Nafas Sonia tercekat saat melihat Liana berjalan pelan memasuki ruang tengah yang temaram.
"Sonia?" tak kalah terkejut.Wanita berusia empat puluh lima tahunan yang baru saja datang itu kaget melihat Sonia berada di rumahnya subuh seperti ini.
"Kenapa tidak ada orang?" Aji yang mengekor di belakang istrinya bertanya dengan pandangan berkeliling.
"Sonia?" sama seperti istrinya ia kaget.
Sonia menelan ludah.Tak beranjak dari tempatnya karena kejadian ini begitu tiba-tiba.
Liana berjalan mendekatinya."Kenapa pagi-pagi..."
"Tidak perlu di tanya." potong Aji sambil merangkul istrinya dan mengajak pergi. "Kini kau tahu bagaimana kelakuan Johan di belakang kita." Aji memandang sinis pada Sonia yang rikuh.
&nbs
Maaf baru update lagi. Beberapa hari ini saya sibuk di real life. Terimakasih sudah mau menunggu dan tetap membaca Psycopath Love. *Jangan lupa berikan vote dan komen yang postif jika suka.
Sonia mendorong Lira begitu saja masuk ke ruang bawah tanah tempat Johan dulu menghilangkan 'bukti' dengan membakar habis semua."Kau kejam Sonia!" hardik Lira.Mukanya babak belur dengan ujung bibir sobek dan banyak bekas cakaran."Kau yang tak tahu diri!" Sonia mengumpat.Nafasnya masih tersengal, karena tadi ia menyeret Lira dari halaman menuju ke paviliun tak terpakai dengan ruang bawah tanah tempat pembakaran jaman dulu ini."Kau bilang ingin membantuku.Tapi apa yang kini kau lakukan?" Air mata Lira mengalir.Rasanya wajahnya perih dengan seluruh tubuh yang terasa sakit. Ia terduduk di tanah kotor penuh sisa bakaran yang membuat baju warna merah mudanya makin kumal."Memang salah siapa?!" wajah Sonia memerah dengan otot-otot lehernya yang bertonjolan.Rupanya ia sudah tak sanggup menahan rasa cemburu.
Hanya luka gatal yang saya garuk,Tante." Sonia tersenyum semanis mungkin. Mulut Liana membulat. "Kuku jari saya panjang." ia memperlihatkan jari-jari tangannya. "Ah..sebaiknya jangan di garuk keras-keras,anak perempuan tidak baik kalau ada luka di tubuhnya." Liana menasehati. "Iya,terimakasih nasehatnya,akan saya ingat." Sonia menunduk kan kepala beberapa kali sebagai tanda hormat. Diam-diam ia teringat akan Lira,yang tidak lain adalah anak dari Liana sendiri,yang ia sakiti sampai wajahnya membiru dengan ujung bibir yang robek. "Sama-sama Sonia." Liana tersenyum. Pandangannya beralih pada Johan. "Jo," ia memanggil. Johan mengangkat wajah,menoleh ke arah Ibu tirinya tersebut. "S
Liana gemetaran sampai tak mampu berkata apa pun. Pecahan gelas berisi jus yang sedianya akan ia berikan pada Johan supaya tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Ayahnya berhamburan di bawah kakinya.Johan cepat merapikan diri,ia mengkerutkan kedua alisnya manatap Sonia yang pura-pura kaget. Tapi Johan tahu,Sonia menjebaknya."Mama.." Johan berusaha menenangkan.Tapi Liana menyuruhnya mundur. Dia memang bukan Ibu kandungnya.Tapi ia yang merawat dan membesarkannya tanpa pernah pilih kasih.Air mata Liana tak terbendung,dadanya serasa di pukul martil saat melihat kelakuan anaknya."Nikahi dia,Jo,atau Ayahmu akan tahu." Liana mengancam.Gerakan Johan terhenti.Ia menatap baik-baik Ibu tirinya yang terlihat sangat syok."Ya Tuhan..kenap
"I,iya,tadi saya terlalu banyak menuang karbol." Sonia berbohong.Sesekali ia menunduk gelisah,saat pria separuh abad itu makin dekat ke arahnya."Sebenarnya,ada hubungan apa kalian berdua?" tanya Aji setelah mengamati Sonia beberapa saat.Mata Sonia bergerak-gerak,bingung mencari jawaban yang tepat. Tanpa sadar,ia mengenggam gagang alat pel itu kuat-kuat."Dulu aku sering melihatmu bersama Jo,ketika kalian masih kuliah.""I,itu..karena saya memang sering meminta bantuhan Johan belajar." Sonia mencoba memandang lawan bicaranya. "Sesuai dengan yang tadi saya ceritakan..saya harus dapat beasiswa, supaya bisa terus kuliah,karena..saya sudah tak punya orang tua."Aji menatap tak yakin.Hal itu membuat Sonia kembali tertunduk.
"Nomor siapa ini?" kening Andreas berkerut,membuat matanya makin menyipit. Ponsel itu terus bergetar di tangannya. "Akhir-akhir ini banyak banget nomor tak di kenal masuk ke ponsel ku."ia bertopang dagu.Andreas memang paling malas mengurusi hal-hal yang tak ada hubungan dengan dirinya. "Aku mohon,angkatlah kak.." Tersaruk-saruk Lira berusaha berjalan menuju gerbang depan. Nafasnya sudah naik turun dengan keringat bercucuran.Segala rasa sakit ia abaikan,demi melihat kebebasannya yang telah menunggu di depan mata. "Kemana semua orang? kenapa tak ada seorang pun pekerja?" tanya Lira dalam hati,saat menginjakkan kaki di halaman belakang. Matahari telah muncul.Rumah keluarga Prawira yang luas dengan rumah i
Lira dengan sisa-sisa tenaga meronta minta di turunkan,Johan hanya terkekeh menangapinya."Sudahlah,Lir,simpan tenagamu untuk melahirkan anak kita nanti."Lira tak mampu menanggapi ocehan Johan yang tanpa hati.Tenaganya habis,dari matanya yang cekung,ia menatap ponselnya yang telah remuk dan semakin jauh,bersama Johan yang membawanya kembali ke dalam rumah."Kak Andreas.."Lira berucap dalam hati. Dia tak lagi melakukan perlawana.Rasa sakit yang terus menerus,serta dekapan Johan pada tubuh kurusnya, membuat Lira lupuh tiada daya."Tuan muda mau ke mana?"tanya Rendy terkejut,ketika berpapasan dengan Andreas yang berlari keluar kamar.Andreas tak menjawab,dan pergi begitu saja dengan meninggalkan tanda tanya besar di benak saudara angkatnya t
"Jo!?" Sonia yang sampai di ambang pintu terkejut. "Apa yang kau lakukan?" Sonia berlari mendekatinya."Lira kesakitan,aku harus mengeluarkan benda ini." Johan hendak menekan lagi perut Lira.Tapi segera di tahan Sonia."Bukan seperti ini caranya,apa kau gila!" Sonia mendorong Johan menjauh dari Lira yang terbaring dengan kesadaran yang mulai menurun.Di pandanginya wajah pucat dan berpeluh Lira,kemudian rembesan darah yang telah merubah warna baju tidurnya menjadi merah pekat."Ini gara-gara kau yang menyuruhku mempertahankan benda itu!" Johan yang panik melihat kondisi Lira,malah mencekik Sonia yang hendak memeriksanya.Nafas Sonia langsung tertahan di kerongkongan.Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Johan dari lehernya.
Sonia berdiri di pojok ruang dekat pintu.Tak berani lebih maju lagi,karena kesayangannya sedang menebarkan aura iblis.Johan seperti tengah di rasuki sesuatu.Begitu tenang,tapi terasa mencekam.Ia tersenyum dan tertawa,tapi matanya kosong.Dan tadi,setelah ia teriaki,ia guncang bahunya berkali-kali tapi tak ada tanggapan.Sekarang Johan berjalan ringan menuju ruang bawah tanah,dan berdiri di hadapan Ayahnya yang sedang terborgol di kursi dengan kesadaran yang samar-samar."...Jo..han.." pria tua itu mengangkat kepalanya memandang putra satu-satunya,yang tengah berdiri di hadapannya.Johan masih memakai setelan jas dengan bercak darah yang sama.Kedua tangannya berlumur warna merah,serta sebagian kacamatanya terciprat cairan kental,berwarna merah pekat tersebut."..Johan..."