"Ya. Mungkin karena ini pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda dari sebelumnya."
Risa menganggukkan kepala, meyakinkan jika tatapan yang dipancarkan pria itu melalui foto karena terpengaruhi oleh pekerjaan yang pastinya menuntut untuk terlihat meyakinkan dan dapat dipercaya. Meninggalkan bingkai foto besar tersebut, dia bergerak ke arah meja.
Ada satu foto di dekat komputer, terlihat Danu sedang bersama seorang perempuan yang bersandar di pundaknya. Meski Risa sempat berpikiran buruk, dia kembali mengutamakan kepercayaannya kepada pria itu, yang dianggapnya sebagai Jaya.
"Adiknya cantik sekali. Aku jadi tidak percaya diri," gumamnya pelan.
Saat tangannya berniat mengambil bingkai tersebut, tiba-tiba pintu terbuka dan itu membuat Risa berbalik. Begitu melihat seorang pria muncul, wanita itu tersenyum senang dengan jantung berdebar-debar. Dia seperti menemukan seseorang yang telah dirindukan dan dicari-cari selama ini.
Melihat Risa tersenyum, Danu melangkahkan kakinya mendekat ke arah wanita yang pasti telah salah sangka. Dalam jarak dekat, pria itu memastikan jika wanita yang datang menemuinya memang benar-benar seseorang yang telah berhubungan dengan Jaya Bratadikara, kembarannya.
Dengan perasaan berbunga-bunga, Risa memberanikan diri untuk melangkah maju. “Jay, senang bertemu denganmu lagi,” katanya.
Tidak memberi balasan atas sapaan yang Risa beri, Danu mengangguk-angguk dan menyuruh wanita berambut panjang itu duduk. “Duduklah. Ada sesuatu yang harus kau ketahui.”
Meski agak bingung dan kecewa lantaran pria itu terlihat tidak menyukai kedatangannya, Risa memutuskan untuk duduk dan menyimpan senyumnya. Sekarang tidak hanya foto, pria di depannya ini seperti bukan Jaya. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya sedih hingga ingin menyerah.
“Aku tidak menyangka kau akan datang secepat ini,” kata Danu tanpa menatap Risa yang merasa kurang nyaman. “Meski begitu, aku tidak akan mempermasalahkannya.”
Saat itu Risa sudah merasa tidak enak melihat bagaimana Danu berbicara atau bagaimana dia bersikap. Lain dengan Jaya yang ditemuinya di Kanada, pria itu benar-benar tidak terlihat mempunyai kehangatan atau rasa perhatian.
Risa tidak suka dengan ini karena sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pria itu tidak akan mengakui bahwa bayi yang dikandungnya adalah hasil dari perbuatan mereka di salah satu teepe di Yellowknife, atau bahkan pura-pura tidak ingat bahwa mereka pernah bertemu di mana Aurora Borealis itu berada.
“Jaya, dia yang kau temui di desa itu sudah mati.”
Perkataan Danu barusan sontak saja membuat Risa mengalihkan pandangan dan mematung. Daripada terkejut, wanita itu justru merasa tidak bisa berkata-kata dan tidak menyangka jika Danu akan mengatakan hal konyol hanya karena tidak ingin dirinya masuk ke kehidupan yang sempurna itu.
Tak berselang lama setelah itu, Risa menghela napas perlahan. Ini salahnya telah mempercayai pria yang baru saja ditemuinya, bahkan sampai rela menyerahkan tubuhnya yang suci hanya karena berada di ambang kematian. Benar kata Margareth. Pria itu memang bukan seseorang yang baik.
“Aku sudah sering melihat kejadian seperti ini, tapi aku tidak menyangka kalau aku bakal mengalaminya,” kata Risa diiringi senyum getir. Pandangannya masih tertuju ke arah yang tidak begitu penting hingga tak dapat melihat ekspresi Danu yang agak sedikit kesal. "Ternyata pria yang aku temui di Kanada sudah mati."
“Sepertinya kau salah paham,” sela Danu sebelum wanita itu semakin jatuh ke dalam pikirannya sendiri.
“Tidak masalah jika kau memang tidak mengharapkan kedatanganku,” timpal Risa cepat sambil beranjak berdiri. Agaknya kehadirannya di hadapan pria itu tidaklah tepat. Sekarang dia menatap Danu yang sedikit gelagapan. “Kalau begitu aku pergi.”
Danu beranjak dari duduknya dan menyusul Risa. Dia mencekal tangan dan mencoba menghentikan perempuan itu dan memintanya untuk mendinginkan kepala karena pembicaraan ini belum selesai.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku sudah mengerti maksudmu, jadi tidak perlu khawatir soal apa pun.” Risa melepaskan cengkraman Danu dengan rasa sakit hati yang teramat besar. Dia juga merasa malu karena datang membawa rasa percaya diri tinggi.
Perempuan itu kembali melangkahkan kaki, tetapi ketika tangannya membuka pintu, dorongan dari arah yang sama membuat benda itu kembali tertutup rapat dan sontak membuat Risa berbalik.
Kini keduanya saling bertemu pandang. Risa memang merasakan sesuatu yang berbeda, tetapi keyakinannya tentang pria itu adalah Jaya, masih lah sama. Namun, berbeda dengan Risa, Danu hanya merasa asing dengan wanita yang kini menatapnya dengan sorot kesedihan sekaligus kecewa.
“Aku mengerti kalau laki-laki yang kutemui di Kanada sudah mati. Jadi, lepaskan dan biarkan aku pergi!” Risa menjerit, tak tahan menahan sakit hatinya hingga kedua mata yang berkaca-kaca itu akhirnya meleleh jatuh.
Ada kerutan di pangkal hidung Danu, sebagai tanda bahwa dia tidak suka dengan karakter wanita yang ditemui saudara kembarnya selama hampir dua minggu di negeri orang itu. Bisa-bisanya di sisa waktu yang dia miliki, malah jatuh cinta kepada wanita seperti ini, batinnya.
“Aku akan pergi. Aku berjanji tidak akan merepotkan dirimu. Aku juga tidak akan meminta pertanggung jawaban sedikit pun.” Risa menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. "Risa yang kau temui di Kanada juga sudah mati."
Risa beranjak pergi dengan rasa sakit yang melebihi ketika dirinya mendengar bahwa ada penyakit mematikan yang mengancam nyawanya. Kanker mungkin bisa disembuhkan dengan jalan operasi, tetapi luka yang pria itu berikan mungkin tidak akan bisa sembuh selamanya.
Mungkin saja setelah bayinya lahir, Risa akan teringat rasa sakit setiap kali melihat bayi itu. Tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi seumur hidup.
"Jaya sudah mati, Risa juga sudah mati. Mereka berdua sudah mati dan hanya ada aku yang harus bertahan dengan keadaan ini."
“Mama! cepat! Nanti ketinggalan pesawat!”Nathan melambai-lampai pada Risa yang sedang mengunci pintu pagar. Hari ini sampai dua minggu kedepan, rumah itu akan kosong karena mereka akan pergi ke Prancis, sementara Lastri memilih untuk cuti dan pulang sekalipun Risa sudah memintanya untuk ikut ke City of Love tersebut.Selain libur panjang kenaikan kelas, perjalanan Nathan serta ayah dan ibunya ke Prancis bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga menghadiri pernikahan Margareth yang telah hamil dua bulan ini.Risa masuk ke mobil dan menatap sang anak melalui spion di atasnya. “Pesawat tidak akan meninggalkan kita, Sayang. Masih ada satu jam untukmu berlarian di bandara.”“Nathan boleh bermain di sana, Ma?”“Tentu saja tidak,” sahut pria yang baru saja menginjak pedal gas itu. Danu terkekeh mendengar dengkusan Nathan. “Nathan suka bisa bertemu Tante Margareth?”“Ehm! Nathan suka sekali! Nathan juga ingin bertemu adik kecil!”Risa tertawa kecil lalu menoleh ke belakang. “Belum bisa, Nath.
Beberapa minggu berlalu, hari kelahiran Nathan tiba dan pesta ulang tahun ke tujuh dimeriahkan dengan tamu-tamu undangan teman sekelas dan juga teman masa TK-nya. Meski hanya berupa pesta kecil-kecilan, anak laki-laki itu benar-benar bahagia mendapat banyak hadiah, terutama dari ayah dan ibunya yang berupa robot-robotan kesukaannya. Selain robot-robotan, Nathan juga mendapat sepatu, bola kaki, juga beberapa benda lain yang bisa dipajang di dalam kamar. Ini adalah kali pertama Risa merayakan ulang tahun sang anak. Bukan karena tidak mampu, tetapi merayakan hari kelahiran Nathan saat anak itu masih berusia di bawah lima tahun menurutnya sia-sia. Nathan bisa lupa kapan saja, berbeda dengan sekarang yang sudah bisa mengingat banyak hal, termasuk pesta ulang tahun pertama di usia tujuh tahun. Orang-orang mungkin menganggap Risa perhitungan, tetapi wanita itu memang memperhitungkan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Sekitar pukul delapan malam Danu baru pulang ke rumah karena siang ta
Sudah hampir satu minggu ini Risa berada di rumah setelah mengajukan surat pengunduran diri. Selain hanya bersantai di rumah, wanita itu kini bisa mengantar jemput Nathan menggunakan mobil yang Danu beli khusus untuknya dan karena tidak bisa menyetir, mereka kini punya sopir pribadi yang tempat tinggalnya dekat dengan komplek perumahan.Untuk mengisi hari-harinya yang panjang, Risa juga banyak membuat kue atau pergi ke spa dan salon untuk memanjakan diri. Setelah mendapat perhatian penuh dari Danu, sekarang wanita itu merasa telah menjadi ratu. Seorang ratu yang melewati banyak rintangan untuk bisa duduk di takhta.“Hari ini kau akan kemana?”Risa menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan Danu yang sedang memakai baju. “Aku pergi ke perkumpulan wali murid siang ini,” jawabnya sambil beranjak mendekat. “Mereka baru mengundangku ke grup setelah hampir tiga bulan Nathan masuk sekolah dasar.”Danu yang hendak memakai dasi, kembali urung dan membiarkan sang istri yang melakukannya. “Kau
“Nathan mau juga!”Anak laki-laki itu berlari ke arah ayah dan ibunya, lalu mencium pipi keduanya dan tersenyum lebar setelahnya. Sementara Danu dan Risa hanya tersenyum sambil membalas tatapan satu sama lain, merasakan debaran membuncah yang tidak bisa disembunyikan.Setelah menikmati pemandangan malam yang indah di Monumen Nasional, mereka bertiga memutuskan untuk pulang sekitar pukul sembilan. Apalagi Nathan sudah kelihatan tidak berdaya saat berada dalam gendongan Danu meski anak itu kini menjadi lebih tinggi dari pertama mereka bertemu.Dulu saat Danu datang, Nathan masih di bawah pinggulnya, tetapi sekarang anak itu sudah mencapai pinggang dan terus tumbuh hari demi hari. Hal itu membuat Danu sadar jika waktu yang mereka lalui bersama sudah terbilang lama, tidak lagi hanya seperti kemarin.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Danu menggendong Nathan dan menidukannya di kamar, sementara Risa membawa beberapa jenis makanan ringan yang tidak disentuh, lalu meletak
Nathan heran sekali melihat sang ibu beberapa hari ini terlalu banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika anak itu mendekat masuk dan berbicara pun, tanggapan yang dia terima tidak begitu memuaskan sampai-sampai menimbulkan pertanyaan, apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Tidak hanya sang ibu, ayahnya pun terlihat tidak semangat setiap hendak pergi bekerja, atau ketika pria itu pulang dari kantor. Bertanya kepada Lastri pun tidak cukup membuat Nathan tenang dan mengerti.“Tidak ada apa-apa. Papa dan mama Nathan cuma kelelahan karena sibuk bekerja. Jadi, jangan terlalu khawatir ya, Sayang?”Nathan mengangguk lesu mendengar jawaban Lastri yang selalu sama sejak tiga hari lalu. “Pasti Nathan jajannya kebanyakan sampai mama dan papa kecapekan begitu.”Lastri hanya tersenyum sambil mengelus kepala Nathan, lalu membawa anak itu ke kamar untuk menemaninya belajar sampai selesai. Sama seperti Nathan, Lastri juga merasa iba kepada Risa yang kehilangan anak sebelum tahu jika ada ja
Risa keluar dari kamar sambil mengikat rambut. Wanita itu sudah terlihat siap untuk pergi ke kantor meski sejak pagi dia merasa tidak nyaman pada perut hingga punggung. Rasanya nyeri dan itu sudah sering dirasakan setiap satu hingga dua bulan sekali.Setelah lebih dari dua bulan tidak datang bulan, Risa pikir dia berhasil hamil, tetapi pagi tadi ada bercak merah di celana dalamnya dan itu tanda bahwa tamu bulannya datang, serta harapan bisa hamil tentu masih belum tercapai.Duduk di sebelah Nathan, Risa mengecup kening anak laki-laki itu seperti biasa. “Kamu yakin sudah memasukkan semua buku yang harus dibawa hari ini?”“Sudah, Ma. Nathan sudah memeriksanya dua kali!” balas anak itu dengan nada tinggi, agak kesal karena sang ibu terus menerus bertanya hal yang sama setiap pagi.“Bagus. Kamu sudah besar sekarang, jadi mama tidak akan membantumu melakukan tugas harianmu. Mengerti?“Iya ….”“Omong-omong, apa kau merasa kurang sehat?”Risa mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di d
Derit ranjang berbunyi memenuhi kamar, bersahutan dengan desah serta erangan dari dua insan yang tengah memuaskan hasrat satu sama lain di siang bolong seperti ini saat sinar matahari bisa dengan mudah menerangi ruangan dari jendela yang terbuka.Ini terjadi begitu saja setelah tiba di rumah. Perasaan emosional yang Risa rasakan membuat Danu sedikit lebih perhatian dan berakhir pada pergulatan panas di ranjang yang membuat sprei berantakan, juga pakaian berserakan di lantai.Embun keringat muncul di punggung Danu yang terus bergerak mengeluar masukkan miliknya pada kewanitaan Risa yang telanjang bulat, sementara lidahnya tak berhenti memberi rangsangan pada payudara istrinya yang terus meracau tak jelas.“Aku bilang pada Laras kalau kau sangat perhatian padaku,” ucap Risa di tengah-tengah perasaan membuncah, “dan itu membuatnya sangat marah.”Danu tak merespon meski sempat terganggu karena tiba-tiba Risa membawa nama Laras saat mereka sedang bercinta. “Jangan bicara lagi. Aku tak mau
“Apa yang kau lakukan dengan duduk seperti orang bodoh di mobilnya?” Danu bertanya dengan perasaan yang masih kesal meski sudah hampir setengah jam Risa duduk di sebelahnya.“Dia hanya meminta maaf,” ujar Risa ketus.“Minta maaf untuk apa?” Danu mengernyitkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari jalur mobil di depan.“Kakiku.”Danu menoleh ke kiri dan menepikan mobilnya. “Dia yang menyebabkan semua ini?”“Ya, tapi tidak perlu cemas. Aku sudah membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan hatinya.” Risa tertawa kecil setelahnya dan meminta Danu untuk melanjutkan perjalanan meski ucapannya membuat pria itu penasaran.Danu sama sekali tidak percaya jika Laras tega melakukan hal buruk itu karena dirinya memutuskan untuk pergi dan datang kepada Risa demi Nathan. Jika dipikir-pikir kembali, dia sadar betul semua ini terjadi karena dirinya yang membuat Laras sakit hati, sementara Risa yang menerima akibatnya.“Aku minta maaf. Semua ini karena diriku,” ucap pria itu kemudian.“Semua su
Hari ketiga setelah Nathan libur panjang, Margareth tiba-tiba muncul di bandara dan meminta Risa menjemputnya. Wanita itu memakai celana panjang dan blus simpel warna biru muda, sementara rambutnya dibiarkan tergerai saat menemui sahabatnya yang datang tanpa kabar.“Aku ambil cuti tahunan dan dapat jatah dua minggu. Lumayan, bukan?” Margareth menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.“Kalau begitu, selamat!” Risa membalas dengan senang. “Tapi, kenapa kau malah ke Indonesia, bukannya ke tempat lain yang belum pernah kau datangi?”“Loh, Nathan tidak bilang?” Margareth tampak heran, sementara Risa kebingungan. “Aku mau berlibur ke Lombok bersama Nathan selama satu minggu!”“Apa?” Risa melotot dan membuat orang-orang terperanjat mendengar suaranya yang lantang. “Kapan? Dia tidak bilang apa pun padaku!”“Besok pagi kami berangkat.”Risa berkacak pinggang setelah itu san menghela napas panjang. Menurutnya, Nathan mulai menjadi lebih dewasa hari demi hari. Anak itu bahkan sering