로그인Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya.
"Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa. "Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin. Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya. "Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku." "Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik." Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik." Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang, Nara. Terlalu tenang untuk seorang pria yang tunangannya hampir mati." Nara menghela napas. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan menatap keluar. "Aku tahu kamu marah, Raina. Tapi bukan salahku. Aku tidak tahu apa-apa tentang penculikan ini. Aku tidak tahu siapa mereka." "Lalu kenapa kamu terlalu sering menerima telepon larut malam?" tanyaku. "Kenapa kamu selalu pergi keluar ruangan saat ada telepon masuk?" Nara terdiam. Ia tidak menjawab. "Dan kenapa kamu mencoba mengambil sesuatu dari ruang kerja Ayah?" tanyaku lagi. "Apa itu, Nara? Apa yang kamu sembunyikan?" Nara menoleh. Wajahnya pucat. "Kamu menguntitku, Raina?" "Aku tidak menguntitmu," jawabku. "Aku hanya berusaha mencari tahu kebenaran. Pria yang menyelamatkanku memberitahuku untuk tidak percaya siapa pun. Dan sekarang, aku mulai percaya padanya." Nara menatapku dengan mata yang terluka. "Jadi kamu tidak percaya padaku?" "Aku ingin percaya padamu, Nara," jawabku. "Tapi kamu tidak memberiku alasan untuk itu. Kamu menyembunyikan sesuatu. Dan aku akan mencari tahu apa itu." Setelah pertengkaran itu, suasana di rumah semakin tegang. Nara mulai menjauhiku. Ia pulang larut malam, dan sering menghabiskan waktu di luar. Aku tahu ia sedang menghindari sesuatu. Atau seseorang. Kecurigaanku terus membesar. Aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Aku harus tahu apa yang disembunyikan Nara. Aku harus tahu siapa yang ada di balik semua ini. Aku mulai mengamati Nara secara diam-diam. Aku melihatnya menerima telepon, dan ekspresinya saat berbicara. Ia terlihat takut, cemas, dan tertekan. Aku juga melihatnya diam-diam pergi ke sebuah kafe di pinggir kota. Tempat itu bukan gayanya. Nara adalah tipe pria yang suka tempat-tempat mewah dan ramai. Aku tahu ia tidak akan pergi ke kafe tua dan sepi itu jika tidak ada alasan penting. Aku memutuskan untuk mengikuti Nara. Aku menyewa sebuah mobil, dan mengikutinya dari jarak yang aman. Aku melihatnya duduk dengan seorang pria berjaket kulit. Mereka berbicara dengan serius. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi aku bisa melihat ekspresi Nara. Ia terlihat sangat khawatir. Setelah beberapa saat, pria itu menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal kepada Nara. Nara menerimanya dengan wajah tegang, lalu segera pergi. Hatiku hancur. Tunanganku jelas terlibat dalam sesuatu yang berbahaya. Apakah ia salah satu dari mereka? Apakah cintanya selama ini hanyalah sebuah permainan? Aku merasa seperti orang bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lima tahun. Aku telah menjanjikan hidupku padanya. Tetapi kini, semua itu terasa seperti sebuah kebohongan. Aku merasa seperti telah dipermainkan. Aku kembali ke rumah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak bisa menghadapi Nara. Aku tidak bisa melihatnya. Aku merasa mual. Malam itu, aku duduk di ranjang, memegang ponselku. Aku melihat foto-foto kami. Foto saat kami liburan di Bali, foto saat kami merayakan ulang tahunku tahun lalu, foto saat ia melamarku. Setiap foto terasa seperti pukulan di hatiku. Aku tahu aku harus menghadapi Nara. Aku harus bertanya padanya. Tetapi aku takut. Aku takut jika ia benar-benar berkhianat. Aku takut jika semua yang kami miliki hanyalah kebohongan. Aku mengambil ponselku, dan memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara tanpa ia sadari. Aku tahu itu adalah tindakan yang salah. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus tahu kebenaran. Aku harus tahu apakah Nara adalah bagian dari konspirasi ini. Aku menatap layar ponselku. Lokasi Nara terlihat di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku. Dan aku tahu aku tidak bisa lagi menunda konfrontasi.Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH
Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal
Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai
Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu
Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t
Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist







