Sungguh aneh memang, bahkan ia sendiri bingung tiba-tiba di pikirannya hanya Aditya.Jelas yang menelepon Hendra.Argh! Kenapa aku hilang waras begini?Selena menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi mengutuki kecerobohannya sebelum keluar menemui Hendra.Hendra yang menunggu di depan pagar memberikan tasnya yang tertinggal di mobil dengan tangan terulur."Itu seh, terburu-buru sampai-sampai tasnya ketinggalan. Coba hatinya saja yang ditinggal!" celetuk Hendra menggodanya Selena meneguk liurnya, wajahnya langsung memerah. Candaan Hendra itu sangat membuatnya tidak nyaman."Maaf aku terlupa, Kak. Tapi terimakasih sudah mau mengembalikannya," ucap Selena gegas meraih tasnya.Namun, Hendra menarik tasnya kembali. Selena sampai memelototi Hendra yang senyum-senyum. "Kak, tasnya?" ujarnya."Hmm, bagaimana kalau ini memang bukan tas kamu, Selena?" kata Hendra menaikkan alisnya tinggi-tinggi.Heran campur bingung, jelas itu tasnya lah. Hendra juga melihatnya menyandang tas itu tadi , tapi ken
Bukan hanya memucat lagi, tubuhnya pun ikut bergetar. Takut-takut Selena menarik map kembali dari tangan sang HRD.Tertunduk, tak tahu harus membuat alasan apa untuk membela dirinya sekarang.Mungkin sekarang lebih baik mengutuki Hendra, karena dialah sampai Selena melupakan pekerjaannya semalam."M-maafkan saya, Buk. S-saya belum sempat mengerjakannya.""Apa? Kenapa, Selena?" tanya sang HRD kaget, menatapnya berapi-api. Beberapa detik kemudian wajah sang HRD juga ikut memucat. "Mati aku, Selena!"Kemudian memicingkan matanya menatap Selena yang tertunduk. "Kamu tahu, Selena! Berkas ini mau dipakai meeting pagi ini di perusahaan Adiguna Jaya, 'kan?" Raut wajahnya pun berubah memerah karena rasa kesalnya.Mungkin kalau bukan terdesak, sang HRD masih bisa memaklumi kelalaian Selena.Tapi berkas-berkas itu sangat mendesak, mau tak mau sang HRD tidak mau jadi sasaran kemarahan Tuan Collins dan pak Aditya.Selena makin tertunduk dalam. Meminta maaf juga tidak menyelesaikan pekerjaannya
Siapa yang senang? Sedari tadi ia tak lepas dari gelisah dan ketakutannya. Kesal dan penasaran jadi satu, tapi hanya bisa menunggu."Kamu tahu? Ini kesalahan kedua mu!"Kesalahan kedua? Selena kaget makin melotot. Seingatnya baru sekali ini lalai kerjakan tugas. Lalu, kesalahan yang lain kapan? Aneh, dari mana Aditya bisa menarik kesimpulan seperti itu?"Ta---""Aku sangat sibuk sekarang, tunggu saja besok Tuan Collins membicarakannya!" Aditya memutuskan sepihak.Selena menyandar ke sisi meja. Kedua lututnya melemah menahan tubuhnya. Pikirannya tidak bisa lepas dari kesalahan-kesalahannya."Bagaimana, Selena?" tanya sang HRD tak sabar."Belum tahu, Buk. Tunggu besok Tuan Collins kemari."Sang HRD mengerutkan dahi. Tapi tak ingin memperpanjangnya, yang penting Selena tak jadi dipecat."Kembalilah ke ruanganmu, Selena," ujarnya menghela napas lega. Selena duduk merenung di kursinya. Pikirannya belum bisa tenang sebelum mendengar keputusan hukumannya.***Di perusahaan Adiguna Jaya
"Hendra," desisnya hanya mengabaikannya.Namun, baru saja meletakkan ponselnya, terdengar ketukan di depan pintu kamar kosnya.Disusul panggilan, "Selena buka pintunya!""Riana?" gumamnya kaget."Selena, buka dong," panggil Riana kembali menyentakkannya yang membatu. 'Sial! Sudah tahu lagi kesal! Bisa seh tidak usah menggangguku!' batinnya mengomel.Tak mau ribut-ribut di kos, Selena terpaksa keluar."Maaf, aku ketiduran," katanya cepat menutup pintu kamarnya takut Riana masuk. "Masa tertidur! Perasaan baru lima menit!" oceh Riana mengekorinya.Di pagar kos Selena terhenti melihat Hendra berdiri di samping mobil. Ia berbalik badan cepat menatap tajam Riana."Apalagi yang kamu rencanakan, Riana? Tidak cukup membuatku dipecat?" tuding Selena kesal.Riana kaget, tak menyangka Selena malah menyalahkannya. Tapi coba memahaminya mungkin Selena cuma lagi kesal. "Aku tidak merencanakan apapun, Selena. Kak Hendra memintaku kemari untuk meminta maaf padamu." Riana menarik tangannya mendekati
Selena memberikan amplop dari HRD tadi kepada Tuan Collins. "Ini dari buk HRD, Tuan," ucapnya menarik cepat tangannya. Kemudian tertunduk dengan meremas telapak tangannya gelisah, menahan rasa gugupnya.Sejenak Tuan Collins mendesah kasar sebelum membuka amplop."Selena, aku meminta maaf kepadamu," ujar Tuan Collins merobek sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas. Kemudian menarik napasnya dalam-dalam.Selena yang gugup menenggak liurnya, mengangguk cepat. Dalam hati sangat tidak nyaman mendengar Tuan Collins sampai meminta maaf. Kini pikirannya dengan isi amplop itu surat pemecatannya seolah benar. "B-baik, Tuan," sahut Selena kini meremas ujung baju seragam kerjanya. Ia hanya pasrah segala kemungkinan di pecat. Percuma juga memohon-mohon, Aditya bahkan tidak memberi kesempatan untuknya membela diri."Tapi sebelum kamu menandatangani surat pemecatan dirimu ini, aku ingin bertanya satu hal, Selena."GLEKKMenandatangani surat pemecatan? Wajahnya langsung memutih. 'J-jadi aku
Hahk!Kenapa dia? Siapa yang membujuk? Apa dia begitu bodoh sampai tidak tahu membedakannya?Percuma juga mengomel-omel sendiri. Meski sangat kesal, tapi Selena tetap butuh tahu.'Pak Aditya terhormat, saya bertanya bukan membujuk Anda kembali menarik keputusan tepat Anda itu. Harusnya saya bersyukur, kini terbebas dari Pimpinan kejam seperti Anda. Sekretaris.'Selena tertawa senang. Bisa membayangkan wajah Aditya yang merah padam menahan amarahnya mungkin.Namun, tawanya segera terhenti melihat panggilan masuk dari Aditya.Gantian wajahnya yang merah padam sekarang."Bagaimana ini?" gumamnya tidak berani mengangkatnya.Ia juga tidak mau Aditya sampai mengenalinya dari suara. Berkali-kali panggilan dari Aditya hanya diabaikannya saja. Sesaat setelahnya denting notif pesan pun masuk menyentakkan Selena, gegas membukanya.'Wanita rendahan sepertimu memang tidak bisa menghargai orang lain! Sama seperti buket bunga pemberian ku itu! Aditya.'Selena menelan liurnya. Baru sadar dengan buket
"A-aku sudah mendengarnya, Kek."Dalam hati mengumpat Tuan Collins yang sengaja mengungkit kecerobohannya di perusahaan Collins.Aditya terlalu gugup harus mengakuinya bukan hasil kerja keras Tuan Collins. "Apalagi yang kamu pikirkan? Tidakkah itu satu ketakutan bagimu, karena secepatnya aku menarik semua perusahaan darimu, Aditya?"Aditya menenggak liur. Bukan waktu yang tepat berdebat dengan Tuan Collins. Sadar telah melakukan kesalahan besar, dia pun hanya bisa mengiyakan.Sekarang Aditya butuh tahu siapa yang membantu Tuan Collins menaikkan perusahaan dalam waktu singkat. Seenggaknya dia bisa meminta bantuannya.Tapi bertanya langsung kepada Tuan Collins hanya akan membuatnya jadi bulan-bulanan sang Kakek."Benar, Kek. Beri aku waktu untuk menunjukkannya." Giginya mengerat tidak yakin."Apa yang telah kamu lakukan, sampai dalam sebulan bisa merosot begitu, hakh?""Maafkan aku, Kek. Ini imbas dari pemutusan kerjasama beberapa mitra bisnis.""Hhh, berapa waktu yang kamu butuhkan,
"Aditya? Kenapa dia meneleponku?" Tangannya gemetaran. Membiarkan ponselnya terlepas begitu saja dari genggaman tangannya. Selang berapa detik, wajahnya ikut memutih seolah darah berhenti mengalir di sana. Mulutnya masih menganga belum terlepas dari kagetnya.Beberapa menit hanya begitu, hingga di menit kesekian ia tersentak oleh denting notif pesan masuk di ponselnya."Apa Aditya sudah tahu aku di sini?" desisnya takut-takut membuka ponselnya. Benar pesan dari Aditya. Baru hendak membukanya, tiba-tiba perutnya terasa kram hebat. Sampai-sampai Selena harus membungkuk untuk mengurangi rasa kramnya. Selena kembali meletakkan ponselnya. Fokus menenangkan rasa sakitnya.Selena coba melatih pernapasan dengan menarik napas panjang, kemudian membuangnya dari mulut. Setelah melakukan berkali-kali namun tidak makin membaik. Sekarang pergerakan janinnya makin aktif di dalam sana."Ahh, kenapa tiba-tiba begini? Perasaan tadi baik-baik saja," keluhnya melonggarkan karet pinggang celana