LOGINAku terbangun dengan sensasi dingin yang menusuk. Bukan dinginnya ruang bawah tanah yang lembap, melainkan dinginnya udara ber-AC di sebuah ruangan asing. Di hidungku, terpasang selang oksigen, dan di pergelangan tanganku—di mana seharusnya ada ikatan kawat baja—kini ada jarum infus. Lampu di atas kepalaku menyilaukan, membuat mataku perih. Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku terasa seperti dihimpit beban seribu ton.
Seorang perawat masuk. Wajahnya yang tenang dan senyumannya yang ramah sedikit meredakan ketakutanku. "Kamu sudah sadar? Syukurlah," ucapnya lembut. "Kamu ditemukan di pinggir jalan oleh seorang polisi patroli." Perawat itu memberiku segelas air dan aku langsung meneguknya hingga habis. Kerongkonganku yang kering terasa seperti terbakar. Setelah beberapa saat, seorang polisi datang. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kompol Bima. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya tajam. Ia mulai bertanya. "Apa yang terjadi? Siapa yang menculikmu? Mengapa mereka menculikmu?" Aku mencoba menjawab, tetapi kata-kataku tercekat. Setiap kali aku mencoba menceritakan apa yang terjadi, bayangan gelap dan suara serak kembali menghantuiku. Aku hanya bisa menjawab, "Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa." Kompol Bima menatapku dengan curiga. "Kamu yakin? Korban lain biasanya tidak lupa." Aku merasa Kompol Bima tidak percaya padaku. Ia berpikir aku menyembunyikan sesuatu. Tentu saja, ia tidak tahu apa yang kurasakan. Ia tidak tahu kengerian yang kualami. Ia tidak tahu tentang bayangan gelap yang membantuku, dan peringatannya yang menakutkan. Kompol Bima menghela napas. "Baiklah. Kami akan terus menyelidiki kasus ini. Jika kamu ingat sesuatu, hubungi kami." Setelah itu, ia meninggalkan ruangan, tetapi ketegangannya masih terasa. Aku tahu ia tidak percaya padaku. Aku tahu ia berpikir aku adalah bagian dari misteri ini. Tak lama setelah itu, pintu terbuka lagi. Ayahku, Damar Wicaksana, masuk. Wajahnya terlihat pucat, matanya sembab. Ia langsung memelukku. "Raina, syukurlah kamu selamat. Ayah khawatir sekali," bisiknya. Aku tidak membalas pelukannya. Aku hanya diam. Perasaan yang campur aduk membanjiri hatiku. Di satu sisi, aku merasa lega melihatnya. Namun, di sisi lain, aku masih ingat pertengkaran kami, dan kata-kata tajam yang terucap. Ayah membawaku pulang. Di rumah, aku disambut oleh Nara, tunanganku. Ia memelukku, tetapi pelukannya terasa dingin. "Kamu tidak apa-apa? Aku khawatir sekali," ucapnya. Namun, matanya tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Ia terlalu tenang, terlalu dingin. Ia tidak menanyakan apa yang terjadi. Ia hanya bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku mulai merasa ada yang aneh. Peringatan pria itu kembali terngiang di kepalaku. "Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu." Apakah itu Nara? Tidak, tidak mungkin. Ia tunanganku. Kami sudah bersama selama lima tahun. Ia tidak mungkin berkhianat. Namun, kecurigaanku terus tumbuh. Nara terlalu sering menerima telepon larut malam. Ia akan pergi ke luar ruangan untuk mengangkatnya. Aku juga melihatnya diam-diam mengambil sesuatu dari ruang kerja Ayah. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku mulai melakukan penyelidikan sendiri. Aku harus menemukan kebenaran. Aku harus tahu siapa yang menculikku, dan mengapa. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan lagi. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, tanpa bayang-bayang Ayah. Dan yang terpenting, aku harus tahu apakah Nara benar-benar mencintaiku, atau ia adalah bagian dari konspirasi ini. Aku tahu ini akan berbahaya. Aku tahu aku bisa kehilangan nyawaku. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menghadapi iblis-iblis di masa laluku, dan iblis-iblis di masa kini. Aku harus menemukan kebenaran, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan segalanya.Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH
Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal
Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai
Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu
Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t
Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist







