Home / Thriller / Proyek alpha: bayang bayang kebenaran / Bab 2: Bangun di RS & Ketegangan Polisi

Share

Bab 2: Bangun di RS & Ketegangan Polisi

last update Last Updated: 2025-08-02 00:32:08

Aku terbangun dengan sensasi dingin yang menusuk. Bukan dinginnya ruang bawah tanah yang lembap, melainkan dinginnya udara ber-AC di sebuah ruangan asing. Di hidungku, terpasang selang oksigen, dan di pergelangan tanganku—di mana seharusnya ada ikatan kawat baja—kini ada jarum infus. Lampu di atas kepalaku menyilaukan, membuat mataku perih. Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku terasa seperti dihimpit beban seribu ton.

Seorang perawat masuk. Wajahnya yang tenang dan senyumannya yang ramah sedikit meredakan ketakutanku.

"Kamu sudah sadar? Syukurlah," ucapnya lembut. "Kamu ditemukan di pinggir jalan oleh seorang polisi patroli." Perawat itu memberiku segelas air dan aku langsung meneguknya hingga habis. Kerongkonganku yang kering terasa seperti terbakar.

Setelah beberapa saat, seorang polisi datang. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kompol Bima. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya tajam. Ia mulai bertanya.

"Apa yang terjadi? Siapa yang menculikmu? Mengapa mereka menculikmu?" Aku mencoba menjawab, tetapi kata-kataku tercekat. Setiap kali aku mencoba menceritakan apa yang terjadi, bayangan gelap dan suara serak kembali menghantuiku.

Aku hanya bisa menjawab,

"Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa." Kompol Bima menatapku dengan curiga. "Kamu yakin? Korban lain biasanya tidak lupa." Aku merasa Kompol Bima tidak percaya padaku. Ia berpikir aku menyembunyikan sesuatu. Tentu saja, ia tidak tahu apa yang kurasakan. Ia tidak tahu kengerian yang kualami. Ia tidak tahu tentang bayangan gelap yang membantuku, dan peringatannya yang menakutkan.

Kompol Bima menghela napas. "Baiklah. Kami akan terus menyelidiki kasus ini. Jika kamu ingat sesuatu, hubungi kami." Setelah itu, ia meninggalkan ruangan, tetapi ketegangannya masih terasa. Aku tahu ia tidak percaya padaku. Aku tahu ia berpikir aku adalah bagian dari misteri ini.

Tak lama setelah itu, pintu terbuka lagi. Ayahku, Damar Wicaksana, masuk. Wajahnya terlihat pucat, matanya sembab. Ia langsung memelukku. "Raina, syukurlah kamu selamat. Ayah khawatir sekali," bisiknya. Aku tidak membalas pelukannya. Aku hanya diam. Perasaan yang campur aduk membanjiri hatiku. Di satu sisi, aku merasa lega melihatnya. Namun, di sisi lain, aku masih ingat pertengkaran kami, dan kata-kata tajam yang terucap.

Ayah membawaku pulang. Di rumah, aku disambut oleh Nara, tunanganku. Ia memelukku, tetapi pelukannya terasa dingin. "Kamu tidak apa-apa? Aku khawatir sekali," ucapnya. Namun, matanya tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Ia terlalu tenang, terlalu dingin. Ia tidak menanyakan apa yang terjadi. Ia hanya bertanya apakah aku baik-baik saja.

Aku mulai merasa ada yang aneh. Peringatan pria itu kembali terngiang di kepalaku. "Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu." Apakah itu Nara? Tidak, tidak mungkin. Ia tunanganku. Kami sudah bersama selama lima tahun. Ia tidak mungkin berkhianat.

Namun, kecurigaanku terus tumbuh. Nara terlalu sering menerima telepon larut malam. Ia akan pergi ke luar ruangan untuk mengangkatnya. Aku juga melihatnya diam-diam mengambil sesuatu dari ruang kerja Ayah. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Aku mulai melakukan penyelidikan sendiri. Aku harus menemukan kebenaran. Aku harus tahu siapa yang menculikku, dan mengapa. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan lagi. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, tanpa bayang-bayang Ayah. Dan yang terpenting, aku harus tahu apakah Nara benar-benar mencintaiku, atau ia adalah bagian dari konspirasi ini.

Aku tahu ini akan berbahaya. Aku tahu aku bisa kehilangan nyawaku. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menghadapi iblis-iblis di masa laluku, dan iblis-iblis di masa kini. Aku harus menemukan kebenaran, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 9 — Jejak Lokasi Nara ke Kafe Pinggir Kota

    Suara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota. Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 8: Nadine (Raina) Mulai Menyelidik Sendiri dengan Aplikasi Pelacak

    Malam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan mal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 7: Plausible Deniability Nara & Telepon Larut Malam

    Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lim

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 6: Foto Misterius & Nama "Hendrawan"

    Tangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin."Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?"Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 5: Petualangan Malam di Ruang Kerja Ayah

    Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 4: Reuni Dingin dengan Nara & Kecurigaan Menjalar

    Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya."Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa."Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin.Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya."Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku.""Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik."Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik."Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status