Home / Thriller / Proyek alpha: bayang bayang kebenaran / Bab 3: Konfrontasi Batin & Keputusan Kembali ke Rumah

Share

Bab 3: Konfrontasi Batin & Keputusan Kembali ke Rumah

last update Last Updated: 2025-08-02 00:45:36

Setelah kembali ke rumah, aku tidak lagi merasa aman. Rumah mewah yang dulu kurasakan sebagai istana kini terasa seperti sangkar emas. Dingin dan kosong. Meskipun di sekelilingku ada Ayah dan Nara, aku merasa lebih sendirian daripada saat berada di ruangan gelap tempatku diculik. Peringatan pria bermata elang itu terus berputar di kepalaku, menciptakan tembok kecurigaan yang tebal di antara aku dan orang-orang yang kukasihi.

Aku mencoba untuk bersikap normal, tetapi itu terasa mustahil. Saat makan malam, aku menatap Nara yang duduk di seberang meja. Ia tersenyum padaku, tetapi aku hanya melihat sebuah topeng. Aku mencoba mengingat kembali semua kenangan indah kami. Malam saat ia melamarku, ciuman pertama kami, janji-janji yang kami ucapkan. Tetapi semua kenangan itu terasa hambar, tertutup oleh keraguan yang semakin dalam.

"Raina, kamu baik-baik saja?" tanya Ayah. Suaranya penuh kekhawatiran. "Kamu tidak makan sama sekali."

Aku menggeleng. "Aku tidak lapar, Ayah."

Ayah menatapku dengan sedih. Aku tahu ia merasa bersalah. Ia pasti berpikir bahwa penculikan ini adalah akibat dari pertengkaran kami. Ia pasti berpikir bahwa jika ia tidak terlalu fokus pada pekerjaannya, ini tidak akan terjadi. Aku ingin memeluknya, mengatakan padanya bahwa bukan salahnya. Tetapi aku tidak bisa. Ada sesuatu yang menahanku. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku tahu itu ada hubungannya dengan penculikan itu.

Aku menyelinap ke ruang kerjaku. Aku duduk di depan kanvas yang setengah jadi. Dulu, melukis adalah caraku untuk mengekspresikan diri, untuk melarikan diri dari kenyataan. Tetapi kini, kanvas itu terasa kosong. Tidak ada lagi inspirasi. Aku hanya bisa melihat bayangan gelap, suara serak, dan mata elang yang tajam.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berguling-guling di ranjang, memikirkan semua yang terjadi. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mengambil tindakan. Aku harus mencari tahu kebenaran. Aku harus tahu siapa yang ada di balik semua ini, dan mengapa mereka menculikku.

Aku bangkit, mengambil kunci mobil, dan pergi. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, tetapi aku tahu aku harus pergi dari rumah ini. Aku mengemudi tanpa tujuan, melewati jalan-jalan yang sepi. Pikiranku dipenuhi oleh kenangan-kenangan masa lalu. Aku ingat bagaimana Ayah dan Ibu selalu berusaha untuk menjadi orang tua terbaik. Aku ingat bagaimana Ayah sering membawakanku mainan dan buku-buku. Aku ingat bagaimana Ibu selalu tersenyum saat melihat Ayah. Aku ingat bagaimana Ayah selalu memeluk Ibu saat Ibu menangis.

Namun, semua kenangan itu terasa jauh. Seolah-olah mereka adalah bagian dari kehidupan yang berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ayah setelah Ibu meninggal. Ia berubah. Ia menjadi dingin, jauh, dan sibuk. Aku merasa ia menggantikan cinta Ibu dengan pekerjaannya.

Aku menghentikan mobilku di sebuah taman yang sepi. Aku duduk di bangku, menatap bulan. Aku tahu aku harus menghadapi Ayah. Aku harus bertanya padanya tentang penculikan itu, tentang "data" yang mereka bicarakan, tentang semuanya. Aku tidak bisa terus lari dari kenyataan.

Pagi harinya, aku kembali ke rumah. Ayah dan Nara terlihat lega melihatku. "Raina, kamu dari mana saja? Kami khawatir sekali," ucap Nara.

"Aku butuh waktu untuk sendiri," jawabku singkat.

Setelah Nara pergi ke kantor, aku menghampiri Ayah. Ia sedang duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela. Wajahnya terlihat lelah dan sedih.

"Ayah," panggilku.

Ia menoleh, matanya terlihat kaget. "Raina? Kamu kenapa?"

"Ayah, apa yang terjadi?" tanyaku. "Siapa yang menculikku? Dan apa itu 'data' yang mereka bicarakan?"

Ayah terdiam. Ia menatapku dengan tatapan kosong. "Ayah tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Raina. Itu hanya mimpi buruk. Kamu harus melupakannya."

"Bukan, Ayah," kataku. "Itu bukan mimpi buruk. Itu nyata. Aku disiksa selama tiga hari. Aku diculik karena mereka menginginkan 'data' yang Ayah sembunyikan."

Ayah menghela napas. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan menatap keluar. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui, Raina. Ini adalah dunia yang gelap. Ayah tidak ingin kamu menjadi bagian dari itu."

"Tapi aku sudah menjadi bagian dari itu, Ayah!" teriakku. "Aku diculik! Aku disiksa! Aku hampir mati! Apa lagi yang harus terjadi agar Ayah mau terbuka padaku?"

Ayah menoleh. Matanya berkaca-kaca. "Ayah minta maaf, Raina. Ayah minta maaf karena Ayah tidak bisa melindungimu."

Aku tidak bisa menahan air mataku. Aku berlari, memeluknya. Ayah membalas pelukanku. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, kami berdua terhubung.

Meskipun Ayah masih menyembunyikan sesuatu, aku tahu ia tidak terlibat dalam penculikan itu. Aku tahu ia mencintaiku. Aku tahu ia ingin melindungiku.

Setelah itu, aku mengambil keputusan. Aku tidak akan lari lagi. Aku akan kembali ke rumah, ke tempat di mana semuanya dimulai. Aku akan mencari kebenaran, bahkan jika itu berarti harus menghadapinya sendirian. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghentikanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 9 — Jejak Lokasi Nara ke Kafe Pinggir Kota

    Suara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota. Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 8: Nadine (Raina) Mulai Menyelidik Sendiri dengan Aplikasi Pelacak

    Malam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan mal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 7: Plausible Deniability Nara & Telepon Larut Malam

    Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lim

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 6: Foto Misterius & Nama "Hendrawan"

    Tangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin."Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?"Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 5: Petualangan Malam di Ruang Kerja Ayah

    Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 4: Reuni Dingin dengan Nara & Kecurigaan Menjalar

    Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya."Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa."Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin.Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya."Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku.""Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik."Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik."Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status