Ketiga orang di depanku semakin merunduk begitu tahu hp yang berbunyi bukan dariku.
"Angkat saja jika penting!" Aku meminta siapa saja yang merasa hp-nya berbunyi untuk tidak berlama-lama merespons teleponnya.
“Baik Pak, maaf. Mohon izin sebentar,” dengan kikuk Sheily memberanikan diri berbicara.
Kuberi isyarat agar cepat merespons. Ternyata hanya pesan katanya. Selebihnya ia kembali kikuk dan salah tingkah. Seperti ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Barangkali ia menunggu responsku.
“Dari siapa Sheil?” Tanyaku memastikan.
Ia menujukkannya langsung tanpa banyak suara. Kubaca dan pesan itu datang dari ayah yang memang menyimpan nomornya sebagai nomor cadangan jika aku sulit dihubungi atau karena hal mendesak lainnya.
“Maaf jika kau sibuk, Ayah hanya ingin beritahu kalau besok adalah acara yang sudah kita agendakan jauh hari untuk memancing di kolam dekat danau. Sekali lagi maaf, Nak.”
Sesederhana itu yang sampai mengganggu mood baikku pagi yang seharusnya dipenuhi dengan kegembiraan karena kabar sangat baik atas peluang profit yang menggila sebagaimana yang di sampaikan barusan. Besok? Bukankah hari itu aku ada janji? Janji untuk meeting lanjutan mega proyek besar bersama Bapak Komisaris?
Bukankah selalu kutekadkan dalam hati untuk selalu memprioritaskan segala yang prioritas dan menomor kesekiankan hal lain yang kalah prioritas?
Apakah prioritas pekerjaan sudah kugadaikan dengan keluarga? Khususnya prioritas ayah. Ah! Itu kan dulu. Sekarang aku sudah dewasa. Sudah bukan anak kecil. Tak perlu diatur-atur seperti masih anak-anak dulu.
Namun tiba-tiba rasa sesal muncul mengaduk-aduk dada. Benar-benar bercampur antara senang dan sebal. Senang karena rencana realisasi mega proyek terbesar itu dan sebal karena sikap ayah yang sudah seharusnya tidak ia lakukan padaku. Hari belum genap siang dan sinar mentari masih hangat dirasakan jika berada di luar tapi masih sepagi ini moodku sudah terganggu. Dirusak oleh ayah lebih tepatnya.
Aku semakin sebal saat tiba-tiba bayangan sekelebat itu muncul. Tepatnya berhari-hari ini dimana ayah sering menanyakan dan memastikan acara memancing itu. Segera tidak kujawab karena sebagaimana kebiasaan ayah jika aku sedikit saja merespons maka runtutan kejadian berikutnya akan lebih panjang, sementara aku terlalu sibuk untuk meladeni celoteh ayah yang seperti anak kecil itu.
“Hari Minggu kau kosong kan, Nak?”
“Weekend ini kau ada acara ke luar?”
“Yuk pergi ke taman kota?”
“Temenin ayah dong Nak, semenjak diterima kerja kau jadi jarang main sama Ayah.”
Atas semua ajakan dan pertanyaan itu tidak begitu kuhiraukan. Sesekali aku menjawabnya dengan mengiyakan atau bilang kalau aku sedang ada acara atau sibuk.
Ketiga bawahanku di depan sana tak berani bersuara. Bahkan mendongakpun jadi pantangan di saat seperti ini. Bertahun-tahun bersamaku agaknya mereka paham dengan sifat dan karakterku. Namun heranku kenapa ia betah dan kuat berlama-lama kerja dibawah tekananku?
Padahal seringkali aku marahi dan tegur dengan kasar jika melakukan salah. Karyawan yang lain mungkin lebih memilih hengkang. Tapi beda dengan mereka. Setia dan berdedikasi penuh terhadap pekerjaan.
Terbukti saat aku memberinya tugas dan perintah. Dalam banyak hal mereka bisa dan patut diandalkan. Terlepas dari itu semua aku pernah menanyakan alasan yang mengganjal itu. Kenapa ia masih saja mau bekerja dibawah tekananku. Jawabnya cukup sederhana, kata mereka.
“Kami bisa belajar banyak dari Bapak tentang apa saja dan dimana saja soal pekerjaan. “
** **
Sepulang kerja badan dan sekujur tubuhku rasanya remuk. Seharian di kantor dan remote ke beberapa tempat untuk meeting yang meski beberapa sudah kupangkas membuat tubuhku rasanya seperti diremas-remas. Pegal sekali rasanya. Kepala mulai mendekati pusing dan mata tak sestabil biasanya. Tanda aku harus segera istirahat agar besok bisa kembali fit. Namun bagaimanapun aku paksakan untuk fokus dan stabil saat mengendarai mobil yang membawaku ke rumah ini.
Hari ini aku belum sama sekali menelepon Renata sebagaimana yang biasa aku lakukan karena masih menunggu balasan pesan suara yang sampai sekarang belum ada tanda-tandanya. Padahal sekadar mengabari keadaannya saja itu lebih dari cukup untuk membuatku tenang dan tidak berlarut-larut kepikiran. Tapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan kesempatan baik itu.
Mobil yang kukendarai memasuki pekarangan rumah. Mpok Yanti, asisten rumah tangga keluargaku membuka garasi dan mobil segera kumasukkan. Keluar dari mobil kulihat mobil bagian depan yang peok. Aku belum sempat meminta orang kantor membawanya ke bengkel tadi pagi begitu tiba, karena siangnya harus kupakai. Karena badan sudah tak nyaman dan rasa pusing sudah mulai menguasai kepala, aku bergegas ke kamar tapi begitu aku membuka pintu tiba-tiba…
Ayah menahanku di belakang pintu. Antara sebal bercampur lelah. Mulut ini rasanya ingin berteriak lebih kencang puluhan kali dari tadi pagi di telepon. Di saat bersamaan terdengar panggilan telepon yang setelah kulihat ternyata dari Renata yang seharian ini sangat kutunggu-tunggu kabar apapun darinya.
** **
“Bapak ibu dan semua tamu undangan. Sebagaimana yang saya sampaikan di depan tadi untuk memberikan keputusan saya atas perkara ini maka,dengan segala kerendahan hati saya, dengan segala pertimbangan yang saya pikirkan matang-matang, dengan segala rasa dan perjalanan yang saya ikhlaskan, memutuskan untuk memberi keputusan Mas David agar kembali mengejar cintanya kepada wanita yang pernah sangat dicintainya, dan wanita yang saking cintanya ke Mas David sampai pernah jatuh sakit berbulan-bulan hanya karena merindu.“Saya ikhlas dan saya tidak apa-apa. Toh semua ini hanya titipan. Soal jodoh urusan Tuhan. Saya merasa yang lebih pantas mendampingi Mas David dalam mengarungi hidup dan bahtera rumah tangga sampai akhir usia adalah wanita itu bukan saya. Maka dari itu mohon keikhlasannya semuanya.“Dan khususnya kepada ayah ibu. Hiks… hiks…. Ini memang sudah jalannya. Maaf selama ini saya tidak terus terang. Tapi yakinlah apa yang kita lepaskan
Entahlah apa maksud Sheily menolah-noleh tadi dengan durasi waktu yang cukup menyita perhatian para audience. Aku tak terlalu peduli. Aku hanya meperhatikan Sheily-ku. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istriku.Setelah Sheily kembali fokus ke apa yang ingin disampaikan, para tamu undangan kembali tertuju perhatiannya ke Sheily.“Bapak ibu sekalian. Izin untuk sedikit bercerita. Cerita ini bukanlah fiktif. Tapi cerita yang berangkat dari kejadian yang sesunggunya.“Cerita itu bermula saat ada seseorang yang diam-diam mencintai seorang lelaki. Sebut saja namanya Eli. Lelaki ini oleh Eli dianggapnya spesial. Saking spesialnya ia menyembunyikan perasaannya itu hingga bertahun-tahun lamanya. Ia gigih untuk tidak mengutarakan kepada siapapun selain kepada buku catatan yang menemaninya di tiap kali ia merindukan, teringat dan tengah merasakan cintanya terhadap lelaki itu. Sebut saja namanya Afi.“Singkat cerita, Afi dijodohkan den
Ya! Ini bukan mimpi di siang bolong atau dalam tidur. Ini sungguhan yang kupastikan beberapa kali dengan kenyataan yang ada sehingga tak perlu lagi menyimpulkan kalau ini mimpi atau sungguhan.Gadis yang dijebak untuk bertunangan denganku tak lain dan tak bukan adalah Sheily. Mengetahui kalau itu Sheily, bagaimana aku tidak bahagia dan menangis haru? Di saat aku melepaskan dan netral sentral-netralnya, tiba-tiba aku dihadirkan dirinya untuk mewujudkan apa yang menjadi harapanku kemarin.Aku memprediksikan semua ini telah dirancang dan direncanakan dengan sedemikiannya oleh satu orang yang dibantu timnya. Orang itu siapa lagi kalau bukan Pak Komisaris yang mungkin diam-diam meriset keadaan kami dan mengambil celah untuk sebuah kejutan yang memang aku harapkan.Lalu kehadiran teman-teman kantor, keluargaku, persiapan gedung ini, modus seseorang yang menjadi donatur biaya pengobatan ayah Sheily, dan semua yang terlibat untuk acara ini adalah bagian dari rencana Pak
Sekali lagi aku terkejut begitu tahu kalau benar-benar dia yang ada di depanku. Lama tak jumpa setelah kejadian itu. Dan selama tak jumpa itu tak terdengar kabar tentangnya olehku. Secepat itukah dia menjalani proses hukuman? Apa ia dan pengacaranya mengajukan banding atas keringan hukuman sehingga hanya setahun?“Hai Lucas. Apa kabar bro? Sudah bebas nih? Kok ada disini Bro?”“Kabar baik bro. Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi. Ya aku sudah terbebas dengan segala pertimbangan yang ribet jika aku ceritakan. Yang jelas selama masa hukuman itu ada banyak hal yang kulalui disana. Soal pergulatan batin, introspeksi diri, penyesalan karena telah mengkhianati orang sebaik dirimu, dan lain-lain.“Ya! Aku sangat menyesal Bro. Karena salahku itu aku merasa tidak berhak mendapatkan apa yang dulu aku dapatkan disini. Meski begitu aku tetap berhak untuk mengunjungi tempat ini yang penuh kenangan dan kerinduanku selama di sel. Dan itulah alasan
Alhasil, setelah semua isi pesan ibu Sheily kubaca, hatiku malah dirundung rasa sedih kembali. Sedetik kemudian, kecewa. Lalu, ngilu rasanya.Kalau saja aku mengetahui isi pesannya demikian, tentu lebih baik aku tidak usah membacanya atau langsung menghapusnya saja. Tapi, karena aku sudah bertekad untuk berdamai dan memaafkan semuanya, perlahan rasa tidak mengenakkan itu luntur dan kembali netral.Dalam pesan itu, ibu Sheily mengabarkan berita tunangan Sheily. Sebelumnya beliau meminta maaf padaku yang sebesar-besarnya. Pembicaraan kemarin saat kunjungan ke rumah Sheily terkait niat baikku melamar Sheily juga sudah diceritakan ke Sheily. Sontak Sheily terkejut, bahagia yang bercampur sedih yang teramat.Sheily juga menyesali kenapa semua ini datang terlambat. Tapi bagaimanapun harus ikhlas menerima. Dan ia berharap aku mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.Sheily sudah ikhlaskan aku, ia lepaskan dan biarlah kisah perjalanan cinta dalam diamnya selam
Menyadari suasana menuju tidak nyaman aku berpura-pura izin ke belakang. Aku berpura-pura ingin buang air kecil demi menyelamatkan suasana yang kurang nyaman itu.“Adek. Tolong diantar Mas David ya,” pinta Sheily pada adiknya. Yang diperintah menurut dan mengantarkanku ke belakang. Setidaknya upayaku berhasil membuat keadaan jauh lebih baik. Usai dari belakang aku izin untuk pamit.Saat memasuki mobil aku menatap wajah Sheily yang mengantarku sampai halaman rumah. Kutangkap sekilas pancaran wajahnya yang tidak menunjukkan kecurigaan ia sedang menyimpan sesuatu. Ia malah tersenyum dan berterimakasih atas kehadiranku. Aku balik tersenyum padanya lalu, pada ayah ibunya yang melepas kepulanganku dari depan pintu.Keluarga sederhana yang hangat. Rasanya aku seperti berada di rumah sendiri.Di dalam mobil menuju rumah mataku seketika berkaca-kaca. Tak kuasa aku menanggung beban seperti ini. Padahal tinggal sebentar lagi. Padahal kurang selangk