Share

Baik, aku akan pergi

"Sekarang Sandra sudah menjadi istri Simon, aku ingin tahu bagaimana pria itu bertindak jika istrinya di p3rkos4 dan memastikan mereka bercerai. Lalu aku akan melihat Simon keluar dari rumah keluarga Sandra tanpa membawa apa pun!” Gerald tersenyum menyeringai

"Gerald, apa kamu gila? Jangan buat kekacauan lagi, mereka sudah berjasa pada keluarga kita dan juga memberikan suntikan dana sebesar 100 miliar untuk perusahaan ayah. Ingat, kita masih punya beberapa supermarket yang akan menjadi sumber penghasilan untuk biaya hidup kita selanjutnya, kuharap kamu tak melupakan jasa mereka yang telah memberi bantuan pada kita."

"Diam kamu!" Tegas Gerald pada saudara sulungnya, lalu ia kembali berkata, "Semua yang kamu bilang itu benar, mereka memberi kita 100 miliar, tapi bukannya selama itu kita kita yang bekerja hingga bisa menghasilkan 2 triliun lebih dalam beberapa tahun ini, sementara mereka hanya duduk tanpa melakukan apa pun, bisa di bilang kekayaan keluarga Sandra adalah hasil usaha kita sendiri, kenapa mesti masih memikirkan tentang balas jasa?"

Saudara sulungnya yang bernama Leon ingin membantah, tetapi adiknya menyela, "Leon, berhenti bicara, pokoknya aku akan melakukan apapun agar mereka bercerai." Gerald tetap bersikeras dengan pendapatnya.

Leon hanya bisa menggertakkan gigi dan menarik nafas berat. Saudaranya itu benar-benar keras kepala! Selama 3 tahun lebih ini Gerald selalu boros dan suka menghamburkan uang tanpa memikirkan nasib kedepannya.

“Terserahlah, aku tak mau tau apa yang terjadi setelahnya." Setelah mengatakan itu, Leon memilih pergi ke kamarnya.

Gerald melepas pakaiannya dan memperlihatkan sebuah tato kepala naga di punggungnya, kemudian dia memasuki kamar mandi untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.

Tanpa di ketahui, dia telah berpartisipasi dalam kelompok geng mafia yang menghebohkan dunia, dan bahkan diam-diam Gerald memiliki rahasia besar.

Leon berusaha menyibak rahasia adiknya itu selama bertahun-tahun, namun Gerald benar-benar hebat, sampai sekarang Leon tak pernah tahu rahasia yang dimiliki adiknya.

Tak lama, pintu kamar mandi terbuka, Gerald keluar dengan pakaian yang telah di ganti. Perutnya berbunyi, membuatnya langsung menuju ke ruang makan. Namun, saat membuka lemari makan dan tudung saji, disana hanya ada semangkuk bubur ayam.

"Sial! Mungkin lebih baik pesan makanan di luar." Namun sayangnya ponselnya kini dalam keadaan mati total. "Kenapa aku bisa lupa mengisi dayanya?"

Gerald agak kesal, ia merogoh saku dan hanya ada uang recehan! "Sudahlah, abaikan dulu selera dan makan saja yang ada di depan." Ia memaksa menyuapnya kemulut, “Ini benar-benar tidak enak, rasanya hambar, apa nggak ada makanan lain? Ini sangat tak layak untuk di makan…” Gerald kembali meletakkan sendoknya setelah mengunyah.

“Hush! Belajarlah menghargai makanan, ini lebih baik daripada nggak makan apa-apa."

Gerald terdiam saat mendengar suara tegas saudaranya yang muncul di belakangnya tiba-tiba. Padahal dia ingin sekali memuaskan nafsu makannya dengan menu steak berkualitas seperti menu yang biasanya dia nikmati di restoran bintang lima, namun untuk membelinya sekarang, ada hal yang menghalangi rencananya.

Ketika tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba suara pintu terbuka dan sepasang suami istri muncul disana. “Pah, kenapa nggak ada makanan lain? Sejak pagi aku lapar dan..."

Pertanyaan Gerald dibalas dengan tatapan kosong oleh orang tuanya, wajah mereka terlihat lesu dan tak bersemangat, keduanya langsung menuju kamar tanpa berkata sepatah katapun.

Hal itu menjadi pertanyaan bagi Gerald dan juga Leon. "Ada apa dengan Mama sama papa?" Saudara sulungnya hanya mengangkat bahu.

"Kamu tak bisa diam terus begitu, Leon lakukanlah sesuatu..."

"Kurasa mereka baru saja bertengkar." ujar Leon memotong kata-katanya.

Mereka lalu diam, keheningan di ruangan itu dipecahkan oleh suara dering telepon Gerald, ia melihat sekeliling dan mengambil ponselnya yang terletak di ujung meja. Dia mengernyit ketika mendapati nama yang tak asing muncul di layar ponsel. "Kenapa Shania menelpon lagi?"

Gerald ragu-ragu namun ia mencoba menjawab. "Ya, ada apa Shania?"

"Bertemu denganmu? Hmm, baik. Tapi hanya untuk kali ini saja."

Gerald mematikan ponselnya, lalu melihat Leon yang menatapnya dengan dingin. "Wanita seperti dia sudah banyak aku temui, hanya memikirkan uang dan mengandalkan fisik serta berbicara tentang diri sendiri dengan mulut manisnya.” kata Gerald dengan wajah yang rumit.

***

“Kenapa Gerald masih belum datang? Kuharap dia menepati janjinya.” Shania menunggu di depan pintu cafe dengan gelisah.

Pikirannya begitu kacau, di tambah lagi keadaannya yang belum terlalu stabil karena baru keluar dari rumah sakit. Menit berikutnya dia melihat seseorang keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju pintu kafe.

Sigap Shania berlari menghampirinya. "Gerald, akhirnya kamu datang juga, maaf telah memanggilmu, tapi kenapa lama sekali?"

Sebelum berjalan pria itu menyalakan rokok sambil mengerutkan keningnya, kemudian duduk di tempat yang di pesan khusus oleh Shania. Tatapannya begitu dingin, Shania semakin gelisah melihat reaksinya, namun dia mencoba membuat rautnya sedatar mungkin.

“Cepat katakan, kamu hanya punya waktu beberapa menit.” matanya mengamati jam di tangannya, tanpa melihat lawan bicaranya.

"Aku hamil!"

Gerald tak bereaksi dan malah terus menghisap rokok di tangannya, Shania menarik nafas dalam-dalam menanti kata-kata Gerald selanjutnya.

"Jadi apa yang kamu inginkan?" Gerald menjawab dengan asal karena merasa jenuh berurusan dengannya.

"Aku hanya ingin kamu menikahiku sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatanmu..."

Gerald terdiam, ia menunduk sesaat memikirkan sesuatu, pada detik berikutnya ia mendongak dan bersuara.

"Maaf Shania, aku tak bisa mengakuinya, bukannya sebelumnya udah kuberitahu?”

Deg!

Shania merasa jantungnya berhenti berdetak mendengar jawaban Gerald. Kalau hanya uang Shania memang tak kekurangan lagi sekarang, tapi Gerald telah membuatnya hamil! Calon bayi yang ada di perutnya kini membutuhkan kehadiran seorang ayah di sisinya.

Shania menatap Gerald dengan sorot mata tajam, tetapi Gerald pura-pura tak melihat dan mengacuhkan hal itu tanpa merasa cemas.

Ia melihat ada gelagat aneh dari Gerald, pria itu menarik napas dan menghembusnya dengan kasar, tampak seperti ada beban berat yang dirasakannya. “Tidak, tidak, bagaimanapun aku tetap tak peduli dengan hal yang bukan urusanku hari ini aku mengajaknya bertemu hanya untuk meminta pertanggung jawaban darinya.” desis Shania.

Gerald maupun Shania diam membeku ditempatnya, pikiran Shania bercabang, sebagai wanita, ia telah kehilangan kehormatannya, sedangkan Gerald tak mengakui janin yang sedang dikandungnya itu anaknya, kehidupan Shania mungkin akan lebih hancur jika tak ada yang mengurusinya.

Akankah aku kabur saja? Shania bergumam. Tidak, aku tak akan melakukan itu, mungkin aku sedikit egois, tapi haruskah aku meminta bantuan Simon?

Saat ini, Gerald terlihat arogan, sikapnya pada Shania jauh berubah daripada sebelumnya. Shania menarik nafas seolah ingin melarikan diri dari ingatan yang meresahkan dan mencoba menguatkan diri, kemudian ia kembali bicara. "Baiklah, tapi aku punya satu permintaan..."

Gerald tak menyangka wanita itu akan membuat keputusan dengan cepat, dia mencari posisi duduk yang nyaman agar dirinya terlihat santai demi menutupi rasa penasaran di hatinya. "Masih tersisa waktu 2 menit!" Dia masih berpegang teguh pada perkataan sebelumnya.

Shania cukup pintar untuk mengahadapi situasi ini, jadi dia mengatakan keputusannya. "Aku hanya berharap kita tetap berhubungan baik.”

Sudut mulut Gerald berkedut, seakan ada emosi yang tidak bisa diartikan dari sorot matanya. "Kamu sedang demam?” tanyanya tanpa ekspresi.

Shania mengangguk.

Gerald berpikir bahwa wanita itu mungkin bertindak secara tiba-tiba tanpa memikirkannya, dia merasa ini tidak sesuai dengan karakter Shania. Makanya, ia tak akan memaksa wanita itu lebih jauh lagi.

"Baiklah, aku setuju dengan keputusanmu, waktunya sudah habis. Aku akan pergi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status