Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia.
Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan yang dokter dan rekom ahli gizi yang dengan sengaja mama minta resepnya.
Kenyataan di mobil. Cita-cita luhur Cia untuk segera tidur harus tertunda.
“Kamu tadi alasan apa lagi ke Jordi?” tanya Flo yang duduk di samping Vandra sambil menelengkan kepalanya ke belakang, sedangkan Cia menikmati ke-santaian-nya di dalam mobil dengan memilih tiduran di bangku tengah berbantal Tazmania empuk piaraan Vandra.
“Aku bilang aja kalau papa mau jemput aku sama kamu,” jawab Cia jujur tanpa tebeng apapun.
“Aelah Cia, Jordi kurang apa, sih? Dia cakep, tajir, baik dan perhatian sama kamu. Trus gimana jalannya kamu bisa punya pacar kalo semua cowok sukses kamu tolak semua?”
“Dih, yang udah nggak single lagi,” sindir Cia dengan bibir manyunnya. Flo tertawa ngakak tanpa merasa berdosa.
“Emang cowok macam gimana sih, Cia, yang boleh deketin kamu?” Vandra ikutan bicara mewakili suara hati banyak teman cowoknya yang sukses menerima penolakan Cia.
“Ngapain kamu tanya–tanya? aneh lagi tanyanya. Ya pokoknya cowok yang biasa aja Van, yang nggak macam–macam dan nggak banyak tingkah,” meskipun sebelumnya sempat mencela, Cia tetap menjawab pertanyaan Vandra dengan jelas.
“Loh sedari SMP sampai sekarang kan aku juga biasa–biasa aja Cia, kok kamu nggak mau aku deketin, sih?” Vandra berucap dengan tampang tak berdosanya, sedikitpun dia tidak menoleh pada gadis di sampingnya yang mulai manyun dan keki berat.
“Oh, jadi ceritanya aku cuma pelarian doang nih gara–gara nggak bisa deketin Cia,” suara cempreng itu terdengar seperti sakit hati, berpura–pura sewot dan ngambek pada dua sosok yang ada di dekatnya saat ini. Seolah-olah menjadi korban penghianatan yang tersengaja.
“Flo, kamu lupa apa sengaja ngelupa, ya? Inget cowok sebelah kamu itu raja tengil, serius amat jealous-nya,” ucap Cia santai. Sama sekali tak menghiraukan nada ngambek yang Flo suarakan tadi.
“Syukurlah, Cia, jadi Flo udah nganggap aku bukan cowok tengil lagi kalau begitu,” Vandra berucap penuh kemenangan menggoda Florida dan cubitan manis berhasil membuatnya meringis begitu gadis di sampingnya sadar sedang di kerjain.
“Yang ada itu Flo, Si Tengil ini deketin aku karena ada maunya. Minta bocoran supaya sukses nembak kamu. Kesukaan kamu apa? hobi kamu apa? yang nggak kamu suka apa? daannn … sebagainya! Pasti kamu tadi di tembak dengan white chocolate sebanyak 7 biji plus white rose asli yang masih seger kan?”
Flo menoleh cepat ke arah Cia, kemudian beralih menatap wajah Vandra di sampingnya.
“Loh, kamu kok tahu persis, Cia?” Flo bertanya keheranan sedangkan Vandra sudah tertawa–tawa tapi tetap fokus pegang kemudi di jalan yang cukup macet siang ini.
“Ya tahu aja, dasar Si Tengil itu keterlaluan. Udah tahu temennya ini sekarat, hari ini dia malah asal tembak menembak aja ke kamu. Sumpah nggak tau diri banget.”
“Sorry Cia, lha mumpung beraninya hari ini, trus gimana? Daripada keburu di samber orang. Lagian khawatir coklatnya keburu leleh, aku sisihin uang jajan buat dua hari itu untuk beli coklatnya,” bela Vandra pada dirinya sendiri. Sikap tengilnya sama sekali tidak tersembunyikan.
“Idih ... perhitungan bangetttt,” teriak Flo gemas, sekali lagi cubitan manis mampir di lengan Vandra, dan berakhir dengan usapan sayang tangan Vandra di kepala mungil Florida.
Selagi Flo dan Vandra melanjutkan bercandaan mereka yang saling mengolok, dari bangku tengah sudah tidak terdengar suara lagi. Cia sukses tidur cantik karena pengaruh obat yang diminumnya.
*****
Tiga hari kemudian jam pulang sekolah.
Cia berjalan santai menuju ruang guru. Hari ini Bu Hanny meminta bantuannya untuk ikut membantu koreksi hasil ulangan Fisika dari beberapa kelas. Kemampuan Cia dalam satu perlajaran ini memang patut di acungi jempol. Jadi, seringkali jika waktunya terlalu mendesak kena deadline pengumpulan nilai, Bu Hanny meminta bantuannya ikut melakukan koreksi hasil ulangan para siswanya.
Cia sudah berjalan menuju ke meja Bu Hanny dan gadis itu sempat tertegun sesaat begitu mendapati seseorang yang tengah berbincang akrab dengan wali kelasnya itu.
“Siang, Bu ... ” sapa Cia membuyarkan keasyikan obrolan dua orang itu. Matanya sempat melirik ke arah Aka, teman ngobrol Bu Hanny saat itu.
“Eh, duduk sini, Cia. Oh iya, supaya bisa selesai lebih cepat jadi saya minta Aka ikut membantu kita. Daripada harus di bawa pulang andai nanti terpaksa nggak selesai,” jelas bu Hanny.
“Iya Bu, nggak apa-apa biar bisa selesai lebih cepat,” jawab Cia sambil melemparkan senyum tipis menyapa Aka. Cowok itu hanya mengangguk tanpa kata ataupun senyum yang sama untuk membalas sapaannya.
“Ya udah deh, yuk kita mulai. Ini cemilan sama softdrink-nya, kalian buka sendiri, ya.”
Mereka bertiga mulai sibuk dengan lembar demi lembar kertas hasil ulangan dari beberapa kelas. Dan sebenarnya di ruang guru itu juga ada beberapa guru lain yang sama–sama sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka masing–masing. Bahkan ada juga beberapa siswa yang sama di minta bantuannya untuk mengoreksi hasil ulangan seperti Cia dan Aka. Dan rata–rata yang nampak adalah siswa siswi berprestasi di sekolah mereka dengan masing–masing guru wali kelasnya yang merangkap sebagai guru pengajar mata pelajaran.
Hampir dua jam kemudian.
“Bagian saya sudah selesai, Bu,” suara Aka terdengar sambil merapikan setumpuk kertas yang selesai dia koreksi, kemudian mengangsurkannya ke depan Bu Hanny.
“Iya, saya juga sudah selesai, Bu,” Cia ikutan bersuara karena kebetulan bagiannya juga sudah selesai.
Bu Hanny merapikan hasil koreksi Cia dan Aka. Kemudian menyimpannya dengan rapi di dalam amplop coklat yang sudah tertulis nama masing–masing kelas.
“Baiklah, terima kasih, ya, kalian sudah membantu pekerjaan ibu. Sekarang sudah sore, kalian ibu antar pulang aja, ya?” penawaran Bu Hanny kepada dua orang murid yang telah membantunya.
“Makasih, Bu, tapi saya pulang sendiri aja, ada perlu soalnya,” tolak Cia segera. Bu Hanny mengalihkan pandangannya kepada Aka.
“Iya, Bu, terima kasih. Saya kebetulan juga mau mampir ke suatu tempat dulu,” Aka ikut melontarkan penolakannya.
Bu Hanny menarik nafas panjang, “Ya udah kalau begitu, kalian hati–hati di jalan,” pesan Bu Hanny akhirnya.
*****
Cia mengambil ponselnya yang bergetar di dalam saku, kemudian menghentikan langkahnya sejenak dan berbincang dengan seseorang di seberang telepon.
“Iya, Ma. Mama hati–hati, ya. Cia juga mau mampir ke toko buku dulu ya, Ma. Jadi pulang agak telat. Dah ... Mama ... ”
Begitu Cia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, seseorang berhenti dengan tiba-tiba di dekatnya.
“Eh, Aka, bikin kaget aja,” seru Cia terkejut.
“Masih aja hobi ngelamun, ya?” Aka menggodanya sambil tersenyum samar.
“Nggak sih, habis di telepon mama, sekalian pamit mau mampir toko buku dulu, jadi pulang agak telat.”
“Oh, mau ke toko buku mana?”
“Emh ... belum tahu sih, paling juga yang dekat–dekat sini aja.”
“Sekalian aja ke toko buku di mal yuk, bareng aku. Aku mau hunting bola basket,” ajak Aka tanpa basa basi.
“Wah, ngajak ngedate, nih?” goda Cia merasa mendapatkan angin untuk membalas Aka yang selama ini berhasil menggodanya dengan kata–kata spontannya.
“Ya kalau yang di ajak mau sih ... ” jawab Aka balik menggoda. Cia hanya membalasnya dengan senyuman.
“Siapa takut? Jalan, yuk.”
Setelah lewat beberapa jam Cia dan Aka menyusuri lantai mal, saat ini mereka duduk berdua di kedai es krim di area food court mal itu. Masing-masing tangan mereka sudah menenteng belanjaan.
“Kamu suka bacaan apa?” tanya Aka sambil menyendok es krimnya.
“Biasa, bacaan cewek. Hehehe … ” jawab Cia sungkan-sungkan.
“Pasti novel–novel cinta romantis dan cengeng gitu, ya?”
“Iya, sih, tapi aku juga suka baca novel detektif macam Sidney Sheldon atau Agatha Christie juga kok.”
“Hemhhh ... lumayan berkelas sih kalau itu, berat juga bacaannya.”
“Yeee ... muji atau mengolok selera aku, nih? Kamu tahu juga kayaknya, emang suka baca karya mereka juga, ya?”
“Sebenarnya aku lebih suka baca yang berhubungan dengan bisnis, tapi untuk karya dua orang penulis legendaris itu aku cukup suka juga membacanya.”
Hoho ... entah kenapa Cia suka mengetahui hal ini. Setidaknya kali ini obrolan mereka cukup nyambung karena ada sedikit kesamaan.
Aka menengok sejenak jam di pergelangan tangannya, “Udah jam 6 lebih nih, pulang yuk,” ajak Aka yang segera di iyakan oleh Cia.
*****
Jam udah nunjuk hampir delapan malam, kelihatan mobil mama sudah terparkir manis di garasinya. Hari ini Cia merasa lelah, sekaligus juga ngerasa seneng banget karena baru saja menghabiskan waktu bersama Aka. Cowok itu tidak seburuk yang dia sangka selama ini. Hari ini obrolan mereka cukup nyambung, dan satu poin lagi yang Cia ketahui tentang Aka. Cowok itu suka baca dan salah satunya cerita detektif seperti kesukaannya.
“Sayang?” sapa mama terkejut yang baru saja membuka pintu. Wanita itu tergopoh–gopoh hendak keluar rumah, dan mereka hampir bertabrakan tepat di depan pintu ketika Cia hendak mendorong pintu dan ternyata sudah terbuka duluan karena mama yang hendak keluar rumah.
“Mama buru–buru banget, memangnya mau kemana, Ma?” tanya Cia heran. Mama tersenyum, kemudian menangkup lembut kedua pipi putri tunggalnya itu.
“Nggak kemana–mana, Sayang. Mama mau ke Pak Has, masti’in kamu udah pulang apa belum.”
“Yah Mama, khan tadi Cia udah ngabarin kalau dalam perjalanan pulang.”
“Ya namanya punya anak gadis, Sayang. Seorang Mama pasti khawatir kalau putrinya jam segini belum ada di rumah.”
Cia segera memeluk erat perempuaj yang sudah melahirkannya ke dunia ini dan mencium pipinya dengan gemas.
“Cia sayang … banget sama mama,” rayu Cia supaya mama tidak lebih panjang lagi mengeluarkan kata–kata saktinya khas seorang ibu yang khawatir.
“Ahhh ... udah deh mandi dulu sana, bau jalanan nih,” goda Mama yang hanya mendapat balasan tawa renyah dari putrinya.
“Bau–bau gini mama khawatirkan juga kan?”
Akhirnya dua perempuan ibu dan anak itu masuk ke rumah sambil memeluk pinggang masing–masing.
*****
“Jadi sekarang kamu sudah tahu kan bagaimana aku bisa berada di sini dan maaf harus menahan diri tanpa menemui kamu, Sayang,” beritahu Aka mengakhiri ceritanya. Mereka berbaring di ranjang mewah salah satu kamar di resort Aka, lebih tepatnya Valencia Resort. Sesekali Aka mencium pundak telanjang Cia, memeluknya dengan erat di dalam selimut yang melindungi tubuh mereka dari dingin AC setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. “Sudah, Sayang, terima kasih banyak karena kamu masih kembali kepadaku,” balas Cia yang menikmati setiap sentuhan dan dekapan hangat Aka yang sudah begitu lama di rindukannya. “Terima kasih juga buat kamu yang selalu yakin dan percaya padaku, Sayang. Semua itu kekuatan tak ternilai yang aku punya di hidup aku.” “Jadi sekarang kondisi sudah aman?” “Sudah, kita bisa menikah segera.” “Bukan itu maksudnya, Sayang,” balas Cia sambil tertawa, sadar jika Aka hanya menggodanya meski wajah Pangeran Saljunya ini nampak tak
“Tuan, berikan ponsel tuan kepada saya,” tanpa menunggu jawaban dari Aka Mike langsung merebut ponsel di tangan Aka yang sejak tadi berada di tangan Aka karena cowok itu baru saja mengirimkan pesan kepada Cia mengabarkan bahwa dirinya bersiap untuk penerbangan ke Indonesia. Sepuluh menit lagi Aka harus segera masuk ke dalam pesawat supaya tak ketinggalan penerbangan, namun yang ada justru Mike menahannya dan membuka ponsel itu kemudian mengambil nomornya dan merusak chip kecil itu. Setelahnya memasukkan ponsel itu begitu saja ke dalam kotak sampah tak jauh dari pintu terakhir sebelum menuju masuk pesawat. Aka ingin marah namun lama-lama dia mencerna dan mulai memahami situasi yang ada setelah Mike menariknya cepat untuk pergi meninggalkan bandara melewati pintu yang tak seharusnya. Sebuah mobil sudah menunggunya, dan baru saja masuk ke dalam mobil suara dentuman memekakkan telinga terdengar di seantero bandara itu. Mike duduk diam di sampingnya dan hanya menginstruksikan sop
Cia menatap pria tampan berumur yang duduk di sampingnya. Wajah bulenya sama sekali tak dia lupakan. “Selamat siang, Nona Cia.” “Jimmy? Sungguh ini kamu, Jim?” “Betul Nona, terima kasih masih mengenali saya.” “Ada apa, Jim, kenapa tiba-tiba menemui aku, jangan membuat aku takut, Mommy, Daddy, Kak Zona, Kak Helen dan Zecca semua baik-baik saja, kan?” tiba-tiba ingatan Cia melayang pada kejadian sebulan lalu yang melibatkan interpol harus datang dan muncul di Indonesia memburu para orang jahat yang menurut berita karena urusan persaingan bisnis. Jimmy menyodorkan air mineral dan sekotak makanan kepada Cia. “Semua baik-baik saja, Nona. Lebih baik Nona makan dulu karena perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih empat jam dari sekarang. Cia sedikit tenang meski banyak pertanyaan di kepalanya. Dia mengenali karakter para pengawal keluarga Aka ini. Mereka akan berkata aman jika memang semua aman, dan mereka tak akan banyak bicar
Cia tersenyum gemas melihat baby mungil di dalam ruang bayi meski hanya dari kaca. Kemudian menoleh sekilas ke arah Vendra yang berdiri di sebelahnya dan menerima usapan lembut di kepala dari papa si bayi itu. “Dia lucu, Kak,” ujar Cia tak bisa mengalihkan pandangan dari Baby Azeera, nama yang di berikan untuk putri Alvendra dan Meischa. “Iya, sangat menggemaskan,” jawab Alvendra. Setelah puas melihat bayi akhirnya Cia mengikuti langkah Alvendra menuju kamar rawat Meischa. Dan bertepatan nampak perempuan cantik itu baru kembali dari kamar mandi. “Selamat ya, Kak, Baby nya cantik dan lucu.” “Oh, jadi kamu bahkan melihat dia dulu di bandingkan harus datang menemuiku?” ujar Meischa pura-pura sewot membuat Cia tertawa. “Ketemu Kak Meischa udah sering kali, tapi kalau ketemu Azeera pagi ini baru yang pertama kalinya, jadi penasaran banget.” Meischa ikutan tertawa, kemudian dengan masih di rangkul Cia berjalan menuju ranjangnya.
Hari ini hari pernikahan Flo dan Vandra. Cia mematut lama dirinya yang sudah rapi dan cantik. Gaun peach pada waktu itu melekat pas dan indah di tubuhnya. Peach. Bagaimana bisa seseorang itu mengetahui warna yang sangat pas dengan dirinya. Angan Cia melayang, membayangkan bahwa yang menyarankannya mengambil gaun itu adalah Aka. “Sayang, hari ini aku merasa cantik, lihatlah,” bisik Cia sambil berusaha menyunggingkan senyumannya. Masih tetap berada di depan cermin, tiba-tiba terdengar suara mamanya. “Sayang, ayo, acaranya sudah hampir di mulai,” ajak Ratna yang baru menyusul masuk ke kamar dengan hati-hati, dengan lembut di pegangnya bahu putri cantiknya. “Iya, Ma,” jawab Cia singkat. Ratna menggiring Cia keluar kamar hotel yang sama dengan tempat resepsi Flo di adakan. Sejak siang tadi mereka check in, rencananya setelah acara resepsi selesai malam nanti mereka bisa segera beristirahat di sini, tidak perlu langsung pulang ke rum
Cia sedang menikmati makan siangnya sendiria di sebuah rumah makan tak jauh dari rumah sakit tempat berprakteknya saat ini. Yaitu hanya sebuah rumah sakit kecil yang baru berdiri di Kota Surabaya. Sesungguhnya banyak tawaran yang meminang Cia untuk bergabung di rumah sakit-rumah sakit besar dan terkenal di Surabaya ini, salah satunya RS Surabaya Husada, namun Cia belum mempertimbangkan untuk menerimanya. Justru dirinya lebih menikmati berpraktek di rumah sakit yang baru berdiri ini karena di sini dia merasa lebih enjoy, lebih bisa dekat dan perhatian kepada pasien mengabaikan ke-eksklusif-an yang biasanya terdapat pada pelayanan sebuah rumah sakit besar. Seperti pesan keramat Dokter Abdi, Cia masih menggenggam erat pesan itu sampai kini. Hati dan pengabdian bagi jiwa seorang dokter. Cia mendongak melihat jalan raya ketika terdengar suara sirine bersahutan memecah keramaian jalanan kota sore ini. Mobil polisi beriringan banyak sekali, begitupun ambulance terdapat beberapa di