di antara dada bidang Dusan dan meja yang dingin.
“Sepertinya kamu sangat suka bunga lavender?” suara Dusan terdengar rendah di dekat telinganya.
Kedua telapak tangan Dusan menempel di permukaan meja, kanan dan kiri tubuh Selina, membuat wanita itu seolah terkurung dalam bayangannya. Tubuh pria itu berdiri rapat di belakangnya, cukup dekat hingga Selina bisa merasakan hembusan napas hangat di tengkuknya.
“Mm… sejak kecil Selina sering insomnia. Ibu selalu menaruh bunga lavender di kamar. Dari situlah Selina terbiasa, bahkan sampai mengganti semua barang dengan aroma itu.”
Tangan Selina meraih rambut yang jatuh ke depan, menyelipkannya ke belakang telinga, membuat lehernya terekspos di bawah napas hangat Dusan. “Kenapa Papa bertanya begitu?"
“Sepertinya papa juga mulai suka Lavender,” bisik Dusan, napas hangatnya menggelitik telinga Selina. Tubuhnya kian merapat, kedua tangannya masih menahan Selina di antara meja dan dadanya.
Selina nyaris memejamkan mata ketika suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.
“Sayang? Apa kamu di dapur?” suara itu membuat keduanya seketika mematung, tubuh mereka menegang dan jarak yang tadinya nyaman terasa mendadak canggung.
Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi. Tatapan Selina terpaku pada Giovanni yang kini wajahnya menegang. Ia tak berani menebak-nebak maksud ucapan itu, khawatir dugaannya justru mengundang badai yang lebih besar.Giovanni mengetukkan jarinya di marmer, rahangnya bergerak pelan seolah menahan kalimat yang ingin keluar.Hingga akhirnya, Giovanni mengacak rambutnya frustasi."Aku sebenarnya nggak mau mempermasalahkan." Giovanni berhenti sebentar, menatap tubuh Selina yang terpaku di hadapannya."Tapi dengar cara kamu bicara sama Mama tadi, terus laporan dari Mama, kalau kamu sering pulang terlambat, dan nggak bantu Mama masak, padahal kamu sendiri yang larang Bi Mirna menginap..."Giovanni menghela napas berat, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Kamu juga jangan semaunya begitu, Sayang. Kalau kamu nggak sanggup setidaknya bilang biar Bi Mirna yang kerjakan sebelum pulang kasihan Mama kalau harus backup kerjaan rumah."Selina memejamkan mata. Rahangnya menegang, giginya saling
"Mama mau minta maaf, Pa."Selina melipat kedua tangannya di depan dada, menyimak dengan seksama percakapan kedua mertuanya dari balik pintu. Meski suara itu hanya sayup-sayup, tetapi gendang telinganya masih sanggup menangkap setiap kata dengan jelas."Mama sudah salah paham dan menuduh Papa yang enggak-enggak. Mama kebawa emosi sesaat dan jadi berlebihan. Maafin Mama, Pa. Jangan diamkan Mama kayak gini."Bibir Selina berkedut menahan senyum, membayangkan ekspresi Marissa yang mungkin sedang tertunduk di depan Dusan yang tengah menatapnya dingin. Beberapa saat kemudian, terdengar hela napas kasar dan berat. "Kita bicara di dalam," kata Dusan, diikuti suara pintu yang tertutup.Selina mendesah kecewa karena tak bisa mendengar kelanjutan percakapan itu. Namun perasaan itu segera sirna ketika suara langkah kaki lain—yang sudah pasti milik Giovanni—terdengar mendekat.Dengan cepat, Selina melesat ke kamar mandi dan meraih sikat gigi.Baru saja Selina menekan tube pasta gigi, suara kenop
Langit sudah memerah ketika mobil Selina melintas melewati gerbang keluarga Mathias.Begitu memasuki ruang tengah, ia mendapati Marissa sedang menata makanan di meja makan. Selina mempercepat langkahnya, menghampiri wanita itu.“Mama, maaf ya, Selina pulangnya terlambat,” ujar Selina seraya menaruh tas kerjanya sembarangan di bar, lalu mencuci tangan di wastafel.Marissa sempat mendongak, lalu kembali berkutat dengan piring-piring di depannya. “Nggak apa-apa, Selina. Mama juga cuma masak yang ringan aja kok, sapi lada hitam kesukaan Papa.”Selina mengangguk kecil, mengambil selembar tisu dapur untuk mengeringkan tangannya sebelum ikut membantu menyusun piring-piring berisi makanan ke meja.Ketika pekerjaannya sudah diambil alih, Marissa beralih mengambil cangkir dan berjalan menuju bar. “Selina, tas kamu Mama pindahin, ya? Mama mau pakai mesin kopi, takut nanti kena noda,” ujar Marissa sambil menoleh sekilas.“Turunkan saja, Ma, nggak apa-apa kok,” jawab Selina cepat.Ia memang senga
Dari balik layar teleponnya, Ersa terlihat menghela napas panjang. “Dia nanyain soal kesuburanmu dan Giovanni. Apa beliau tahu kalian pernah periksa ke rumah sakit? Dia bertanya agak banyak soal kalian.” Selina memutar bola matanya malas. Tangan kirinya terangkat, memijat pelipis yang mendadak terasa berat tetapi pada akhirnya kepalanya mengangguk. “Giovanni sempat bilang mau ke rumah sakit waktu itu," jawab Selina dengan hela napas malas. "Tapi kenapa tiba-tiba Marissa nanya soal kesuburanku? Hari-hari sebelumnya nggak ada pembahasan soal anak sama sekali." Di layar, Ersa mengangkat alis sambil menggeleng pelan. “Kayaknya itu cuma pembuka obrolan. Basa-basi gitu biar nggak terlalu to the point. Karena setelah itu… kami justru diskusi seputar masalah-masalah beliau.” Selina spontan condong ke depan, wajahnya mendekat ke kamera sampai Ersa bisa melihat jelas kerutan kecil di antara alisnya. “Memangnya dia ada masalah apa?” Ersa membalas senyum kecil sambil meraih sebuah b
"Ya, suruh beliau masuk," ujar Selina dari dalam ruangan. Wanita itu segera menutup aplikasi kamera pemantau dan beralih membuka desainnya. Selina memasang wajah tenangnya, berpura-pura sibuk pada desain hair pin wedding yang ada di layar gawai. Tak lama kemudian terdengar suara Shifa mempersilakan Dusan masuk dan membuka pintu. Disusul dengan tawaran minum yang ditolak oleh Dusan. Hingga Suara langkah berhenti di depannya. Selina mengangkat wajah dan melihat Dusan berdiri di depannya dengan raut yang keruh dan sorot mata yang tajam."Papa?” Selina melepas earphone. Ia bangkit dari tempat duduknya, membiarkan kursi di belakang bergeser akibat dorongan tubuhnya. “Kenapa Papa ke sini? Gimana urusan Mama?”Dusan meletakkan sebuah pouch hitam di meja sebelum menyandarkan punggungnya di sofa. Hela napas kasar meluncur dari bibir pria itu. "Sudah beres," katanya singkat sebelum memejamkan matanya. Senyum bulan sabit menghiasi wajah Selina. Ia mendudukkan dirinya di samping Dusan. Ibu j
Tiba di galeri, Selina langsung menutup ruang kerjanya dan melarang siapa pun mengganggunya. Bukan untuk bekerja—laptopnya bahkan tak tersentuh. Ia hanya ingin mengamati sejauh mana api kecil yang tadi ia lemparkan sudah menjalar. Selepas menjatuhkan diri ke kursi, Selina menyilangkan kaki lalu menyalakan tablet kerja dan memasang earphonenya di telinga. Senyum tipis muncul ketika rekaman CCTV menampilkan Marissa dan Dusan yang sudah tiba di apartemen, mereka berdiri saling berhadapan di ruang tamu. "Papa ngapain di apartemen pagi-pagi begini?" suara Marissa tidak memiliki penekanan, tetapi sepasang matanyanya berkeliling mengamati setiap sudut ruangan itu. "Ambil berkas," kata Dusan datar, lalu meletakkan beberapa map ke meja, seolah menunjukkan bukti bahwa dirinya memang datang dengan tujuan mengambil dokumen. Marisa melipat kedua tangannya di dada, ia maju selangkah mendekat ke arah suaminya. "Seandainya Mama nggak datang ke sini, apa Papa beneran ambil berkas?" sel












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments