Menikah karena perjodohan yang dilakukan antara ayahnya dan papa Marc--sang suami, membuat pernikahannya tidak semulus pernikahan pasangan yang penuh cinta. Marc memang hangat, tetapi sejak ayahnya meninggal dan papanya sakit parah, pria itu berubah jadi dingin. Belum lagi, mertuanya yang tidak menyukai Sarah, karena dianggap pembawa sial, dan wanita dari kasta yang berbeda. Suatu hari, ketika papa mertuanya membutuhkan donor ginjal segera, Sarah berpikir tidak ada salahnya membalas kebaikan sang mertua. Namun, tentu saja ia melakukannya secara diam-diam karena khawatir dilarang oleh suami, ataupun mama mertuanya. Sarah meminta agar identitasnya dirahasiakan. Namun, hal itu ternyata dimanfaatkan oleh seseorang untuk mengeruk keuntungan. Bagaimanakah nasib Sarah? Mampukan ia mengungkap kebenaran yang sebenarnya?
View More“Jadi, malam ini kamu tidak pulang lagi?” Sarah berusaha menahan sesak di dada dan melirik Marc.
Lelaki tampan yang berstatus suaminya itu sedang mengepak pakaian ke dalam koper. Pagi tadi, ia baru saja pulang dan membawa satu tas penuh baju kotor.
“Kamu tau, aku harus menjaga Papa.”
“Bukankah sudah ada tim dokter dan beberapa perawat yang menjaga Papa?” Sarah menyahut dengan nada keberatan.
Bagaimana tidak? Mereka baru menikah satu bulan yang lalu. Satu minggu kemudian, Papa mertuanya sakit dan sejak itu kesehatannya terus menurun. Marc yang merupakan anak tunggal kemudian sering meninggalkan Sarah sendirian untuk menjaga Papanya.
“Kenapa kamu seperti tidak suka aku menjaga Papaku?” Marc membalas dengan tatapan dinginnya pada Sarah.
Sarah tersentak sedikit melihat sikap Marc. “Bukan begitu. Kita baru saja menikah, tetapi sangat jarang bersama.”
“Kita menikah karena dijodohkan, apa yang mau kamu harapkan?” Marc telah selesai berkemas. Ia menatap Sarah tanpa senyum.
Akhirnya, Sarah tidak menyahut lagi. Rasanya percuma ia meminta perhatian dari suaminya sendiri. Ia mengikuti Marc keluar kamar.
Paling tidak, Marc bersedia sarapan bersamanya. Sarah melayani suaminya makan dan tidak lagi bertanya-tanya tentang kepergian Marc.
Belum selesai makan, ponsel Marc berdering pelan. Sarah melirik layar ponsel dan melihat nama Mama mertuanya di sana. Tentu saja Marc langsung menjawab panggilan telepon tersebut.
Tidak banyak yang Marc ucapkan. Sarah melihat suaminya hanya berkali-kali berkata, ‘iya’ dan mengangguk pelan. Ia menduga pasti Mama mertuanya sedang mengabarkan kondisi Papa.
“Ada apa?” Sarah bertanya saat Marc telah selesai bicara pada alat komunikasinya.
“Kondisi Papa memburuk karena menolak cuci darah.” Marc membalas sambil memijat keningnya.
Sarah tampak prihatin. “Papa juga bilang begitu saat terakhir kali cuci darah. Merasa tubuhnya malah semakin sakit setelah proses itu dilakukan.”
Setelah itu, Marc tidak melanjutkan sarapan. Sarah mengelap ujung bibirnya saat melihat Marc berdiri dan hendak pergi.
“Bagaimana kalau aku ikut saja?” Sarah menawarkan diri. “Siapa tau aku bisa membujuk Papa.”
‘Ya, sudah. Cepatlah.” Marc mengangguk setuju.
Segera, Sarah pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Tidak butuh waktu lama, Sarah telah siap. Pakaiannya sederhana dan wajahnya tanpa make-up.
Dalam perjalanan, Sarah dan Marc saling berdiam diri. Marc lebih sering menatap ponselnya. Sementara Sarah memiliki mengamati jalanan.
Di rumah sakit, Sarah bertemu dengan Lucy, Mama mertuanya. Wajah wanita setengah baya itu terlihat ketus saat melihat ia datang.
Lucy adalah salah satu orang yang menolak perjodohan Sarah dan Marc. Ia bahkan membenci Sarah yang dianggap tidak akan membawa keberuntungan bagi keluarga.
“Kenapa kau bawa-bawa wanita pembawa sial ini?” Lucy menggeram kesal dengan mata menatap tajam pada Sarah.
“Sarah izin menjenguk Papa, Ma.” Sarah menunduk santun pada Mama mertuanya.
“Jangan!” Lucy menolak keras keinginan Sarah. “Nanti kondisi Papa malah semakin memburuk karena kedatanganmu.”
Dengan nada kesal, Lucy membentak Sarah. Berkata bahwa sejak dirinya masuk menjadi bagian keluarga, musibah selalu saja datang. Lalu, menghinanya dengan tatapan remeh dengan mengejek, ia tidak pantas menjadi istri Marc.
“Sejak awal aku tidak pernah setuju kau menikahi putraku. Bercerminlah, Sarah. Bahkan pegawai Marc di kantor saja lebih cantik dibanding kau!” Lucy melirik penampilan Sarah dari ujung rambut hingga kaki, lalu menarik tangan Marc untuk masuk ke ruang perawatan Frank.
Akhirnya, Sarah hanya duduk di depan kamar. Lucy memang tidak pernah menyukainya. Sarah tidak mengerti mengapa.
Sesungguhnya ia juga bisa mengerti apa yang dirasakan Marc saat ini. Orang tua kandung Sarah juga pernah dirawat hingga meninggal dunia di rumah sakit ini. Ibunya telah lebih dulu pergi saat ia berumur tujuh tahun.
Permintaan terakhir ayah Sarah adalah melihat putri kandungnya menikah. Didesak oleh rasa kasihan dan pertemanan, Frank membujuk Sarah dan Marc untuk mengabulkan keinginan teman dekatnya itu. Beberapa jam setelah Sarah dan Marc menikah, ayah Sarah meninggal dengan senyum di wajah.
Tidak ada waktu berduka bagi Sarah. Setelah ayahnya dimakamkan, ia langsung diboyong ke rumah pribadi Marc dan menjalankan perannya sebagai seorang istri.
Sebenarnya, ayah Sarah telah menikah kembali dengan teman Lucy. Ibu tirinya membawa anak perempuan mereka yang memiliki selisih umur hanya dua tahun dengan Sarah. Namun, mereka tidak pernah akrab. Bahkan seringkali tidak adil dan menghina Sarah.
“Mama pulang dulu. Tolong urus prosedur donor ginjal untuk papamu, ya.“
Sarah mendongak. Karena melamun, ia tak sadar Marc dan Lucy telah keluar dari kamar perawatan. Lucy pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya.
“Papa butuh donor ginjal?” Sarah bertanya pada Marc.
Marc hanya mengangguk singkat. Lelaki itu kini sibuk dengan laptop. Sarah melihat pengumuman untuk mencari donor ginjal dan semua persyaratannya. Uang sebesar lima milyar tertera sebagai kompensasi sebagai pendonor.
“Berapa lama Papa bisa bertahan sampai kita menemukan pendonor yang tepat?” Sarah menoleh menatap suaminya.
“Dokter hanya memberi waktu dua hari karena Papa tetap menolak cuci darah sambil menunggu.”
“Ya, Tuhan. Cepat sekali. Semoga kita segera menemukan pendonor.”
Sekali lagi, Sarah melirik persyaratan di layar laptop. Kesehatan fisik dan mentalnya baik. Ia juga tidak memiliki riwayat penyakit serius. Bahkan golongan darahnya sama dengan golongan darah Frank.
Melihat segala persyaratan itu cocok dengan dirinya. Dalam hati, Sarah berniat mendaftarkan diri demi rasa sayangnya pada sahabat ayahnya.
“Aku mau ke kamar mandi dulu, ya.” Sarah bergegas pergi meninggalkan Marc.
Wanita sederhana itu mencari seseorang yang ia percaya di rumah sakit tersebut. Dulu, saat menemani ayahnya sakit, Sarah memang mengenal cukup baik beberapa petugas kesehatan. Sarah berbisik-bisik dengan seorang suster kenalannya.
“Tolong rahasiakan data-dataku sebagai pendonor ginjal untuk Tuan Frank Carrington.”
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments