Share

Part 07

...

Di balkon istana dengan bersuasana kan langit malam disertai angin dingin yang berhembus, disanalah Julian berdiri. Kedua tangannya bertopang pada pembatas balkon dengan pandangan lurus ke depan.

Lagi-lagi pikiran Julian berkelana pada kejadian tadi sore. Mengingat itu membuat senyum tipis terpatri di bibirnya. Wajah cantik itu, dengan kedua pipi yang merona serta bibir merah muda alaminya dan bola mata abu-abu yang indah. Entah kenapa membuat Julian tidak bisa untuk melupakannya. Tatapannya yang lembut dan polos membuat Julian seperti terhipnotis oleh nya.

Julian tersenyum sendiri hanya karena memikirkan hal itu kembali. Mendengus geli saat bayang-bayang wajah dari gadis itu terlintas di kepalanya. Dia cantik dan manis.

Julian terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga tidak menyadari jika seseorang kini berjalan menghampirinya. Duck, mengerutkan keningnya. Menatap heran pada Pangeran Julian yang tersenyum sendiri di sana.

Tunggu! Pangeran Thedas tersenyum seorang diri? Ini tidak biasanya, aneh sekali.

"Ekhm." Duck berdehem pelan. Dia berjalan dan berdiri tepat di samping Julian yang kini memasang wajah datarnya.

Duck melirik singkat lalu terkekeh kecil saat melihat Julian merubah raut wajahnya begitu ia datang. Dalam hatinya ia ingin sekali mengatakan 'aku melihatnya Pangeran, kau tidak perlu bersandiwara' tapi ia urungkan karena jika itu terjadi kemungkinan dirinya berada dalam kekesalan Pangeran Thedas.

"Kau masih disini, pangeran?" Tanya Duck setelah terdiam cukup lama.

Julian berdehem sejenak, dia berusaha terlihat biasa saja. "Aku membutuhkan udara dingin." Balasnya.

Duck mengangguk singkat. "Hanya itu? Kau tidak memikirkan hal lain, bukan?" Tanya Duck lagi dengan tersenyum jahil.

"Apa maksudmu?" Julian menoleh dengan sinis.

"Tidak." Sahut Duck terkekeh geli.

Julian mendengus, lalu mengalihkan kembali tatapannya lurus kedepan.

"Pangeran, sejak tadi aku mendengar Raja marah-marah. Ada apa?" Tanya Duck membuka topik lain. Karena kemarahan Raja Charles hampir didengar oleh seluruh warga istana, termasuk dirinya.

Julian berdecak sebal. Pertanyaan Duck membuat Julian kembali teringat akan perdebatan antara dirinya juga dengan sang ayah.

"Putri Eudora," jawab Julian singkat.

Duck yang mengerti pun hanya mengangguk pelan. Dia cukup memahami arti dari jawaban yang Julian lontarkan. Jadi penyebab kemarahan sang Raja adalah karena Putri Eudora.

"Sial, dia sangat merepotkan." Gerutu Julian dengan nada kesal.

Duck menoleh lalu terkekeh pelan. Pria itu bisa melihat raut kesal dari wajah Julian. Duck paham situasi ini.

Julian memang sangat kesal atas kejadian tadi yang tiba-tiba ayahnya marah hanya karena membela Putri Eudora. Tidak, sebenarnya dia tidak sakit hati. Julian malah merasa tidak peduli pada kemarahan sang ayah. Hanya saja ucapan terakhir ayahnya terus terngiang di kepalanya hingga membuat kepalanya hampir pecah.

Julian tidak suka jika hidupnya diatur-atur seperti ini, dia sangat tidak suka. Walaupun Raja Charles adalah ayahnya, tetap saja yang menentukan hidup adalah dirinya sendiri. Dan Julian tidak terima dengan keputusan sepihak dari ayahnya. Apalagi sampai menjodohkan nya dengan Eudora. Sampai kapanpun Julian akan tetap menolak, karena dia tidak pernah menyukai wanita itu.

"Aku tau." Sahut Duck. "Tapi, apapun yang terjadi dia tetap calon istrimu, pangeran." Tambah nya mengingatkan.

Julian menoleh pada Duck dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengeras tertanda jika dia tidak suka dengan apa yang Duck katakan barusan.

Kabar itu nyatanya sudah tersebar ke semua warga istana. Tindakan ayahnya kemarin membuat Julian semakin kesal, ketidaksopanan ayahnya yang mengumumkan berita perjodohan ini membuat Julian semakin tidak bisa menahan amarahnya.

"CK," Julian berdecak keras sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan Duck yang hanya menatap kepergiannya.

Dengan langkah tegas dan wajah datarnya, Julian berlalu pergi meninggalkan balkon istana. Hanya ada suara langkah kakinya yang terdengar di setiap lorong sepi yang Julian lewati. Tatapannya menatap lurus kedepan dengan dingin, bibirnya membentuk garis lurus.

"Julian!" Teriakan seseorang menghentikan langkah Julian.

Dengan lirikan mata tajamnya Julian melihat seseorang yang menghampirinya. Setelah tau jika seorang itu adalah Eudora, Julian kembali mengalihkan pandangannya lurus kedepan.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Eudora dengan senyum merekah. Eudora baru kembali dari berjalan-jalan di halaman istana. Namun, melihat sosok Julian yang berjalan di hadapannya membuat Eudora menghampirinya. Wanita itu hanya mengenakan piyama tidur berwarna kuning keemasan, dengan rambut yang digulung dengan jepit panjang.

Seakan tidak peduli dengan kehadiran Eudora. Julian hendak untuk pergi tanpa mengatakan apapun. Namun, tangan Eudora lebih dulu menahan Julian dengan merangkul lengangnya lembut.

"Kau belum menjawab pertanyaan ku. Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Eudora lagi.

"Pergilah." Usir Julian. Tanpa menoleh Julian melepaskan rangkulan dari tangan Eudora. Julian mengabaikan pertanyaan dari Eudora. Tanpa mengatakan apapun, Julian melangkah pergi begitu saja.

"Julian!" Teriak Eudora kesal karena merasa diabaikan.

Julian tidak peduli. Dia tetap mengabaikan teriakan dari Eudora. Wajahnya semakin datar, terlebih pada Eudora yang memanggil namanya membuat Julian semakin tidak menyukai wanita itu.

***

"Jessie? Apa yang kau lakukan di kamarku?" Anne memiringkan kepalanya pada kakaknya yang berdiri di depan pintu kamar.

Jessie tidak menjawab. Wanita itu menerobos masuk kedalam sehingga membuat Anne mendengus karenanya.

"Kau belum menjelaskan sesuatu padaku." Serobot Jessie. Menatap serius pada adiknya dengan kedua tangan yang melipat.

"Penjelasan apa?" Tanya Anne sedikit berdecak.

Jessie menghela nafas panjang nya. "Kenapa kau pergi tanpa pengawasan dari ayah? Kau tau, ayah dan ibu mencemaskan mu. Ayah memarahi semua prajurit istana. Berhenti bertingkah kekanakan, Anne." Omel Jessie dengan nada serius.

Anne terdiam sejenak. Dia tidak pernah melihat Jessie seserius ini, sepertinya Jessie benar-benar kesal sekarang.

Menghela nafas panjang, Anne menatap Jessie. "Maaf, aku tidak bermaksud membuat kalian cemas. Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, sungguh." Seru Anne mengangguk yakin.

Melihat wajah melas dari adiknya membuat Jessie tidak tega untuk mengomel lagi. Pada akhirnya Jessie hanya mengangguk dengan helaan nafas panjang.

"Jadi, kemana kau pergi? Bisa kau katakan?" Tanya Jessie lagi.

Anne menggigit bibirnya gusar. Dia mengedarkan pandangan kesegala arah, mencoba untuk mencari jawaban yang tepat. Tapi sepertinya otaknya benar-benar kosong, tidak ada jawaban yang terlintas untuk ia jadikan alasan.

"Hutan perbatasan." Jujur Anne dengan menunduk takut. Dia merasa bersalah karena sudah melanggar aturan ayahnya yang melarang untuk pergi kesana.

"Tapi sungguh, aku pergi kesana hanya untuk mencari tanaman obat. Aku ingin menanam tanaman obat disini, hanya itu saja." Jelas Anne kembali mendongak dan menatap pada kakaknya yang sudah melotot padanya.

"Jangan beritahu ayah, kumohon." Mohon Anne dengan menggenggam tangan Jessie.

Jessie berdecak sebal. Dia menatap Anne dengan kesal. "Bukankah ayah melarang kita pergi kesana? Kenapa kau malah pergi?" Cerca Jessie dengan nada ketus.

"Iya, maafkan aku. Aku salah."

"Kau tau jika disana sangat berbahaya? Bagaimana jika kerajaan musuh melihat dan menangkap mu?" Dengus Jessie tidak habis pikir dengan kelakuan dari adiknya.

"CK, aku tau. Yasudah maafkan aku." Desak Anne dengan melas.

Jessie mencibir pelan lalu mengangguk. "Baiklah."

Anne tersenyum senang pada kakaknya. Namun, senyuman itu lenyap begitu ingatannya kembali pada kejadian dihutan tadi.

"Jessie, kau tau apa yang aku temui saat dihutan tadi?" Tanya Anne memandang kakaknya.

Jessie menoleh cepat. "Apa?" Tanya balik dengan sedikit khawatir.

Anne terdiam, namun kepalanya memutar ulang kejadian yang tadi ia alami.

"Aku bertemu dengan pria tampan. Sungguh, aku tidak mungkin salah lihat." Beritahu Anne.

Namun, Jessie hanya mendelik malas pada adiknya. "Anne, berhenti membaca cerita dongeng. Tidak ada pria tampan di dalam hutan, jangan berkhayal." Sanggah Jessie.

"Aku serius!"

"Sebaiknya kau istirahat." Jessie melenggang pergi meninggalkan satu usapan di kepala adiknya.

Anne yang merasa di abaikan pun berdecak kesal. "Jessie! Aku tidak mungkin berkhayal! CK." Decak Anne keras. Dengan kesal Anne berjalan menuju ranjang kamarnya untuk tidur.

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status