“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Kevin dengan wajah datarnya. Saat ini, dia sedang menemui Irina, perempuan yang selama ini sudah mengaduk-aduk perasaannya. Apa pun yang diinginkan Irina bisa saja dia lakukan dan dia turuti. Entahlah, Kevin sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya.
Irina menggeleng dan perempuan itu mulai menangis. “Max benar-benar meninggalkanku.”
“Biarlah, mungkin itu memang yang terbaik untuk kalian.” Kevin menjawab dengan nada datar.
“Tapi, aku mencintainya, Vin. Apa kamu enggak bisa lihat?” tanya Irina yang saat ini sudah berurai air mata.
“Kamu harus tahu bahwa cinta terkadang tak harus memiliki, bukan?” Kevin masih mencoba untuk membuat Irina mengerti.
“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan anakku ke depannya?” tanya Irina dengan penuh tuntutan. Jujur saja, Irina bingung dan mulai tertekan. Sejak perutnya mulai membesar, Irina menjadi tak percaya diri. Dia diliputi rasa takut jika tubuhnya menjadi tak indah lagi. Bukan tanpa alasan, Irina adalah seorang model papan atas dan kariernya sangat bergantung pada penampilannya.
Dulu sekali, Irina memutuskan terjun di dunia permodelan karena ketidaksengajaan. Saat itu, dia masih menimba ilmu di perguruan tinggi. Tentu saja, semua itu karena bantuan orang tua Kevin. Ibunya sudah meninggal saat itu dan Irina bersyukur karena orang tua Kevin masih mau menyekolahkannya, seperti yang mereka janjikan kepada orang tuanya dulu.
Karena Irina tidak ingin merepotkan orang tua Kevin, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Dia pernah menjadi penjaga toko dan di sanalah ia mendapat penawaran untuk menjadi model suatu produk. Lagi-lagi, dengan sedikit bantuan dari Kevin, Irina akhirnya menjadi model profesional.
Sejak memiliki pekerjaan tetap, Irina memutuskan untuk tinggal sendiri agar tidak merepotkan keluarga Kevin. Irina bekerja keras hingga dia menjadi model populer. Banyak tawaran iklan dan produk yang didapatnya. Karena itulah, Irina khawatir kerja kerasnya selama ini akan hancur karena tubuhnya tak lagi indah.
“Aku yang akan membiayai kalian.” Kevin akhirnya menjawab ketakutan Irina.
Irina ternganga mendapati pernyataan Kevin tersebut. “Aku sedang tidak mengemis kepadamu, Kevin.”
“Lalu, kamu ingin aku melakukan apa?” tanya Kevin kemudian.
Irina juga bingung. Apa yang dia inginkan dari Kevin? Dia hanya ketakutan, dia hanya tertekan dan khawatir dengan masa depan yang tidak bisa dibayangkan. Irina merasa sendiri saat ini.
Pada saat bersamaan, seseorang datang menghampiri mereka. Seorang perempuan dengan wajah cantik dan lembut.
“Hai, maaf aku telat.” Perempuan itu bahkan tak canggung mengecup pipi Kevin di hadapan Irina, membuatnya memilih untuk mengalihkan pandangan.
Dia adalah Maharani, atau yang biasa dipanggil Rani, tunangan Kevin sejak ia masih sangat muda. Ya, Kevin dan Rani dijodohkan karena keduanya masih memiliki darah biru. Darah biru, yang Irina pahami, adalah hal yang sejak dulu ditekankan oleh mendiang ibunya agar tetap patuh pada batasan.
Meski awalnya canggung, tetapi keduanya menerima dan sama-sama saling mencoba. Irina bisa melihat kedekatan nyata antara keduanya. Kadang, Irina merasa iri, ia merasa cemburu. Karena itulah, tak jarang Irina memamerkan kemesraannya dengan para kekasihnya. Meski begitu, Irina harus tahu diri. Lagi-lagi, statusnya dengan Kevin sama sekali tak sepadan.
“Maaf, aku ngajak Rani ke sini sekalian karena kami ada janji fitting baju pengantin.” Dengan dingin dan datar, Kevin mengucapkan kalimat itu.
“Kalau kamu mau ikut, enggak apa-apa. Ayo, biar aku juga bisa minta saran dari kamu. Kamu, kan, model.” Rani yang memang sudah mengenal Irina memang tak mencurigai apa pun tentang hubungan Irina dan Kevin.
Ya, mereka memang tak memiliki hubungan apa pun. Lagipula, Rani tahu jika Irina masih bersuami, kecuali rahasia besar tentang ayah dari bayi yang dikandung Irina. Namun, membayangkan Kevin dan Rani akan fitting baju pengantin membuat Irina tidak suka. Irina sedang berada dalam gerbang perceraian dengan Max, sedangkan kedua pasangan tengah menata hari indah berdua. Irina merasa bahwa semua ini tidaklah adil untuknya.
Irina memutuskan bangun dari duduknya. “Aku pulang saja kalau begitu.” Ia merasa kesal, tetapi tidak mengerti datang dari manakah kekesalannya ini.
Kevin kemudian ikut bangkit. “Aku anterin.”
“Kamu ada janji dengan Rani. Aku bisa pulang sendiri.” Pada akhirnya, Irina pergi begitu saja meninggalkan Kevin dan Rani.
***
“Ada yang kamu pikirkan?” Pertanyaan Rani membuat Kevin mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang kini sedang mengenakan gaun pengantin di hadapannya.
“Aku dari tadi tanya sama kamu, apa ini bagus? Atau ada yang kurang? Tapi, kamu hanya diam melamun. Ada masalah?” tanya Rani lagi.
Sejujurnya, saat ini Kevin sedang memikirkan Irina, dan tentu saja dia sangat mengkhawatirkan perempuan itu. Irina tampak tertekan tadi, mengingatkan Kevin pada kejadian dua tahun yang lalu setelah Irina menggugurkan bayinya dengan Max dan berakhir dibenci oleh Max. Kini, Kevin khawatir jika Irina akan melakukan hal yang sama, yaitu menggugurkan anaknya lagi.
Dengan spontan, Kevin lalu bangkit. “Kita lanjutkan ini nanti, aku ada urusan,” ucapnya singkat sebelum pergi begitu saja tanpa menghiraukan Rani yang memanggil-manggil namanya.
Mobil Kevin melesat menuju ke sebuah gedung apartemen. Itu adalah tempat Irina tinggal saat ia tidak ingin pulang ke rumah Max. Kevin tahu, kini Irina sedang berada di sana. Sampai di depan pintu apartemen Irina, Kevin mengetuknya berkali-kali, berharap Irina segera membua pintu apartemennya.
Pintu lalu terbuka dan menampilkan Irina dengan mata sembab serta penampilannya yang cukup berantakan. Ini sangat berbeda dengan Irina yang selama ini Kevin kenal.
“Kevin?” tanya Irina dengan nada bingung. Bukankah seharusnya pria ini bersama dengan tunangannya? Kenapa dia ada di sini?
Tanpa basa-basi, Kevin masuk ke dalam apartemen Irina. “Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?” tanya Kevin kemudian.
“Aku tidak melakukan apa pun.” Hanya itu jawaban Irina.
“Lihat dirimu! Kamu kacau! Kamu pikir aku bisa melakukan kegiatanku dengan baik saat pikiranku tak pernah lepas darimu?!” Kevin berseru marah kepada Irina. Dia kesal karena Irina selalu memenuhi pikirannya.
“Kamu enggak perlu mikirin aku lagi.”
“Kalau kehidupan kamu baik-baik saja, aku tidak akan memikirkanmu lagi! Lihat, kamu kini seperti orang yang sedang depresi! Kamu pikir, aku bisa meninggalkanmu begitu saja?!” omel Kevin kepada Irina.
Irina tak mampu lagi membendung kesedihannya. Segera ia melemparkan diri pada Kevin dan memeluk erat tubuh pria itu.
“Maka jangan pergi meninggalkanku. Aku ingin kamu tetap berada di sini, menemaniku….”
Irina butuh dipeluk. Ia butuh seseorang untuk berada di sisinya dan Irina tahu, Kevin yang mampu menemaninya menghadapi semua permasalahannya saat ini.
-TBC-
Irina membuka mata ketika hari sudah gelap. Dia mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan dan hanya mendapati dirinya yang terbaring di ranjang sendirian. Apa Kevin sudah pergi meninggalkannya?Irina langsung bangun. Dia segera keluar dan mencari keberadaan Kevin. Entah mengapa, Irina merasa ingin ditemani. Dia tidak ingin Kevin meninggalkannya sendirian saat ini.Tidak lama, dia mendapati Kevin sedang sibuk di dapur. Lalu, Irina mengamatinya dari belakang. Apa pria itu sedang memasak untuknya? Ya, mungkin saja. Irina tidak heran karena sejak dulu, Kevin memang sangat perhatian padanya.***Irina sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah saat itu. Biasanya, saat istirahat jam makan siang, Irina sering menghabiskan waktu di sana dengan membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Ingin ke kantin pun Irina tidak memiliki uang. Sebenarnya, dia mendapat uang jajan oleh orang tua Kevin, tetapi uang jajan itu dia simpan untuk membeli sesuatu yang lebih berguna.Irina terkejut s
Sejak Max memutuskan untuk benar-benar mengakhiri pernikahannya dengan Irina dua bulan yang lalu, Irina menjadi lebih tertutup. Padahal, banyak sekali media yang sedang memburunya. Bagaimana tidak? Dia berpisah saat sedang mengandung. Hal itu membuat media bertanya-tanya bahkan mengejarnya untuk mendapatkan berita.Akhirnya, Irina memilih untuk menghabiskan banyak waktu di apartemen pribadinya. Beruntung, lagi-lagi Kevin mau membantunya menyiapkan semua yang ia butuhkan. Kehamilan Irina kini sudah hampir memasuki usia 6 bulan. Irina merasa bahwa tubuhnya sudah banyak berubah. Dia mulai sering lelah dan hormonnya benar-benar kacau. Irina sering merasa bahwa dia tidak menjadi dirinya sendiri, seperti sering menangis sendiri, bahkan tak jarang dia merengek pada Kevin.Ya, mau bagaimana lagi? Irina tak mungkin menghubungi Max lagi. Mantan suaminya itu kini mungkin sudah bahagia dengan kekasih simpanannya. Satu-satunya orang yang ia miliki saat ini hanyalah Kevin. Namun, Irina sadar. Kevi
Plak!Wajah Irina terlempar ke samping setelah tamparan keras dari Dewi, ibu dari Kevin, mendarat sempurna di pipinya.“Mama!” Kevin berseru karena tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan ibunya. Bahkan, dia segera menarik tubuh Irina ke belakangnya, menengahi karena dia tidak mau ibunya berbuat lebih jauh lagi pada Irina.“Perempuan kurang ajar! Inikah balasan yang kamu berikan pada keluarga saya?! Kamu sudah melempar kotoran pada keluarga besar saya!” Dewi sangat marah. Sungguh.Kevin adalah putra satu-satunya dari Keluarga Diningrat. Sejak dulu, Dewi ingin memiliki anak lain, jika bisa anak perempuan. Karena Tuhan tidak memberikan kesempatan tersebut, ia akhirnya menganggap Irina sebagai anaknya sendiri. Dewi membiayai Irina karena dia tahu, Irina adalah anak yang baik dan pintar. Ditambah, Irina mau bekerja keras. Saat Irina terjun di dunia permodelan dan sukses di sana, Dewi juga mendukung penuh.Kini, Dewi tidak menyangka bahwa Irina akan mempermalukan keluarga besarnya samp
Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.“Aku kagum sama rumahnya.”“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”“Maksudmu?” Irina tak mengerti.“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”Irina tersenyum lembut. “P
Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina de
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut
Ciuman yang dilakukan Kevin makin intens, makin menuntut. Apalagi ketika Irina dengan spontan membalas ciumannya. Kevin menginginkan lebih, Kevin ingin menyentuh dan memiliki Irina sepenuhnya. Kemudian, dalam sekejap mata semuanya berakhir ketika Irina meremas dada Kevin lalu mendorongnya menjauh.Kevin menghentikan aksinya, dia tahu bahwa Irina menolaknya. Ekspresinya mengeras seketika, bahkan Kevin merasa sedikit malu saat sadar dirinya mendapatkan penolakan dari istrinya sendiri.“Kevin, kupikir….” Irina menggantung kalimatnya, dia ragu menyatakan alasan kenapa ia menolak pria ini.Kevin tak butuh alasan itu, dia tahu pasti kenapa Irina menolaknya. Irina tak menginginkannya. Irina menikah dengannya hanya karena kehadiran bayi itu. Irina masih mencintai mantan suaminya, dan mungkin saja perempuan ini kini sudah kembali menjalin kasih dengan mantan kekasihnya.Kevin marah. Ekspresinya mengeras, tetapi dia tak bisa melampiaskan kemarahannya pada Irina. Secepat kilat Kevin menjauhi Iri