"Semuanya, Sean, tiba-tiba menghilang!" Saat semua orang masih berada dalam suasana duku, tiba-tiba Alessa muncul di sana dengan membawa kabar buruk. Ini bukan hanya membuat Simon kaget, tapi juga sangat cemas dan panik."Apa? Bagaimana bisa ini terjadi?""Bagaimana kamu menjaganya, Alessa?" "Kita harus segera mencarinya!" seruan mereka yang dilanda panik silih berganti membuatnya kalang kabut.Mereka bergegas keluar ruangan, bergerak cepat mencari keberadaan Sean.Simon di tinggal sendirian dalam keadaan tak berdaya, dirinya bukan hanya kehilangan Sandra, tapi apa ia juga harus menghadapi kehilangan Sean?"Apapun yang terjadi, aku harus menemukan Sean!" ujarnya dengan penuh tekad. Sejujurnya, Simon sangat mencemaskan keselamatan anak itu. Di saat sulit ini, harusnya mereka memperhatikan anak seusia Sean, tapi mereka terlalu lengah dan hampir melupakan anak itu.Di tempat lain, seorang satpam menemukan seorang anak sedang meringkuk sendirian di loteng rumah sakit. Begitu dia mengh
"Maaf Simon, untuk selanjutnya kita nggak perlu ketemuan lagi, lebih baik kita putus saja!""Apa?" Laki-laki yang di sebut Simon terperangah, kata-kata sang kekasih membuatnya kaget."Shania, bisa jelaskan alasannya kenapa? Nggak mungkin kamu bikin keputusan sepihak ini tanpa alasan yang jelas."Dahinya mengernyit, mencoba memikirkan alasan yang masuk akal dari sosok yang di sebut Shania. "Selama ini kita baik-baik saja kan? Tolong katakan Shania, apa yang membuatmu menyerah akan hubungan kita?" Shania berjalan pelan mendekati Simon, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik ke telinga Simon."Itu karena sejak dulu aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu." Seketika wajah Simon memerah, dia tak percaya mendengar pernyataan Shania."Nggak mungkin! Kamu pasti bohong, Shania...""Kenapa? Sebenarnya aku ingin memberitahu hal penting ini sejak lama, tapi sayangnya kita jarang bertemu, jadi sulit sekali mencari waktu untuk itu." Shania menarik nafas panjang, "Aku lebih butuh uang, Simon. Co
Simon berjalan-jalan di area taman pusat kota, ada banyak pasangan yang mendatangi tempat itu. Namun, Simon tak peduli tentang ini, yang jelas sekarang dirinya ingin mencari udara segar. Entah kenapa kini Simon begitu haus. Di sebelah taman, ada satu bangku panjang yang kosong, di sekitarnya dia melihat mesin penjual otomatis. Simon berniat pergi ke sana untuk membeli sebotol air.Saat hendak membayar Simon memeriksa sakunya dengan wajah bingung. “Ya ampun, aku lupa bawa dompet…” Saat itu dia terpaksa kembali dan berbalik. Tiba-tiba Seorang wanita tinggi dengan rambut panjang bergelombang muncul di sana. “Kenapa nggak jadi?” tanyanya dengan nada cuek dan dingin.Simon agak tidak nyaman mendengar gayanya bicara, namun ia mencoba tersenyum menyapa wanita itu. “Ah, lebih baik anda saja dulu, aku masih harus menjemput dompetku yang ketinggalan.”Tanpa sengaja ia membeberkan semua hal yang baru saja menimpanya. “Astaga! Barusan aku bilang apa?” ujarnya sambil memukul bibirnya beberapa ka
Sandra bangun dengan mata bengkak, kepalanya sangat sakit dan begitu berdenyut. “Ah, semoga saja setelah minum obat pereda nyeri sakit kepalaku hilang.” Dia bangkit perlahan sambil mengernyitkan keningnya. “Aku akan menggunakan waktu satu hari dari sehari masa perjalanan dinas untuk aku jalan-jalan, jadi besok baru pergi ke kantor.”Sebagai anak tunggal, saat ini Sandra telah meneruskan perusahaan ayahnya, jika pun tak ke kantor, semua itu tak masalah baginya, namun Sandra cukup disiplin dan tegas. Di kantornya dia sosok yang berwibawa. Sandra menghibur dirinya dengan bersenandung kecil di kamar mandi. Setelahnya, begitu banyak hal yang ingin ia lakukan. Pembicaraannya dengan sang kekasih semalam, membuatnya begitu trauma. Jadi saat ini yang dilakukannya yaitu, harus move on. Begitu keluar dari kamar mandi, Sandra mencari stelan terbaiknya, memoles wajah dengan make up tipis. “Aku nggak suka berdandan berlebihan, jika diizinkan, setelah ini aku mau pakai hijab.” Setelah rapi, San
"Ibu, do'akan aku di terima bekerja ya." Simon pamit pada ibunya sebelum meninggalkan rumah. Simon cukup gugup, namun dia tetap mempersiapkan diri untuk bertemu dengan keluarga Sandra. Dia ingat betul yang dikatakan Sandra sore itu, meski dia yang memintanya bekerja, namun setidaknya Simon harus membuat persiapan untuk menghadapinya, terlebih lagi lamaran, serta beberapa dokumen penting sebagai syarat lainnya, sama seperti yang dilakukan para pencari kerja pada umumnya. Mungkin alasan sepele, tapi Simon kini mengerti kenapa Sandra memintanya begitu, Formalitas! Apalagi kalau bukan?"Simon!" teriak seorang dari kejauhan. Simon menoleh kearah suara, sosok Sandra si pemilik kulit putih itu menghampirinya. Melihatnya sudah menunggu lama, Simon jadi sungkan. "Bukannya kemarin sudah kubilang, kamu nggak perlu repot buat jemput aku." Sandra yang kini telah berdiri di sisinya hanya menyengir."Nggak masalah kok, ayo naik!” Simon mengikuti Sandra sampai ke mobil, lalu duduk di sebelahnya.
Di rumahnya Simon sudah mengenakan piama tidur, matanya belum juga terpejam, matanya menatap ke langit-langit kamar, perasaannya begitu gelisah. Pemuda itu sedang berpikir, esok ia mulai bekerja dan meninggalkan adik dan ibunya sementara waktu...Di hari pertama Simon bekerja, Sandra menjemputnya, melihat Simon keningnya sedikit mengeryit, ia sedang berpikir untuk melakukan sesuatu tentang itu. "Hari kamu menyetir, ayo masuk." Sandra meninggalkan kunci sebelum ia masuk ke mobil. Simon sempat terpaku, namun dirinya mulai bekerja dan tak bisa membantah perintah atasannya. Meski gemetar, ia memantapkan langkahnya menuju mobil, kemudian duduk di bangku setir. Ragu-ragu dia menghidupkan mesin mobil dan perlahan berjalan maju seperti siput. Sandra mulai cemas sampai ia melihat ke bawah sambil mengusap wajahnya beberapa kali. Jika begini saja Simon belum bisa mengatasinya, bagaimana dengan tugas selanjutnya?Di sisi lain Sandra mulai khawatir dengan kinerja Simon, namun belum tiga menit be
“Apa hari ini aku sungguh-sungguh berakhir? Hmm… siapa yang tak kenal denganku, aku tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Gerald menyalakan mesin mobilnya dan beranjak pergi dari rumah itu, di jalan ia mencoba menelepon Sandra berulang kali, sayangnya tetap tidak terhubung. “Nomorku masih di blokir!” Ponselnya dilempar begitu saja ke kursi mobil, kemudian mempercepat laju mobilnya menemui Sandra. “ini sudah jam istirahat, pasti dia sedang makan siang sekarang.” Di dalam mobilnya, Gerald tak bisa fokus dengan kendaraannya, perasaannya tak menentu antara emosi dan marah. Sampai setengah jam setelahnya, Gerald tiba di depan kantor Ini bukan pertama kalinya Gerald mengunjungi kantor Sandra, namun karena pacarnya sering berpergian ke luar negeri, belakangan dia jarang datang ke perusahaan itu.Saat memasuki pintu utama, ternyata kini setiap sudut ruangan itu telah banyak berubah, bahkan Gerald baru tahu kalau fasilitasnya telah dilengkapi dengan sistem keamanan kelas atas. Ge
Di mobilnya tiba-tiba Sandra mendengar ponselnya berbunyi, “Mommy…” Enggan rasanya untuk menjawab, namun ia tetap harus menjawab panggilan itu.“Halo Mom,”“Ya, tapi aku masih di jalan, nanti kita lanjut ya, bye Mommy.” Buru-buru Sandra mengakhiri panggilan itu sambil menarik nafas dalam-dalam.Akan tetapi tiba-tiba Simon mendadak mengerem mobilnya. “Ada apa?”“Sepertinya di depan ada kecelakaan,” ujarnya sambil mengamati situasi jalan yang terhalang oleh beberapa motor yang berhenti di depan mereka.“Tak adakah cara lain untuk menembusnya?” Simon menggeleng, “Kayaknya susah, atau sebaiknya kita tunggu sampai mereka bubar?” ia ragu-ragu bertanya, jika memaksa untuk melewatinya, mungkin hal tak di duga terjadi.“Lakukan sesuatu, Simon. Aku tahu pasti ada cara lain.” Simon melihat ekspresi kesal Sandra. “Akan aku coba,” akhirnya Simon menuruti keinginan Sandra, dia baru sadar bahwa ternyata wanita itu begitu keras kepala. Baru saja ia menghidupkan mesin mobilnya, tiba-tiba seorang ib