Share

7. Emosi Negatif Manusia (1)

Azamy berdiri dari tempat duduknya, mengarahkan tangan ke arah ular raksasa kemudian ular tersebut lenyap menjadi abu hitam, berterbaran di atas tanah putih yang seperti jelly. “Kristal tersebut memang tidak bisa dihancurkan dengan kekuatan manusia biasa, aku hanya menguji bagaimana ekspresimu saat mengetahui jika suatu kemungkinan itu hilang.” Azamy berjalan mendekat ke arah Vee, sementara sang Gadis Cantik meniadakan siaga kemudian berdiri seperti biasanya. “Bisa menyentuh kristal itu tanpa bantuan kekuatan iblis saja sudah mengagumkan. Kembalilah!” seru Azamy.

Vee mengangguk kemudian badannya tiba-tiba saja menghilang dari dunia putih tersebut.

***

Feri pulang, disambut Vee yang sudah menduga jika adiknya akan pulang sekolah saat matahari masih di puncak, hari masih siang.

“Kakak pasti bingung kenapa aku pulang siang lagi, kan?” tebak iseng sang Adik.

Vee membalasnya dengan gelengan.

“Kakak tahu dari berita ya?” Feri mencoba menebak lagi.

Vee tetap membalasnya dengan menggeleng.

“Kakak ini aneh banget, sih.” Feri berjongkok sambil mencoba melepas sepatu yang ia kenakan. Meski begitu, anak SMP tersebut tetap menceritakan kejadian di sekolahnya, “Tadi pagi ditemukan mayat bergeletakkan di tengah lapangan,” kata Feri yang Vee beri anggukkan paham karena ia tahu akan informasi tersebut, Gadis Cantik yang baru kenal dengan iblis dalam dirinya itu menunggu informasi berikutnya. “Ada yang bilang itu karena ulah ‘dia’, ada juga yang mengira ulah pembunuh.”

Masih banyak orang yang tidak mengakui keberadaan Chofa, pasalnya, orang yang melihat Chofa itu kemungkinan selamatnya sangat kecil. Chofa pasti akan memakan jiwa manusia yang melihatnya.

Feri melanjutkan bercerita setelah menghabiskan beberapa helaan napas, “Itu salah satu alasannya, Ka.”

Vee mendelik lebih serius setelah adiknya bercerita jika tak hanya satu alasan mengenai pemulangan sekolah tersebut. “Apa lagi, Dek?” tanya Vee yang kini mulai merasa tertarik.

“Ada tiga siswa kelas dua yang bunuh diri.”

Sekejap Vee menatap serius adiknya, pikirannya mulai mengarah ke sesuatu hal yang mengerikan. “Ceritakan lebih lanjut, Dek!” seru sang Kakak.

“Jadi saat itu, polisi sedang membersihkan sisa-sisa mayat. Lalu… ada tiga siswi yang tiba-tiba saja naik di atas pagar pembatas di lantai dua. Tiba-tiba mereka bertiga lompat secara bersamaan. Seluruh sisi sekolah yang melihat itu berteriak histeris, ditambah… kepala mereka terlebih dahulu yang menyentuh tanah,” Feri menjelaskan hal itu dengan begidik ngeri karena membayangkan apa yang terjadi saat insiden tersebut kemudian lekas masuk ke dalam rumah.

***

Malam pun tiba, bunyi-bunyian khas dari malam terdengar. Dari mulai angin sepoi yang mendayu di telinga sampai burung-burung gagak yang tidak biasa itu bercuit riang meski sebagai kabar buruk. Dingin khas malam membuat sebagian besar orang mengenakan pakaian hangatnya, apalagi saat mengendarai kendaraan roda dua, baik bermotor mau pun tidak.

Vee sudah berdiri di atap sekolah adiknya, ia ingin memastikan jika apa yang ia pikirkan itu salah. Vee menelusuri setiap ruang kelas dengan berlari, tidak lupa sebuah pedang bersarung cokelat yang selalu ia pegang. Api biru di kepala tengkorak Vee mengudara, berkelebar ke belakang karena kecepatan lari Vee dalam menyusuri lorong sangat cepat. Sebuah hawa tak enak mulai dirasakan gadis yang cantik saat siang tersebut. Semakin ia mendekati sebuah ruangan yang mencurigakan, semakin kuat dirasakan hawa yang berbau hitam tersebut.

Tibalah Vee di sebuah ruangan yang mengeluarkan aura hitam mengerikan, tepatnya di dalam toilet perempuan. Vee berhati-hati melangkah, pedang bersarungnya sudah siap di hadapan. Kemudian, Vee membuka satu persatu dari deretan kamar mandi perempuan tersebut. Tak ada yang mencurigakan selain satu kamar mandi di pojok yang belum Vee buka, wanita berkepala tengkorak itu loncat dari kamar mandi satu ke kamar mandi paling pojok, di sana juga hawa hitamnya lebih terasa. Vee membuka perlahan kamar mandi yang ia curigai tersebut. Dari sana keluarlah kabut hitam saat pintu baru saja terbuka, Vee mundur dengan cepat lalu mempersiapkan kuda-kuda dengan pedangnya.

Seseorang keluar dari dalam kamar mandi tersebut, wanita sekelas SMP, rambutnya berantakan ke depan sehingga wajahnya tidak terlihat. Lengan dan kaki wanita tersebut memiliki beberapa luka gores, terutama di bagian urat nadi, seperti seseorang yang telah bunuh diri.

Hawa gelap sudah tidak terelakkan, sebuah serangan lengan hitam dari wanita itu mengarah ke Vee, namun sang Gadis Tengkorak berhasil menghindar. Serangan pun datang bertubi-tubi, Vee memilih lari sambil menghindar dengan arah ke lapangan untuk memperluas kuasa geraknya. Vee sampai, ia berdiri di atap salah satu gedung, menunggu lawannya datang.

Setelah beberapa saat, seorang wanita yang mengenakan seragam SMP itu berjalan menuju di mana Vee berdiri, memasuki salah satu bagian lapangan. Kemudian, serangan bertubi-tubi mengarah pada Vee, Wanita Tengkorak itu agak kewalahan menghadapinya, beberapa kali ia terkena serangan hitam yang dilancarkan kepadanya.

Saat jeda serangan, ada seorang lelaki datang dari belakang Vee, dia adalah Lava, pembasmi Chofa dari keluarga Ice. “Sepertinya Chofa di sana lumayan kuat,” celetuk Lava, “Apa kau butuh bantuan, Nona?”

Vee tidak menjawab, ia masih fokus bagaimana menyelamatkan gadis yang sedang dirasuki Chofa di hadapannya tersebut.

“Oh, baik… aku akan membantu.” Lava menyiapkan kuda-kuda untuk mengeluarkan kekuatan es-nya.

“Tunggu!” Vee menahan. “Ada kemungkinan dia masih hidup, apa kau bisa pisahkan dia dari Chofa di dalam tubuhnya?” Vee berharap jika Lava tidak langsung membunuh gadis malang itu.

“Satu-satunya cara mengalahkan Chofa yang ada di dalam tubuh seseorang adalah dengan membunuh orang tersebut sehingga Chofa di dalamnya bisa keluar,” jawab Lava.

“Apa tidak bisa jika kita menghancurkan inti dari Chofa itu tanpa melukai manusianya?” teguh Vee.

“Inti dari Chofa itu menyebar ke seluruh sel di dalam tubuh manusia yang dia hinggapi. Lalu, tepat sebelum kita membunuh manusianya, Chofa itu akan melepaskan dirinya terlebih dahulu sebelum intinya hancur karena menyatu dengan manusia yang ia rasuki.” Lava berjalan ke depan, menyaksikan gadis berseragam SMP penuh dengan hawa hitam di sekelilingnya. “Gadis yang malang.” Lava melompat dengan cepat ke arah target lalu tersenyum lebar, “Tapi aku senang jika bertemu lawan yang kuat.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status