Marc masih terlihat sibuk mondar-mandir ke rumah sakit. Belum ada satu pun pendonor
yang cocok untuk Daddy-nya, meski sudah banyak yang mengajukan diri.Sarah mendapat giliran pemeriksaan di akhir pekan. Ia harus berpikir keras bagaimana
caranya pergi agar tidak diketahui Marc. Sarah tau, Lucy tidak akan mau menerima ginjalnya. Jadi, lebih baik ia terus merahasiakan ini.“Apa ada kabar dari rumah sakit?” Sarah bertanya saat menelepon Marc.
“Belum ada yang cocok.” Marc menjawab dengan hembusan napas berat.
Satu hari telah berlalu. Dengan kompensasi besar sebagai pendonor, sebenarnya
membuat banyak orang tertarik. Sayangnya, belasan orang yang dites, tidak satu pun cocok untuk menjadi pendonor.“Ya, sudah. Semoga malam ini ada kabar baik. Kamu jaga kesehatan, ya.”
“Hem.”
Sarah menutup saluran telepon. Marc semakin dingin dengannya. Jika tidak ditelepon,
suaminya itu tidak akan memberi kabar. Padahal sebelumnya, Marc cukup hangat karena lelaki itu cukup dekat dengan mendiang ayah Sarah seperti Sarah dekat dengan Papa Marc.Sebelum tidur, Sarah menonton tayangan berita televisi. Foto Frank terpampang
dengan informasi bahwa lelaki yang terkenal dermawan dan memiliki banyak yayasan sosial itu kini sedang sekarat dan membutuhkan donor ginjal dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.Air mata mengalir di pipi Sarah. Kepalanya menggeleng membayangkan keadaan Papa
mertuanya saat ini. Ia sangat berharap ada keajaiban yang membuatnya tidak lagi kehilangan sosok seorang ayah.*****
Pagi-pagi sekali, Sarah sudah berada di rumah sakit. Dengan pakaian tertutup, ia
menghampiri seorang suster yang merupakan kenalannya. Suster tersebut meminta Sarah menunggu.“Jadi, kamu mendaftar menjadi pendonor juga?”
“Heii!” Sarah menoleh cepat karena kertas pendaftaran tes direbut seseorang.
Marsha dan Tinna, Kakak dan ibu tirinya berdiri di belakang. Keduanya masih
mengamati kertas di tangan Marsha.“Kembalikan!” Sarah merebut kertas yang dipegang Marsha.
“Baguslah kalau kamu ikut menjadi pendonor. Semoga saja cocok. Uang kompensasi
bisa kamu gunakan untuk membayar hutang-hutang Papamu.” Tinna berkata ketus.“Hah? Hutang?” Sarah menggeleng tak percaya mendengar Papanya memiliki hutang.
“Banyak! Papamu memiliki banyak hutang. Itu sebabnya aku juga mendaftar menjadi
pendonor.” Marsha melambaikan kertas pendaftaran di depan wajah Sarah.Ibu dan kakak tiri Sarah kemudian mengungkit-ungkit biaya pengobatan ayah Sarah.
Mereka berkata bahwa semuanya masih belum lunas. Rumah yang mereka tempati pun ternyata masih menyicil.“Kamu benar-benar pembawa sial di mana pun berada. Bahkan sekarang, keluarga
Carrington pun mendapat musibah setelah kamu menjadi istri Marc.”Setelah menghina Sarah, kakak dan ibu tirinya pergi meninggalkannya. Telinga Sarah
panas. Tina memang sering mengatainya memiliki aura buruk yang mendatangkan kemalangan.Bersama seorang suster, Sarah diperiksa di ruang tersendiri. Beberapa jam kemudian,
jantung Sarah berdebar kencang menerima hasil tes. Ternyata, ginjalnya cocok dengan Papa mertuanya.Sarah tau ia akan segera dioperasi mengingat Frank memang membutuhkan ginjal baru
secepatnya. Ia mengangguk setuju saat diminta bersiap. Sebelum masuk ke ruang operasi, Sarah meminta izin untuk menelepon Marc.Sarah harus berbohong pada Marc. Mengatakan bahwa ia pergi ke luar kota untuk
menemui seorang teman.“Sekarang?” Marc terdengar bingung.
“Maaf mendadak. Mungkin satu bulan aku akan berada di luar kota.” Sarah sungguh
merasa tak enak hati karena kebohongannya.“Terserah. Aku baru saja mendapat kabar, Papa mendapat donor. Aku harus mengurus
segalanya di rumah sakit.”Sarah mengucapkan rasa syukurlah mendengar kabar tersebut. Ia mengucapkan doa
agar operasi berhasil. Marc tidak berkomentar lagi dan malah menutup teleponnya secara sepihak.Detak jantung Sarah menguat saat ia dipersiapkan di ruang bedah. Ia sedikit gentar
mengingat sebelumnya tidak pernah menjalani operasi. Matanya memicing saat melihat ibu tirinya tampak mendampingi di rumah sakit.Tinna menatap sinis pada anak tirinya. “Ingat Sarah, Jangan meminta uang kompensasi
ginjalmu. kita akan menggunakannya untuk menolong mendiang ayahmu membayar hutang-hutangnya. Aku datang untuk mengurus administrasi.”Sarah menatap punggung Tinna yang menjauh. Mungkin Ibu tirinya itu benar. Mereka
membutuhnya uang yang banyak. Hidupnya memang serba kekurangan. Meskipun ia melihat ibu dan kakak tirinya masih bisa bergaya sosial tinggi, yang menurut Marsha karena ia bekerja keras. Tentu saja Sarah tidak percaya.Memangnya gaji seorang staff administrasi bisa untuk membeli barang-barang branded,
mobil atau liburan seperti yang dilakukan Marsha dan Tinna? Entah dari mana uang-uang itu mereka dapatkan, Sarah tidak pernah mau tau.Di dalam ruang operasi, Sarah melirik ranjang hidrolik di sampingnya. Seorang lelaki
tua yang terlihat lemah, tersenyum. Bibir pucat lelaki itu bergerak perlahan mengucapkan terima kasih sebelum kedua matanya terpejam.Mungkin karena pengaruh obat, Frank seperti tidak mengenali Sarah. Dengan satu
hembusan napas panjang, Sarah mengangguk saat dokter anestesi berkata proses bedah akan dimulai. Sarah menutup mata.“Marsha Abigail, 27 tahun, status aman. Siap menjadi pendonor ginjal untuk Tuan Frank
Carrington.”Kalimat itu masih terdengar oleh Sarah. Namun karena pengaruh obat bius yang
membuat kesadarannya mulai berkurang, ia hanya bisa menggumam dalam hati.“Tidak. Kenapa namaku jadi Marsha?”
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu