Liv berdiri di balkon apartemen sambil memeluk selimut kecil yang membalut tubuhnya. Hujan sangat deras dan angin bertiup kencang. Bahkan jika dia melangkah sedikit mendekat ke tembok pembatas untuk melihat, dia pasti akan basah.Edd mengirimnya pesan, mengatakan jika dia menunggu Liv di bawah untuk bertemu. Dan waktu mengirim pesan hingga sekarang sudah berlalu beberapa jam. Tidak mungkin pria itu masih di sana, bukan?Sejak kembali dari penginapan Louis, Liv merasakan jika dirinya mulai sedikit luluh pada Edd. Cerita yang dia dapat dari Edd membuatnya memikirkan hal yang baru. Benarkah selama ini dia menyimpan versi yang salah?Ekspresi penuh luka di wajah Edd masih tergambar jelas di benak Liv. Tidak mungkin pria itu repot-repot berbohong hingga membuatnya mabuk. Dan Louis serta James juga bukan orang bodoh. Tidak mungkin Edd bisa menghasut keduanya dengan cerita yang mengada-ada.Ketika petir menyambar dan menciptakan terang yang menyala sepersekian detik, Liv memutuskan masuk ke
Liv tak berani masuk ke dalam ruangan di mana Edd di rawat. Malam ketika dia bicara dengan Edd, pria itu mengalami kecelakaan kecil namun sangat fatal seandainya James terlambat menemukannya.Karena tak bisa menghubungi Edd, James berpikir jima sesuatu yang buruk sudah terjadi. Dan benar saja. Ketika James tiba di apartemennya, Edd terkapar di lantai.Dokter mengatakan jika Edd mengalami overdosis obat-obatan. Setelah minum cukup banyak, dia menenggak obat tidur dalam jumlah yang berlebihan dan nyaris membuat nyawanya melayang."Kamu baik-baik saja?" Ruby mendekatinya.Liv menghela nafas, lalu menggeleng. "Tidak.""Kamu mengatakan sesuatu pada Edd, bukan?"Liv menunduk. "Benar."Ruby menghela nafas, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Kondisinya sudah lebih baik, sudah sadar dan sudah banyak bicara.""Baguslah." Liv masih menunduk."Jika kamu ingin bertemu dia, kamu bisa masuk."Liv menggeleng. "Tidak perlu," ujarnya sambil memberi buket bunga yang dipegangnya pada Ruby. "Aku pulang du
Di tengah musik yang mengalir kencang di udara serta berkumandang di dinding-dinding ruangan bar, Ashley memperhatikan wajah Ruby yang mulai memerah. Dia mengecek arlojinya, mengumpat kesal saat Liv tak juga muncul meski mereka sudah berada di sana selama setengah jam.“Kamu terlihat menyedihkan,” gumam Ashley pelan ketika dia melihat Ruby lagi.Ruby menoleh ke arahnya, tersenyum seperti orang gila, lalu bergumam, “Aku memang menyedihkan.”“Pendengaranmu bagus juga.” Ashley tertawa kecil. Percakapan nyaris mustahil dilakukan ketika ada suara yang bergema di angka seratus dua puluh desibel. Yang ada gendang telinga akan rusak dan Ashley benar-benar tak paham kenapa banyak orang dewasa memilih menghabiskan waktunya di dalam bangunan ini.Pulang-pulang, mereka semua harus mengecek kondisi pendengaran mereka ke dokter.Ashley kembali berdecak saat Ruby mengisi lagi gelasnya dengan alkohol. Namun alih-alih melarang, Ashley malah membiarkan Ruby mabuk. Dia tahu Ruby mengalami banyak sekali
Antonio Winston duduk di kursi khusus di ruang tengah kediaman Winston. Di sisinya, Lorenza tak beranjak, sesekali menepuk pundak Antonio untuk menahan diri. Mary dan Angela duduk terpisah dari mereka, dan Louis terlihat berdiri di sisi sofa seakan enggan duduk bersama dengan Angela.Wajah Louis dingin, sorot matanya penuh kemarahan. Edd dan James menunggu di ruangan lain. Edd berjalan hilir mudik, mencoba mencari tahu pembicaraan keluarga Winston namun dia tidak bisa mendengar apapun.“Tenanglah.” James mengingatkan. “Louis akan berhasil memberi penjelasan pada Paman Antonio.”“Aku tidak menyangka jika Angela akan bersikap manipulatif seperti ini,” gumam Edd. “Aku nyaris lupa pada sifat aslinya dulu.”“Semua bisa berubah jika dihadapkan pada sesuatu yang mendesak seperti ini. Dia membutuhkan Louis untuk masa depannya, jadi dia bisa melakukan semuanya.”“Entah apa yang sedang dipikirkan Ruby. Terus terang, walau hubungan mereka masih sangat baru, aku lebih memilih Louis menghabiskan w
“Sial,” sungut Angela kesal di dalam mobilnya. Dia memutar kaca tengah, memperhatikan raut wajahnya yang sembab dan kemudian mengeluarkan perlengkapan make up dan merapikan penampilannya. “Jika bukan karena aku ingin merebutmu dari gadis sialan itu, aku tidak akan mau menumpahkan air mataku untuk hal yang tidak penting.” Dia kembali memberengut. “Bagus anak itu di sana. Jadi malam ini aku bisa bebas semalaman di bar,” sahutnya lagi diikuti tawa cekikikan lalu dia segera menekan pedal gas mobilnya.Malam sudah semakin larut, Louis melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah. Dia sudah menemani Mary tidur lebih dulu, menyempatkan diri menyapa Edd dan James yang masih belum pulang.Memang Louis yang meminta keduanya untuk tidak segera pulang. Setelah menyelesaikan masalah ini, dia mau menemui Ruby dan dia perlu keduanya untuk menemaninya.Televisi layar datar raksasa itu sedang menayangkan drama aksi komedi. Namun terlihat sekali kedua orang tuanya tak menaruh perhatian ke sana. T
Kemudian pikirannya kembali teralih pada malam gala dinner, membuat Ruby melepas pelukan Louis untuk bisa duduk. Louis mengamatinya, mengetahui perlakukan berbeda dari Ruby padanya.“Maafkan aku.” Louis buru-buru memeluk Ruby dari belakang sebelum gadis itu berdiri. “Aku benar-benar menyakitimu By. Maafkan aku.”“Aku harus mandi.” Ruby berusaha melepas pelukan Louis, namun pria itu tak mengijinkannya. Louis justru semakin menyurukkan kepalanya ke batang leher Ruby hingga tarikan nafasnya membuat Ruby merinding.“Kamu sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku. Kita sudah berjanji untuk tinggal bersama,” gumam Louis penuh nada memohon.“Kejadiannya sudah seperti ini dan kamu masih membahas untuk tinggal bersama? Apa kamu gila?” Ruby nyaris berteriak. “Ini tidak masuk akal.”“Apa yang tidak masuk akal?” Louis melepas pelukannya, membiarkan Ruby berdiri di hadapannya. “Kamu tidak berniat membatalkan rencana kita hanya karena kejadian tadi malam bukan?”“Tentu saja aku berubah pikiran.”“R
“Ashley, kamu duduk di sampingku,” perintah James saat ketiga gadis itu keluar kamar di waktu yang bersamaan.Ashley memelas, nyaris memohon karena tahu James akan memarahinya soal mabuknya semalam. “A-aku duduk di samping Liv saja,” sahut Ashley.“Aku duduk di sofa tunggal.” Liv mengerling.Ashley menyeringai sambil memberengut. Tak ada pilihan lain, dia akhirnya berjalan pelan ke sisi James dan tak mampu menatap sorot tajam pria itu. Ruby langsung memilih duduk di samping Louis karena bertekad akan meluruskan masalah ini. Dan mengetahui Liv tidak memiliki sandaran punggung, Edd berdiri dan meminta Liv untuk bertukar tempat. “Lebih nyaman duduk di sana,” ucap Edd.Mereka semua diam cukup lama, sementara Edd dan James saling melempar tatapan. Liv menegakkan punggungnya lalu berkata, “Apa yang akan kita bicarakan sekarang?”Hening.Ruangan itu seperti kosong, seolah tak ada mereka di sana. Liv menatap Ruby dan Louis silih berganti, lalu kembali bicara. “By, kamu ingin mengatakan sesua
Ruby baru saja akan kembali ke rumah ketika dia mendapat pesan dari Louis. Di bawah panas matahari, dia menaungi kepalanya dan menyipitkan mata untuk membaca pesan yang dikirim Louis.[By, bisakah kamu membantuku mengambil berkas rahasia dari hotel di Burwood? Kami semua sedang sibuk dan kekurangan tenaga. Aku harap aku tidak menyulitkanmu.]“Apa perusahaan benar-benar sibuk?” Dia mengernyit, namun segera membalas ‘Ok.’Louis tak pernah melimpahkan pekerjaan padanya. Jadi jika Louis pada akhirnya meminta tolong, itu artinya Louis benar-benar membutuhkannya. Lagipula karena berkas ini rahasia, bisa jadi dia tidak memiliki orang kepercayaan lainnya.Namun Burwood berada di atas perbukitan dan butuh waktu lima jam untuk berkendara ke sana. Ruby melirik jam tangannya. Masih pukul sepuluh pagi, hanya mataharinya saja yang bersinar terlampau cerah sehingga dia menyangka ini sudah tengah hari.Dia memesan taksi secara online, namun tak ada yang mau menerima pesanannya. Ruby mengerti alasanny