Beberapa jam setelah operasi, Sarah terbangun di sebuah ruang sederhana. Ia menatap sekeliling dengan kebingungan. Napasnya tertahan saat merasakan sakit di sisi kiri tulang rusuk bagian belakang.
Sesaat ia teringat, ia baru saja mendonorkan ginjalnya pada Papa mertua. Tetapi di mana ia saat ini?
“Oh, kamu sudah bangun?” Tinna berdiri di sisi ranjang sambil berkacak pinggang dengan angkuh.
“Berapa lama aku tertidur? Apa operasinya berhasil?” cecar Sarah.
“Kamu tidak perlu tau kabar Frank. Yang jelas, sebentar lagi kamu akan dipindahkan ke rumah sakit lain.”
“Kenapa tidak di sini? Aku tidak mengerti.”
“Bukankah kau sendiri yang ingin identitasmu sebagai pendonor dirahasiakan?” Kemudian Tinna berkata ia akan mengurus semuanya. Sarah diminta menjauhi keluarga Carrington. Karena tidak ada tenaga untuk melawan, Sarah hanya bisa diam lalu
kembali tertidur.
Esok harinya, Sarah terbangun di sebuah bangsal rumah sakit. Luka sayatan di perutnya masih terasa nyeri namun sudah jauh berkurang. Netranya mengamati sekeliling.
Ruangan itu berisi banyak pasien. Ia benar-benar tidak dapat menebak di mana ia berada saat ini. Sarah melambaikan tangan untuk memanggil perawat.
Ternyata Tinna membuangnya ke pinggir kota kecil. Sarah harus bertahan untuk pemulihan dalam waktu satu minggu di rumah sakit umum ini.
“Apa ada barang-barang pribadiku di sini?” Sarah bertanya pada perawat yang langsung memberikan tas di atas ranjang Sarah.
Di dalam tas, Sarah hanya menemukan pakaian dan dompetnya. Di dalam dompet itu ada beberapa lembar uang ratusan ribu. Sarah bersyukur ia mendapati kartu tanda pengenal dan kartu ATM-nya di bagian dalam dompet yang tersembunyi.
Untuk sementara, Sarah perlu memulihkan kondisinya. Ia akan memanfaatkan keberadaannya di rumah sakit dengan mencari banyak informasi tentang perawatan pasca operasi pendonor ginjal.
Kemudian, ia harus mencari tau apa yang terjadi setelah ia dioperasi. Menelepon Marc, mengarang kebohongan tentang keberadaannya dan menanyakan kabar kesehatan Frank.
“Makanannya, Nak. Silahkan.”
Sarah yang sedang melamun, menoleh pada asal suara. Seorang wanita berwajah teduh dan tampak ramah itu meletakkan baki makanan di atas meja. Sarah melirik tanda pengenal dan membaca nama wanita tersebut.
“Terima kasih, Ibu Irma.”
Wanita ramah itu tersenyum dan mengangguk bersamaan. Sarah memperhatikannya kembali bekerja mengedarkan makanan bagi para pasien.
Beberapa hari kemudian, Sarah dan Ibu Irma menjadi akrab. Wanita itu adalah salah satu staff dapur rumah sakit. Melalui Ibu Irma, Sarah juga mendapat banyak informasi tentang makanan yang baik ia konsumsi untuk membantu mempercepat pemulihannya.
Hari ini adalah hari terakhir Sarah di rumah sakit. Menurut dokter, pemulihannya terbilang cepat dan sangat baik. Meski sesekali masih merasa nyeri, secara keseluruhan, Sarah merasa dirinya sudah cukup sehat.
Sambil menenteng tas-nya, Sarah berjalan keluar rumah sakit. Ia menghela napas lega saat barusan mengetahui bahwa tagihan rumah sakit ternyata sudah dibayar seseorang saat ia masuk.
“Mau pulang, Nak?”
Senyum di wajah Sarah mengembang saat menoleh dan melihat wajah Ibu Irma. Sepertinya wanita itu akan pergi juga karena ia menenteng tas kecil.
“Iya, Bu.”
“Ke mana?”
Pertanyaan Ibu Irma membuat Sarah terpaku. Baru sadar bahwa ia tidak memiliki tempat tinggal di kota kecil ini. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.
“Apa di sekitar sini ada kamar kecil yang disewakan?” Sarah mendapat tatapan heran dari Ibu Irma. Meski baru beberapa hari berkenalan, Sarah yakin Ibu Irma adalah wanita yang tulus dan baik hati. Dengan jujur, ia berkata
bahwa saat ini belum memiliki tempat tinggal.
“Ibu tinggal sendiri. Kamu boleh menginap sebelum menemukan tempat tinggal.” Ibu Irma tersenyum penuh pengertian.
Akhirnya ada hari keberuntungan. Sarah mengangguk dengan wajah penuh haru. Ia mengucapkan terima kasih dan mengikuti Ibu Irma.
Rumah Ibu Irma sangat sederhana namun bersih. Hanya ada satu kamar, ruang tamu yang menyatu dengan dapur dan kamar mandi. Ibu Irma menyiapkan tempat untuk Sarah di ruang tamunya.
“Semoga berkenan dengan tempat ini.”
“Ini sudah sangat bagus, Bu. Maaf, Sarah merepotkan.”
Ibu Irma tersenyum. “Ibu senang ada yang menemani.”
Melalui petunjuk Ibu Irma, Sarah mendapat informasi di mana ia bisa menemukan ATM. Besok, ia akan pergi ke sana. Semoga saja uang simpanannya masih banyak. Sebelum mendiang ayahnya sakit, Sarah memang sempat bekerja.
Malam itu Sarah menangisi diri sendiri. Setelah puas, ia menghirup udara banyak- banyak untuk melegakan dadanya yang sesak. Tidak ada waktu untuk bersedih, ia harus bangkit dan kembali ke kotanya.
“Jadi pergi ke ATM?” Ibu Irma bertanya keesokan harinya.
“Iya, Bu. Ibu sudah mau berangkat ke rumah sakit?” Sarah mengamati Ibu Irma yang telah rapi.
Kepala Ibu Irma mengangguk. “Kita berangkat sama-sama saja.”
Mereka naik kendaraan umum. Hal yang Sarah sukai dari kota kecil ini adalah alamnya yang masih segar. Ibu Irma turun di depan rumah sakit dan melambaikan tangan pada Sarah.
Tak lama kemudian, Sarah di tempat tujuan. Ia menggeleng sedih saat melihat saldo ATM-nya hanya tersisa uang dua juta rupiah. Terpaksa, Sarah mengosongkan tabungannya untuk biaya hidup.
Sarah membeli ponsel bekas, vitamin dan bahan-bahan makanan. Ia kembali ke rumah Ibu Irma menjelang siang. Wanita itu lalu memasak dan membereskan rumah.
Sambil menunggu Ibu Irma pulang, Sarah berpikir apa ini saat yang tepat untuk menelepon Marc? Akhirnya Sarah memutuskan untuk mengirim pesan saja.
Melalui internet, Sarah mencari kabar tentang Papa mertuanya. Tidak sulit, Frank Carrington cukup terkenal sebagai pengusaha yang sukses. Salah satu portal berita terpercaya memuat kabar bahwa operasi transplantasi ginjal Frank berhasil.
Lalu, Sarah mulai menekan nomer telepon mendiang ayahnya yang selama ini digunakan Tinna. Beberapa saat kemudian, terdengar suara balasan.
“Hallo?”
“Ibu, Ini Sarah. Aku .... “
“Salah sambung!”
Telepon ditutup sepihak. Sarah menatap ponsel dengan kening berkerut. Tidak, ia tau pasti ia tidak menekan nomer yang salah dan itu adalah suara Tinna.
“Kenapa salah sambung?” gumam Sarah.
Kembali, jari Sarah menekan nomer yang sama, namun kali in nomer tersebut tidak aktif. Sarah menatap lama layar ponselnya dan tersadar, bahwa ia telah dibuang keluarganya sendiri.
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu