Share

Bab 1 - Memeluk Kevin

“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Kevin dengan wajah datarnya. Saat ini, dia sedang menemui Irina, perempuan yang selama ini sudah mengaduk-aduk perasaannya. Apa pun yang diinginkan Irina bisa saja dia lakukan dan dia turuti. Entahlah, Kevin sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya.

Irina menggeleng dan perempuan itu mulai menangis. “Max benar-benar meninggalkanku.”

“Biarlah, mungkin itu memang yang terbaik untuk kalian.” Kevin menjawab dengan nada datar.

“Tapi, aku mencintainya, Vin. Apa kamu enggak bisa lihat?” tanya Irina yang saat ini sudah berurai air mata.

“Kamu harus tahu bahwa cinta terkadang tak harus memiliki, bukan?” Kevin masih mencoba untuk membuat Irina mengerti.

“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan anakku ke depannya?” tanya Irina dengan penuh tuntutan. Jujur saja, Irina bingung dan mulai tertekan. Sejak perutnya mulai membesar, Irina menjadi tak percaya diri. Dia diliputi rasa takut jika tubuhnya menjadi tak indah lagi. Bukan tanpa alasan, Irina adalah seorang model papan atas dan kariernya sangat bergantung pada penampilannya.

Dulu sekali, Irina memutuskan terjun di dunia permodelan karena ketidaksengajaan. Saat itu, dia masih menimba ilmu di perguruan tinggi. Tentu saja, semua itu karena bantuan orang tua Kevin. Ibunya sudah meninggal saat itu dan Irina bersyukur karena orang tua Kevin masih mau menyekolahkannya, seperti yang mereka janjikan kepada orang tuanya dulu.

Karena Irina tidak ingin merepotkan orang tua Kevin, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Dia pernah menjadi penjaga toko dan di sanalah ia mendapat penawaran untuk menjadi model suatu produk. Lagi-lagi, dengan sedikit bantuan dari Kevin, Irina akhirnya menjadi model profesional.

Sejak memiliki pekerjaan tetap, Irina memutuskan untuk tinggal sendiri agar tidak merepotkan keluarga Kevin. Irina bekerja keras hingga dia menjadi model populer. Banyak tawaran iklan dan produk yang didapatnya. Karena itulah, Irina khawatir kerja kerasnya selama ini akan hancur karena tubuhnya tak lagi indah.

“Aku yang akan membiayai kalian.” Kevin akhirnya menjawab ketakutan Irina.

Irina ternganga mendapati pernyataan Kevin tersebut. “Aku sedang tidak mengemis kepadamu, Kevin.”

“Lalu, kamu ingin aku melakukan apa?” tanya Kevin kemudian.

Irina juga bingung. Apa yang dia inginkan dari Kevin? Dia hanya ketakutan, dia hanya tertekan dan khawatir dengan masa depan yang tidak bisa dibayangkan. Irina merasa sendiri saat ini.

Pada saat bersamaan, seseorang datang menghampiri mereka. Seorang perempuan dengan wajah cantik dan lembut.

“Hai, maaf aku telat.” Perempuan itu bahkan tak canggung mengecup pipi Kevin di hadapan Irina, membuatnya memilih untuk mengalihkan pandangan.

Dia adalah Maharani, atau yang biasa dipanggil Rani, tunangan Kevin sejak ia masih sangat muda. Ya, Kevin dan Rani dijodohkan karena keduanya masih memiliki darah biru. Darah biru, yang Irina pahami, adalah hal yang sejak dulu ditekankan oleh mendiang ibunya agar tetap patuh pada batasan.

Meski awalnya canggung, tetapi keduanya menerima dan sama-sama saling mencoba. Irina bisa melihat kedekatan nyata antara keduanya. Kadang, Irina merasa iri, ia merasa cemburu. Karena itulah, tak jarang Irina memamerkan kemesraannya dengan para kekasihnya. Meski begitu, Irina harus tahu diri. Lagi-lagi, statusnya dengan Kevin sama sekali tak sepadan.

“Maaf, aku ngajak Rani ke sini sekalian karena kami ada janji fitting baju pengantin.” Dengan dingin dan datar, Kevin mengucapkan kalimat itu.

“Kalau kamu mau ikut, enggak apa-apa. Ayo, biar aku juga bisa minta saran dari kamu. Kamu, kan, model.” Rani yang memang sudah mengenal Irina memang tak mencurigai apa pun tentang hubungan Irina dan Kevin.

Ya, mereka memang tak memiliki hubungan apa pun. Lagipula, Rani tahu jika Irina masih bersuami, kecuali rahasia besar tentang ayah dari bayi yang dikandung Irina. Namun, membayangkan Kevin dan Rani akan fitting baju pengantin membuat Irina tidak suka. Irina sedang berada dalam gerbang perceraian dengan Max, sedangkan kedua pasangan tengah menata hari indah berdua. Irina merasa bahwa semua ini tidaklah adil untuknya.

Irina memutuskan bangun dari duduknya. “Aku pulang saja kalau begitu.” Ia merasa kesal, tetapi tidak mengerti datang dari manakah kekesalannya ini.

Kevin kemudian ikut bangkit. “Aku anterin.”

“Kamu ada janji dengan Rani. Aku bisa pulang sendiri.” Pada akhirnya, Irina pergi begitu saja meninggalkan Kevin dan Rani.

***

“Ada yang kamu pikirkan?” Pertanyaan Rani membuat Kevin mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang kini sedang mengenakan gaun pengantin di hadapannya.

“Aku dari tadi tanya sama kamu, apa ini bagus? Atau ada yang kurang? Tapi, kamu hanya diam melamun. Ada masalah?” tanya Rani lagi.

Sejujurnya, saat ini Kevin sedang memikirkan Irina, dan tentu saja dia sangat mengkhawatirkan perempuan itu. Irina tampak tertekan tadi, mengingatkan Kevin pada kejadian dua tahun yang lalu setelah Irina menggugurkan bayinya dengan Max dan berakhir dibenci oleh Max. Kini, Kevin khawatir jika Irina akan melakukan hal yang sama, yaitu menggugurkan anaknya lagi.

Dengan spontan, Kevin lalu bangkit. “Kita lanjutkan ini nanti, aku ada urusan,” ucapnya singkat sebelum pergi begitu saja tanpa menghiraukan Rani yang memanggil-manggil namanya.

Mobil Kevin melesat menuju ke sebuah gedung apartemen. Itu adalah tempat Irina tinggal saat ia tidak ingin pulang ke rumah Max. Kevin tahu, kini Irina sedang berada di sana. Sampai di depan pintu apartemen Irina, Kevin mengetuknya berkali-kali, berharap Irina segera membua pintu apartemennya.

Pintu lalu terbuka dan menampilkan Irina dengan mata sembab serta penampilannya yang cukup berantakan. Ini sangat berbeda dengan Irina yang selama ini Kevin kenal.

“Kevin?” tanya Irina dengan nada bingung. Bukankah seharusnya pria ini bersama dengan tunangannya? Kenapa dia ada di sini?

Tanpa basa-basi, Kevin masuk ke dalam apartemen Irina. “Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?” tanya Kevin kemudian.

“Aku tidak melakukan apa pun.” Hanya itu jawaban Irina.

“Lihat dirimu! Kamu kacau! Kamu pikir aku bisa melakukan kegiatanku dengan baik saat pikiranku tak pernah lepas darimu?!” Kevin berseru marah kepada Irina. Dia kesal karena Irina selalu memenuhi pikirannya.

“Kamu enggak perlu mikirin aku lagi.”

“Kalau kehidupan kamu baik-baik saja, aku tidak akan memikirkanmu lagi! Lihat, kamu kini seperti orang yang sedang depresi! Kamu pikir, aku bisa meninggalkanmu begitu saja?!” omel Kevin kepada Irina.

Irina tak mampu lagi membendung kesedihannya. Segera ia melemparkan diri pada Kevin dan memeluk erat tubuh pria itu.

“Maka jangan pergi meninggalkanku. Aku ingin kamu tetap berada di sini, menemaniku….”

Irina butuh dipeluk. Ia butuh seseorang untuk berada di sisinya dan Irina tahu, Kevin yang mampu menemaninya menghadapi semua permasalahannya saat ini.

-TBC-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status