Di sebuah kantor yang terlihat begitu suram dan dingin, Danu duduk menghadap jendela sambil memijat keningnya yang berkerut. Dia baru saja menerima panggilan luar negeri yang lagi-lagi menyampaikan informasi tidak berguna yang sama setiap tahunnya.Sudah enam tahun berlalu, tetapi dia tidak juga mendengar sesuatu tentang Risa dan anaknya yang sekarang entah ada di mana. Bahkan ketika pria itu mendatangi tempat tinggal Risa yang ada di Perancis dan mendesak Margareth mengaku pun, wanita itu mengaku tidak tahu keberadaan sang sahabat.Margareth tidak berbohong. Wanita itu memang tidak tahu di mana Risa berada dan dia cukup terkejut begitu mendengar jika sahabatnya tak lagi berhubungan dengan pria yang sebelumnya sangat ingin Risa miliki. Hingga dua tahun setelah itu, Risa menghubungi Margareth dengan nomor baru yang berasal dari Indonesia.Ponsel yang tergeletak di atas meja kembali bergetar. Tanpa menolehkan kepala, Danu mengambil benda itu dan membaca sebuah pesan singkat dari seseora
Pembukaan sanatorium di Jakarta Timur dihadiri banyak undangan, salah satunya dari taman kanak-kanak yang termasuk Nathan di dalamnya. Anak-anak itu datang bersama wali murid dan menyemarakkan acara resmi tersebut. Selain anak-anak dari sekolah terdekat, pihak rumah sakit juga mengundang pasien dari yang menjalani rawat inap karena memiliki kondisi yang kurang baik.Sembari bergandengan tangan dengan sang ibu, Nathan dan teman-temannya membawa setangkai bunga krisan yang mempunyai makna bagus, yaitu sebuah doa agar orang-orang sembuh dari segala penyakit dan panjang umur.Risa memegangi perutnya yang terasa sakit sebab sejak tadi menahan sesuatu. Acara akan dimulai dalam sepuluh menit dan jika dia menahannya lebih lama, kemungkinan dia akan menjadi pasien pertama yang di sanatorium tersebut.Lantas, wanita itu melepas genggaman tangan Nathan dan berkata, “Nathan, mama harus ke toilet sebentar. Kau harus tetap di sini bersama teman-temanmu, ya?”“Baik, Ma!”Risa kemudian melangkah perg
Margareth menutup pintu kamar Nathan setelah anak itu tertidur pulas dalam pelukannya. Karena kejadian di mana Nathan mengaku melihat ayahnya, sementara Risa mengelak jika mereka hanya mirip, anak laki-laki dengan tinggi seratus enam belas sentimeter itu merajuk dan tidak mau melihat sang ibu.Risa sedang duduk di ruang tengah saat Margareth datang. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang pasti berkaitan dengan sikap keras kepala Nathan seharian ini yang tidak bisa dianggap remeh. Karena seperti yang sudah diketahui, anak-anak tidak pernah berbohong dan terkadang perasaan mereka lebih akurat daripada orang dewasa.Margareth duduk di sebelah Risa, memperhatikan sikapnya yang mencurigakan, seolah-olah terganggu oleh kenyataan yang Nathan percayai. “Jadi, sekarang aku benar-benar harus tahu apa yang sebenarnya terjadi enam tahun lalu,” katanya dan Risa tak juga menanggapi. “Mungkin pria yang Nathan lihat memang ayahnya, tapi …,“Aku sungguh tidak mengerti kenapa kau bersikeras meracu
Acara di Jakarta sudah usai dan Danu berencana pulang melalui perjalanan darat dan menyeberangi lautan dengan kapal feri siang ini juga. Pria itu bahkan sudah dalam perjalanan menuju Merak lantaran dirinya tidak bisa berlama-lama meninggalkan sanatorium di Bandar Lampung.Sepanjang mobil pajero itu melaju di jalan tol, Danu tak henti-hentinya memikirkan ucapan Nathan yang terdengar yakin tanpa ada keraguan. Dia bahkan masih terbayang-bayang bagaimana anak itu menunjuknya dengan ekspresi wajah serius.Bagaimanapun pria itu mencoba tidak acuh, dugaan tak pasti yang muncul di kepalanya benar-benar menyita waktu dan perasaan hingga pada akhirnya dia menghubungi Angga Prayoga, Direktur Rumah Sakit yang juga berperan penting pada acara pembukaan sanatorium kemarin.“Ini saya, Danu,” kata pria itu begitu sambungan teleponnya diterima.“Oh, iya, Pak Danu. Apa Anda sudah tiba di pelabuhan?” tanya Angga di seberang sana.“Tidak, belum. Saya ingin bertanya tentang anak-anak yang datang menerima
Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, Danu tiba di TK Stasiun Pelangi yang lokasinya memang dekat sekali dengan rumah sakit dan juga sanatorium baru itu. Kira-kira hanya berjarak sekitar satu kilometer saja.Sekolah itu tidak terlalu besar dan bagus, pula tidak terlihat elit seperti taman kanak-kanak yang ada di pusat Kota Jakarta. Hanya dengan melihat itu, Danu menjadi ragu untuk memastikannya. Namun, di satu sisi dia juga berpikir jika mungkin saja Risa sengaja menyekolahkan anaknya di tempat kecil yang luput dari pemeriksaannya.Sayang, siang itu sekolah sudah dibubarkan dan tidak ada siapa pun di sana selain penjaga sekolah yang pasti tidak tahu soal apa pun tentang anak-anak di sana. Akan tetapi, begitu melihat Danu berdiri di depan pagar dan terlihat kebingungan, penjaga itu datang menghampiri.“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya pria bernama Rudi tersebut“Ah, saya dari Rumah Sakit Inpra,” jawab Danu santai dan pria di depannya mengangguk-angguk. “Kemarin saa
Danu merasa kesal setengah mati pada wanita yang terduduk di depannya ini sambil memeluk anak laki-laki yang tengah menangis. Meski demikian, dia tidak bisa menunjukkan sikap arogannya di depan Nathan jika tidak ingin membuat anak itu menaruh kebencian padanya.Untuk menjaga kepercayaan bocah bernama Nathan itu, yang harus Danu lakukan adalah mengalah pada dirinya sendiri meski harus membiarkan mereka berdua tetap bersama. Akan tetapi, dia juga harus melakukan hal yang sama.“Aku tidak akan mengambilnya darimu.”Risa tersentak dan melebarkan mata setelah mendengar perkataan Danu barusan. Dia bahkan menatap pria itu dengan pandangan bergetar, terkejut dan tidak percaya jika dia benar-benar mendengar sesuatu yang rasanya tidak mungkin.“Aku tidak akan mengambilnya darimu, tapi jangan berani-beraninya kau mencoba kabur dariku!”Detik itu juga, kedua mata Risa yang terbelalak bertambah lebar. Apa yang baru saja Danu katakan adalah sebuah ancaman sekaligus kesempatan agar dia tidak bisa be
Laras benar-benar putus asa menunggu kedatangan Danu atau sekadar panggilan telepon pria itu. Bahkan ketika ini adalah hari pernikahannya dengan Alex, tak sekali pun telepon atau pesan masuk ke ponselnya.Digenggamnya ponsel lipat tersebut dengan kuat, sebagaimana rasa jengkel Laras kepada Danu yang bertingkah seolah-olah tidak terganggu dengan pernikahannya. Jika memang pria itu tidak peduli, Laras harus melakukan sesuatu karena itu membuat perasaannya tersakiti.Hari pernikahan yang seharusnya dilakukan pada pukul sepuluh nanti resmi ditunda dan akan dilaksanakan di waktu lain, entah kapan. Rencananya Laras akan mendatangi Danu di rumahnya untuk mengundang pria itu secara langsung agar bisa melihat seperti apa reaksinya.Setibanya di rumah Danu, wanita itu justru bertemu dengan Rendi, kepala perawat sanatorium, keluar dari rumah itu membawa dua satu koper besar yang diketahui milik Danu yang dibeli di Swiss bersama Laras beberapa tahun silam saat berlibur.“Itu milik Danu, apa yang
Dengan meninggalkan janji bahwa siang nanti dirinya akan menjemput Nathan, Danu bergegas ke hotel tempatnya menginap untuk bertemu dengan Laras yang tiba-tiba datang membawa kopernya. Padahal kemarin dia meminta Rendi untuk memaketkan barang tersebut dengan santai.Mobil putih itu membelah jalanan ibukota yang padat dengan kecepatan rendah karena saat ini sedang jam-jam sibuk. Setelah setengah jam lebih, Danu tiba di tempat parkir yang letaknya di lantai dasar hotel bintang lima tersebut. Dengan langkahnya yang lebar, dia berjalan ke lobi untuk menemui wanita yang sempat membuatnya jatuh cinta selama beberapa tahun itu.Laras sedang duduk di salah satu kursi yang ada di lobi hotel, menyilangkan kaki dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Bibirnya yang merah sesekali tersenyum membayangkan Danu datang dengan ekspresi terkejut dan tiba-tiba saja … pria itu berdiri di sebelahnya.“Sayang!” Laras berseru sambil beranjak berdiri, kemudian melepas kacamata hitamnya sebe