“Selamat datang, anggap saja rumah sendiri.” Nyonya Felicia tersenyum ramah saat membuka pintu pada sebuah rumah bercat ungu muda, wanita yang berstatus nenek Sandra itu mengajak Simon dan Sandra masuk melihat-lihat keadaan tempat itu. “Nah, ini adalah hadiah pernikahan kalian.”
Pasangan suami istri itu lantas mendongakkan kepalanya dan berdecak kagum melihat rumah besar berlantai tiga dengan halaman luas di hadapannya. “Ini lebih luas daripada villa mewah tadi.” desis Simon.Simon dan Sandra sama-sama mengedar pandangan mereka ke setiap sudut yang mewah dan artistik, kemudian mereka beralih menatap Nyonya Felicia lalu tersenyum. “Terima kasih nenek!” Sandra memeluknya dengan erat.“Pergilah beristirahat, kalian pasti lelah.” Sandra mengangguk patuh, sebelum pergi nyonya Felicia kembali berpesan.“Sandra, kini kamu adalah istri dari Simon, jadilah istri yang baik untuknya.”Kata-kata neneknya membuatnya sadar kalau ia sekarang bukan wanita single lagi, kemudian ia melihat pada Simon. “Simon, bagaimana kalau kita masuk sekarang…”"Ah, ya, aku baru saja ingin mengatakan itu. Tapi, aku merasa gerah dan ingin mandi." Simon baru mengalihkan fokusnya ketika ditanyai, keduanya hendak melangkah masuk ke dalam, tanpa diduga kaki Sandra tak sengaja tersandung bagian pintu hingga ia langsung terjatuh dalam pelukan suaminya. Sandra ternganga melihat wajah tampan Simon yang jaraknya begitu dekat."Sandra kamu tak apa?"Pertanyaan Simon membuat Sandra tersadar, lalu segera melepas tangannya yang menyentuh dada bidang sang suami. "Mm... maaf. Aku…” Sandra mencoba mengatur detak jantungnya yang semakin cepat."Enggak apa-apa, kok." Simon lalu tersenyum. "Lagian sebenarnya kita ini sudah halal kan?” Entah darimana Simon memiliki keberanian mengungkapkan itu.Sandra mendelik dan mencubit lengan sang suami. Pria dengan jambang tipis itu mendekatkan wajah pada Sandra, membuatnya beringsut mundur. Namun, Simon hanya ingin memperbaiki sesuatu di dekat pintu yang membuat istrinya jatuh.Sandra menghembuskan nafas sambil mengusap wajahnya, matanya melirik Simon. Sekujur tubuhnya terasa panas dingin, apalagi jaraknya dengan Simon tadi hanya satu senti."Sandra kamu benar-benar nggak apa-apa kan?” tiba-tiba Simon menegurnya."Ya, ya. Kamu bilang tadi ingin mandi kan? Pergilah, aku akan istirahat dikamar." Sandra menelan ludahnya dengan susah payah, itu menelan ludah Setelah berbicara, Sandra langsung pergi. Sikapnya ini membuat Simon tak dapat menahan senyum.Sandra memasuki kamarnya dan mengganti pakaiannya dengan piama tidur. Kemudian mengempaskan dirinya di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar.Seliweran angin menerpa wajah cantiknya, pikirannya membayangkan sosok Simon, senyum itu… sorot mata itu… Sandra mengerjap, lalu menggeleng cepat, lalu... apa?Pintu kamar terbuka, Simon yang baru saja keluar kamar mandi langsung masuk untuk memakai baju. Menyadari itu, Sandra langsung kaget melihat suaminya yang hanya memakai handuk, buru-buru ia berbalik dan menutup wajahnya dengan bantal.Simon buru-buru memakai baju dengan wajah memerah, walau status mereka sudah menjadi sepasang suami istri, tapi mereka terlihat malu-malu."Sudah, aku sudah pakai baju." Simon berusaha tetap tenang.Perlahan bantal bergeser, Sandra mengintip memastikan apa yang di katakan Simon itu benar, kemudian barulah ia berani membuka wajahnya.“Sandra, wajahmu sedikit memerah, kamu…”Sigap, Sandra menyentuh wajahnya sebelum menduduki sofa. “Maaf, aku belum terbiasa, ini mungkin nggak adil, tapi tenang saja aku akan berusaha membiasakan diri memulai kehidupan kita.”Simon berjalan mendekatinya, membiarkan matanya terus terpaku pada Sandra. Dia ingat, keluarga Sandra telah berjasa karena mengangkat derajat hidup keluarganya juga, jadi Simon tak ingin menjadi kacang yang lupa pada kulitnya."Hati dan perasaan memang tak bisa dipaksakan, jadi kamu nggak usah khawatir, kita akan mulai dengan perlahan saja. Terima kasih sudah menjadi istriku.” Simon memberanikan diri mengecup kening Sandra.“Te-terima kasih kamu sudah mengerti…” Sandra berkata dengan gugup. Simon merasa tubuhnya bergetar, tidak seperti biasanya. Sandra begitu memesonanya meski sifatnya terkenal cuek dan ceplas-ceplos, tapi ada ketulusan dan kelembutan di balik mata indah itu.Selain Sandra, dari seluruh sanak dan famili istrinya itu, hanya nyonya Leslie dan nyonya besar Felicia yang sangat memperhatikannya, dua wanita dermawan ini memiliki jiwa sosial yang tinggi, orang seperti ini sangat jarang ditemui. “Mungkin sifat Sandra menurun dari nenek dan ibunya.” Simon bergumam sambil tersenyum.Tangannya bergerak dengan penuh perhatian merapikan rambut ikal istrinya, keadaan berubah hening. "Selamat beristirahat, istriku..."Dia tak ingin kecewa dan juga tak memaksa Sandra hanya karena tak bisa menikmati malam pertama seperti yang dilakukan pasangan lain. Tubuh tinggi yang tegap itu, membantu menaikkan selimut Sandra.Ketika Simon berdiri dan hendak pergi ke sofa, Sandra merasa hatinya berat. Dia tidak tega membiarkan Simon begitu saja. Perlahan, Sandra kembali bangun dan melangkah berinisiatif mendekati Simon dengan lembut dan penuh keberanian, dia menahan tangannya agar tetap berada di sisinya."Simon," dia berkata dengan lirih, "biarkan aku memelukmu." Simon berhasil terhipnotis oleh ucapannya.Sebenarnya dia cukup terkejut, kemudian dia menatap bola mata Sandra dalam-dalam, dan merasakan kehangatan cintanya. Dengan senyum lembut, dia mengangguk setuju.Simon mengulurkan tangannya dan mereka saling berpelukan, merasakan detak jantung masing-masing, rasanya nyaman sekali dengan posisi seperti ini. Semua kekhawatiran dan ketakutan pada seakan mulai menghilang.Sampai beberapa detik berikutnya, perlahan Sandra melepaskan pelukannya. Dia menatap Simon dengan tatapan penuh arti dan berkata, "Aku tak ingin melewati malam ini dengan sia-sia."Ini terdengar lucu, bisa dibilang malu-malu tapi mau. Namun itulah yang terjadi, Simon menuntun istrinya hingga kembali ke ranjang, keduanya menikmati malam pertama mereka, dengan hembusan angin yang menjadi saksi dua pengantin yang sedang memadu kasih.Sekarang, Simon berjanji dia akan membahagiakan istrinya dengan kasih sayang dan kesetiaan.***Shania muncul diantara para karyawan kantor yang berseragam sama persis di depan pintu. “7 Eleven Endless Group’, perusahaan ini sudah ganti nama, apa CEO nya juga bertukar?” Shania mengernyitkan dahinya.Seseorang menabraknya membuat Shania hampir saja terjatuh, ingin marah namun orang itu buru-buru minta maaf dan langsung pergi setelahnya menuju pada sekelompok pejabat eksekutif terlihat berjalan dari arah yang berlawanan, Shania berdiri dan ingin membungkuk memberi hormat, namun saat melihat salah seorang diantaranya, Shania terkesiap. “Simon…”Namun Sandra yang berjalan seiringan dengannya menyadari kehadiran wanita yang dia kenal, dirinya mendatangi Shania sambil memasang wajah paling galak sambil melipat tangannya ke dada. “Punya keperluan?”Shania menampakkan gigi manisnya untuk tersenyum. “Aku mau ketemu dia, itu Simon kan?”“Untuk apa kamu menemuinya, kami ada rapat pagi ini, jadi tak ada yang boleh keluar ruangan dalam kepentingan apapun.”Shania tak menanggapi, dia langsung menerobos masuk menyusul pria yang diduganya Simon. Sandra tak tinggal diam, dengan marah dia memanggil satpam dan menyuruhnya menyeret wanita itu keluar.Saat itu Shania berjalan sana sini mencari pria yang dia maksud, dia masuk ke sembarang lift sambil memencet tombolnya. Tak jauh dari sana seorang satpam tengah berlari terengah-engah menyusul, namun pintu lift baru saja tertutup.Dalam dua menit ketika pintu lift terbuka, Shania keluar dan tepat saat itu para pejabat eksekutif terlihat menatapnya dengan pandangan tak suka, satu diantaranya adalah Simon yang begitu kaget melihat munculnya sang mantan di kantor ini.Tidak, tidak, aku tak akan menyapa wanita sepertinya. Cukup fokus dengan pekerjaanmu Simon. Akan tetapi, mantan kekasihnya itu malah berlari mendekatinya. “Simon…”Beberapa pasang mata menyaksikan adegan saat wanita itu memeluk Simon, bahkan Sandra yang baru muncul disana memergoki mereka dan langsung menyerobot memisahkan keduanya. “Apa-apaan ini?” Sandra mendorongnya hingga Shania terjatuh.“Auwww!”“Wanita tak tahu malu sepertimu masih berani muncul di depanku…”“Aku kemari bukan mencarimu, tapi mencari Simon, di perutku kini ada janin darah dagingnya.” Shania menyahut dengan lantang.Mendengar itu semua mata langsung tertuju pada Simon seolah meminta penjelasan. Sandra tak menduga Shania akan mengkambing hitamkan Simon.Tiba-tiba Shania memasang tampang 0along menyedihkan, dia mungkin egois, tapi hanya Simon yang satu-satunya bisa membantunya, terlihat dari seringainya, Shania sepertinya sedang berencana sesuatu.“Aku datang kesini sekaligus meminta maaf Simon, kuharap kamu akan memaafkanku.”"Semuanya, Sean, tiba-tiba menghilang!" Saat semua orang masih berada dalam suasana duku, tiba-tiba Alessa muncul di sana dengan membawa kabar buruk. Ini bukan hanya membuat Simon kaget, tapi juga sangat cemas dan panik."Apa? Bagaimana bisa ini terjadi?""Bagaimana kamu menjaganya, Alessa?" "Kita harus segera mencarinya!" seruan mereka yang dilanda panik silih berganti membuatnya kalang kabut.Mereka bergegas keluar ruangan, bergerak cepat mencari keberadaan Sean.Simon di tinggal sendirian dalam keadaan tak berdaya, dirinya bukan hanya kehilangan Sandra, tapi apa ia juga harus menghadapi kehilangan Sean?"Apapun yang terjadi, aku harus menemukan Sean!" ujarnya dengan penuh tekad. Sejujurnya, Simon sangat mencemaskan keselamatan anak itu. Di saat sulit ini, harusnya mereka memperhatikan anak seusia Sean, tapi mereka terlalu lengah dan hampir melupakan anak itu.Di tempat lain, seorang satpam menemukan seorang anak sedang meringkuk sendirian di loteng rumah sakit. Begitu dia mengh
Saat itu, pintu ruangan nomor 134 terbuka dengan keras. Seorang perawat masuk dengan wajah penuh kepanikan. "Ada kecelakaan tak terduga di ruang operasi! Nyonya Sandra..." suaranya terputus saat melihat semua orang menatap dan menanti perkataan selanjutnya.Simon, Alessa dan lainnya merasa detak jantungnya berhenti sejenak. "Apa yang terjadi? dia baik-baik saja kan?"Dari wajah perawat itu, terlihat garis-garis kegundahan. "Sekali lagi mohon maaf, tapi darah yang di sumbangkan sebelumnya, belum bisa membuat keadaan nyonya Sandra stabil. Butuh waktu dan perawatan yang lebih intensif untuk memulihkan keadaannya, kami semua sedang berjuang menyelamatkannya."Mendengar itu, Simon merasa dunianya runtuh. Bahkan Sean yang masih berada dalam pelukan Alessa, mengeratkan pegangannya pada wanita itu. "Tante... bagaimana dengan mommy..."Melihat hal ini, Elsa merasa bersalah, terlebih melihat Sean yang seumuran putranya kini terlihat ketakutan. Apa dia memilih keputusan yang salah? Apa mereka aka
( Elsa, segera ke rumah sakit Williecons, aku akan kirimkan alamat lengkapnya) Elsa menerima pesan teks dari nomor tak di kenal. ‘Siapa ini?’ ia berusaha mengingat-ingat pemilik nomor dengan ujung angka 77, “Yah, aku ingat! Ini kakak, aku sudah lama tak tahu kabarnya, tapi darimana dia dapat nomor baruku…?” Dia menggeleng, ‘Ini tak penting sekarang, lebih baik aku segera menghubunginya…’ Saat itu panggilan langsung tersambung.“Halo, apa ini kamu kak Max?”“Elsa! Syukurlah, ternyata orang itu tak berbohong, akhirnya kita bisa mengobrol juga hari ini.” "Oh ya kak, kamu dimana? Tadi kamu bilang rumah sakit, memangnya siapa yang sakit?" Elsa mengigit bibirnya bawahnya cemas, ‘Semoga saja bukan ibu.’ “Sandra sedang dalam keadaan kritis, pagi ini ada dapat kabar Simon juga masuk rumah sakit karena kecelakaan…”“Ke-kecelakaan?” Sungguh, Elsa kaget saat menerima kabar itu. Untungnya saat itu dia anak kembarnya sudah di antar Antonio pergi ke sekolah, jadi mau teriak sekeras apapun, pali
Tiba-tiba, semua lampu jalan padam, bahkan seluruh bangunan terlihat gelap. Hampir semua detak jantung mereka terdengar berpacu dengan kencang. Simon meraba-raba mencari ponselnya untuk penerangan.Saat ini, ada suara langkah kaki mendekat, membuat ketegangan, sebelum langkah itu sempat mendekat, sebuah cahaya muncul menyilaukan mata. “Sandra … segera kita bawa dia kerumah sakit.” Untungnya Alessa segera menghidupkan senter Flashlight dari ponselnya.Sementara Sean terlihat histeris melihat sang mommy yang berada dalam keadaan kritis. “Mommy… ayah, siapa yang berbuat jahat pada mommy, kenapa kamu hanya diam ketika orang melukainya.” Bocah itu menangis tersedu-sedu.Simon menelan salivanya, dia mencoba menenangkan Sean dengan sabar. Namun, anak seperti putranya ini cukup bermulut pedas, jadi semua perkataan orang dewasa dia lontarkan, tanpa peduli bahwa itu akan menyinggung orang lain, termasuk dirinya sendiri sebagai ayah.“Sean, kita tak tahu siapa orang yang melakukan itu pada mommy-
“Alessa…” Sandra dan Simon buru-buru keluar dari mobil, mereka melihat kerumunan orang di sekitar rumahnya, bahkan ada banyak petugas keamanan dan wartawan yang berkumpul di sekitar area.“Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Di antara kerumunan itu, mereka melihat seorang pria terlihat berjalan menunduk diiringi oleh beberapa petugas keamanan. Wartawan mengambil foto, lalu melakukan wawancara.Simon mengernyitkan dahinya. “Gerald?” Sandra ikut terkejut.“Dia muncul lagi?” Keduanya bergegas mendekati kerumunan karena ingin memastikan keadaan putranya.“Sean…” Sandra berlari menghampiri seorang guru les privat anaknya. Sayangnya, sosok yang di panggil namanya tidak ada di sana. “Dimana Sean? Dia baik-baik saja kan?” Suaranya bergetar.“Nyonya tenang saja, Sean sedang tidur di dalam, tampaknya dia kelelahan. Yang jadi masalah sekarang adalah Ibu Alessa…”Simon menimpali. "Kamu sudah beritahu ini pada polisi?”Belum sempat menjawab, fiba-tiba seorang petugas keamanan mendatangi mereka, "K
"Aku akan berikan salah satu toko butik milik perusahaan Elegant Endless Group' pada Alessa, semoga itu akan cukup." Entah darimana kepercayaan diri ini munculnya, Sandra mengerahkan semua isi hatinya pada Simon yang masih membeku di tempatnya. Meski hatinya penuh keraguan, namun Simon mencoba mencerna semua ucapan istrinya. "Kamu yakin?" ujarnya memastikan. Sandra mengangguk, "Aku percaya, Alessa orang yang jujur, makanya aku memilihnya, kamu jangan cemas dan takut dia akan menipu, yang penting kamu setuju saja itu sudah cukup." Sorot mata Sandra jelas tampak ketulusan, jadi Simon mengikuti saja. "Jika benar begitu, itu tergantung padamu. Aku tidak bisa memaksa ataupun melarang.""Deal!" Elsa mengambil satu keputusan. "Terima kasih dukunganmu, sayang..." Satu kecupan mendarat di pipi Simon, memancing gair4hnya, hingga sebuah adegan Simon mengendong istrinya ke tempat tidur dan menjeratnya dengan gila, menatapnya dengan penuh hasr4t."Aku suka cium4nmu, Simon." Sandra berkata denga
"Kamu tak apa kan?" Alessa senang karena di perhatikan oleh atasan, sekaligus atasannya. "Jangan memaksakan diri, jaga kondisi tubuhmu dengan baik oke?" Obrolan mereka selesai setelah Sandra menyudahi panggilannya.Malamnya, Alessa pulang ke rumah dengan langkah ringan. Rasanya lelah seharian bekerja, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap kuat menjalaninya.Namun, ketika di depan pintu dia terkejut melihat pria yang tidak dikenal berdiri di tengah dengan sebo dan jas hitam. Dia tampak sangat misterius membuat Alessa agak takut."Siapa kamu? Kenapa mengikutiku kemari?" Suara Alessa terdengar bergetar saat ketakutan. Namun, pria itu hanya tersenyum dan mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah pistol."Maaf, Alessa. Saya disini hanya di suruh mengambil sesuatu." ucap pria itu dengan tenang. Alessa tak peduli lagi dengan hal itu, ia kebingungan harus meminta bantuan siapa, sedangkan ponselnya kini masti total.'Jika aku berteriak sekarang, Sean pasti akan ketakutan.' Gumamnya pelan. De
Aku terkejut dengan pertanyaan Hani tadi, "Kenapa kamu menanyakan itu?" jawabku sambil balik bertanya. Hani melebarkan bibirnya dengan sedikit senyuman, "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja. Ku kira selama ini kamu masih sering menghubunginya." Benar, aku masih belum sempat menghubungi Juan. Kemarin ponselku tertinggal saat aku sedang pergi bersama Pak Jonas. Ya ampun, kenapa aku begitu bodoh? Aku menepuk kepalaku sendiri.Bisa-bisanya aku melupakan itu... kulihat jam di tanganku. Ini sudah hampir terlambat, aku bahkan belum sarapan sama sekali. Oh, tidak...!Hani geleng-geleng kepala melihat raut wajahku yang seketika berubah muram. Aku bingung, mana yang akan kulakukan lebih dulu. "Aku pergi sekarang, Hani." Aku langsung pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban Hani. Kedengarannya, dia tengah memberikan sebuah nasehat untukku, namun kubiarkan saja dia berbicara sendiri di depan pintu."Pak, stop!!" Aku menyetop sebuah taksi yang kebetulan tengah melintas di jalan yang kulewati. Aku m
"Akhirnya sampai juga." Alessa melihat bocah cilik itu tampak tertidur, setelah turun dari mobil, dia melepas sepatu Sean, berencana segera menidurkannya di kamar.Namun, Sean terbangun karena merasa ada tangan yang lembut menyentuhnya. Bocah itu mengusap matanya berulang, sebelum berbicara. "Tante Alessa, apakah kita sudah di rumah?" tanyanya dengan nada polos, Alessa menggangguk, "Benar sayang kita baru sampai..."Sean membuka lebar matanya, lalu berdiri bersiap keluar mobil. " Tante, sejak tadi kamu sudah bekerja keras, apa Moms akan senang dengan hasil kerjamu tadi?"Mendengar suara imut anak itu, Alessa tersenyum, "Aku berharap begitu, Sean. Yang penting aku telah berusaha mengelolanya sesuai dengan selera mommy-mu.""Aku yakin mommy pasti senang, kulihat Tante bahkan juga ulet bekerja, kuharap Tante juga bisa menjadi seperti Mommy, bahkan lebih baik daripadanya."Alessa tersenyum bangga mendengar pujian dari anak itu. "Oh ya Tante, kamu sudah punya pacar?" Saat mereka berdua b