Share

BAB 6 Bersama Aka

Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia.

Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan yang dokter dan rekom ahli gizi yang dengan sengaja mama minta resepnya.

Kenyataan di mobil. Cita-cita luhur Cia untuk segera tidur harus tertunda.

“Kamu tadi alasan apa lagi ke Jordi?” tanya Flo yang duduk di samping Vandra sambil menelengkan kepalanya ke belakang, sedangkan Cia menikmati ke-santaian-nya di dalam mobil dengan memilih tiduran di bangku tengah berbantal Tazmania empuk piaraan Vandra. 

“Aku bilang aja kalau papa mau jemput aku sama kamu,” jawab Cia jujur tanpa tebeng apapun.

“Aelah Cia, Jordi kurang apa, sih? Dia cakep, tajir, baik dan perhatian sama kamu. Trus gimana jalannya kamu bisa punya pacar kalo semua cowok sukses kamu tolak semua?”

“Dih, yang udah nggak single lagi,” sindir Cia dengan bibir manyunnya. Flo tertawa ngakak tanpa merasa berdosa.

“Emang cowok macam gimana sih, Cia, yang boleh deketin kamu?” Vandra ikutan bicara mewakili suara hati banyak teman cowoknya yang sukses menerima penolakan Cia.

“Ngapain kamu tanya–tanya? aneh lagi tanyanya. Ya pokoknya cowok yang biasa aja Van, yang nggak macam–macam dan nggak banyak tingkah,” meskipun sebelumnya sempat mencela, Cia tetap menjawab pertanyaan Vandra dengan jelas.

“Loh sedari SMP sampai sekarang kan aku juga biasa–biasa aja Cia, kok kamu nggak mau aku deketin, sih?” Vandra berucap dengan tampang tak berdosanya, sedikitpun dia tidak menoleh pada gadis di sampingnya yang mulai manyun dan keki berat.

“Oh, jadi ceritanya aku cuma pelarian doang nih gara–gara nggak bisa deketin Cia,” suara cempreng itu terdengar seperti sakit hati, berpura–pura sewot dan ngambek pada dua sosok yang ada di dekatnya saat ini. Seolah-olah menjadi korban penghianatan yang tersengaja.

“Flo, kamu lupa apa sengaja ngelupa, ya? Inget cowok sebelah kamu itu raja tengil, serius amat jealous-nya,” ucap Cia santai. Sama sekali tak menghiraukan nada ngambek yang Flo suarakan tadi.

“Syukurlah, Cia, jadi Flo udah nganggap aku bukan cowok tengil lagi kalau begitu,” Vandra berucap penuh kemenangan menggoda Florida dan cubitan manis berhasil membuatnya meringis begitu gadis di sampingnya sadar sedang di kerjain.

“Yang ada itu Flo, Si Tengil ini deketin aku karena ada maunya. Minta bocoran supaya sukses nembak kamu. Kesukaan kamu apa? hobi kamu apa? yang nggak kamu suka apa? daannn … sebagainya! Pasti kamu tadi di tembak dengan white chocolate sebanyak 7 biji plus white rose asli yang masih seger kan?”

Flo menoleh cepat ke arah Cia, kemudian beralih menatap wajah Vandra di sampingnya.

“Loh, kamu kok tahu persis, Cia?” Flo bertanya keheranan sedangkan Vandra sudah tertawa–tawa tapi tetap fokus pegang kemudi di jalan yang cukup macet siang ini.

“Ya tahu aja, dasar Si Tengil itu keterlaluan. Udah tahu temennya ini sekarat, hari ini dia malah asal tembak menembak aja ke kamu. Sumpah nggak tau diri banget.”

“Sorry Cia, lha mumpung beraninya hari ini, trus gimana? Daripada keburu di samber orang. Lagian khawatir coklatnya keburu leleh, aku sisihin uang jajan buat dua hari itu untuk beli coklatnya,” bela Vandra pada dirinya sendiri. Sikap tengilnya sama sekali tidak tersembunyikan.

“Idih ... perhitungan bangetttt,” teriak Flo gemas, sekali lagi cubitan manis mampir di lengan Vandra, dan berakhir dengan usapan sayang tangan Vandra di kepala mungil Florida.

Selagi Flo dan Vandra melanjutkan bercandaan mereka yang saling mengolok, dari bangku tengah sudah tidak terdengar suara lagi. Cia sukses tidur cantik karena pengaruh obat yang diminumnya.

*****

Tiga hari kemudian jam pulang sekolah.

Cia berjalan santai menuju ruang guru. Hari ini Bu Hanny meminta bantuannya untuk ikut membantu koreksi hasil ulangan Fisika dari beberapa kelas. Kemampuan Cia dalam satu perlajaran ini memang patut di acungi jempol. Jadi, seringkali jika waktunya terlalu mendesak kena deadline pengumpulan nilai, Bu Hanny meminta bantuannya ikut melakukan koreksi hasil ulangan para siswanya.

Cia sudah berjalan menuju ke meja Bu Hanny dan gadis itu sempat tertegun sesaat begitu mendapati seseorang yang tengah berbincang akrab dengan wali kelasnya itu.

“Siang, Bu ... ” sapa Cia membuyarkan keasyikan obrolan dua orang itu. Matanya sempat melirik ke arah Aka, teman ngobrol Bu Hanny saat itu.

“Eh, duduk sini, Cia. Oh iya, supaya bisa selesai lebih cepat jadi saya minta Aka ikut membantu kita. Daripada harus di bawa pulang andai nanti terpaksa  nggak selesai,” jelas bu Hanny.

“Iya Bu, nggak apa-apa biar bisa selesai lebih cepat,” jawab Cia sambil melemparkan senyum tipis menyapa Aka. Cowok itu hanya mengangguk tanpa kata ataupun senyum yang sama untuk membalas sapaannya.

“Ya udah deh, yuk kita mulai. Ini cemilan sama softdrink-nya, kalian buka sendiri, ya.”

Mereka bertiga mulai sibuk dengan lembar demi lembar kertas hasil ulangan dari beberapa kelas. Dan sebenarnya di ruang guru itu juga ada beberapa guru lain yang sama–sama sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka masing–masing. Bahkan ada juga beberapa siswa yang sama di minta bantuannya untuk mengoreksi hasil ulangan seperti Cia dan Aka. Dan rata–rata yang nampak adalah siswa siswi berprestasi di sekolah mereka dengan masing–masing guru wali kelasnya yang merangkap sebagai guru pengajar mata pelajaran.

Hampir dua jam kemudian.

“Bagian saya sudah selesai, Bu,” suara Aka terdengar sambil merapikan setumpuk kertas yang selesai dia koreksi, kemudian mengangsurkannya ke depan Bu Hanny.

“Iya, saya juga sudah selesai, Bu,” Cia ikutan bersuara karena kebetulan bagiannya juga sudah selesai.

Bu Hanny merapikan hasil koreksi Cia dan Aka. Kemudian menyimpannya dengan rapi di dalam amplop coklat yang sudah tertulis nama masing–masing kelas.

“Baiklah, terima kasih, ya, kalian sudah membantu pekerjaan ibu. Sekarang sudah sore, kalian ibu antar pulang aja, ya?” penawaran Bu Hanny kepada dua orang murid yang telah membantunya.

“Makasih, Bu, tapi saya pulang sendiri aja, ada perlu soalnya,” tolak Cia segera. Bu Hanny mengalihkan pandangannya kepada Aka.

“Iya, Bu, terima kasih. Saya kebetulan juga mau mampir ke suatu tempat dulu,” Aka ikut melontarkan penolakannya.

Bu Hanny menarik nafas panjang, “Ya udah kalau begitu, kalian hati–hati di jalan,” pesan Bu Hanny akhirnya.

*****

Cia mengambil ponselnya yang bergetar di dalam saku, kemudian menghentikan langkahnya sejenak dan berbincang dengan seseorang di seberang telepon.

“Iya, Ma. Mama hati–hati, ya. Cia juga mau mampir ke toko buku dulu ya, Ma. Jadi pulang agak telat. Dah ... Mama ... ”

Begitu Cia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, seseorang berhenti dengan tiba-tiba di dekatnya.

“Eh, Aka, bikin kaget aja,” seru Cia terkejut.

“Masih aja hobi ngelamun, ya?” Aka menggodanya sambil tersenyum samar.

“Nggak sih, habis di telepon mama, sekalian pamit mau mampir toko buku dulu, jadi pulang agak telat.”

“Oh, mau ke toko buku mana?”

“Emh ... belum tahu sih, paling juga yang dekat–dekat sini aja.”

“Sekalian aja ke toko buku di mal yuk, bareng aku. Aku mau hunting bola basket,” ajak Aka tanpa basa basi.

“Wah, ngajak ngedate, nih?” goda Cia merasa mendapatkan angin untuk membalas Aka yang selama ini berhasil menggodanya dengan kata–kata spontannya.

“Ya kalau yang di ajak mau sih ... ” jawab Aka balik menggoda. Cia hanya membalasnya dengan senyuman.

“Siapa takut? Jalan, yuk.”

Setelah lewat beberapa jam Cia dan Aka menyusuri lantai mal, saat ini mereka duduk berdua di kedai es krim di area food court mal itu.  Masing-masing tangan mereka sudah menenteng belanjaan.

“Kamu suka bacaan apa?” tanya Aka sambil menyendok es krimnya.

“Biasa, bacaan cewek. Hehehe … ” jawab Cia sungkan-sungkan.

“Pasti novel–novel cinta romantis dan cengeng gitu, ya?”

“Iya, sih, tapi aku juga suka baca novel detektif macam Sidney Sheldon atau Agatha Christie juga kok.”

“Hemhhh ... lumayan berkelas sih kalau itu, berat juga bacaannya.”

“Yeee ... muji atau mengolok selera aku, nih? Kamu tahu juga kayaknya, emang suka baca karya mereka juga, ya?”

“Sebenarnya aku lebih suka baca yang berhubungan dengan bisnis, tapi untuk karya dua orang penulis legendaris itu aku cukup suka juga membacanya.”

Hoho ... entah kenapa Cia suka mengetahui hal ini. Setidaknya kali ini obrolan mereka cukup nyambung karena ada sedikit kesamaan.

Aka menengok sejenak jam di pergelangan tangannya, “Udah jam 6 lebih nih, pulang yuk,” ajak Aka yang segera di iyakan oleh Cia.

*****

Jam udah nunjuk hampir delapan malam, kelihatan mobil mama sudah terparkir manis di garasinya. Hari ini Cia merasa lelah, sekaligus juga ngerasa seneng banget karena baru saja menghabiskan waktu bersama Aka. Cowok itu tidak seburuk yang dia sangka selama ini. Hari ini obrolan mereka cukup nyambung, dan satu poin lagi yang Cia ketahui tentang Aka. Cowok itu suka baca dan salah satunya cerita detektif seperti  kesukaannya.

“Sayang?” sapa mama terkejut yang baru saja membuka pintu. Wanita itu tergopoh–gopoh hendak keluar rumah, dan mereka hampir bertabrakan tepat di depan pintu ketika Cia hendak mendorong pintu dan ternyata sudah terbuka duluan karena mama yang hendak keluar rumah.

“Mama buru–buru banget, memangnya mau kemana, Ma?” tanya Cia heran. Mama tersenyum, kemudian menangkup lembut kedua pipi putri tunggalnya itu.

“Nggak kemana–mana, Sayang. Mama mau ke Pak Has, masti’in kamu udah pulang apa belum.”

“Yah Mama, khan tadi Cia udah ngabarin kalau dalam perjalanan pulang.”

“Ya namanya punya anak gadis, Sayang. Seorang Mama pasti khawatir kalau putrinya jam segini belum ada di rumah.”

Cia segera memeluk erat perempuaj yang sudah melahirkannya ke dunia ini dan mencium pipinya dengan gemas.

“Cia sayang … banget sama mama,” rayu Cia supaya mama tidak lebih panjang lagi mengeluarkan kata–kata saktinya khas seorang ibu yang khawatir.

“Ahhh ... udah deh mandi dulu sana, bau jalanan nih,” goda Mama yang hanya mendapat balasan tawa renyah dari putrinya.

“Bau–bau gini mama khawatirkan juga kan?”

Akhirnya dua perempuan ibu dan anak itu masuk ke rumah sambil memeluk pinggang masing–masing.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titik Koma
Duh ceritanya bagus bingits..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status