Share

Bab 2 - Pria Dingin

Irina membuka mata ketika hari sudah gelap. Dia mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan dan hanya mendapati dirinya yang terbaring di ranjang sendirian. Apa Kevin sudah pergi meninggalkannya?

Irina langsung bangun. Dia segera keluar dan mencari keberadaan Kevin. Entah mengapa, Irina merasa ingin ditemani. Dia tidak ingin Kevin meninggalkannya sendirian saat ini.

Tidak lama, dia mendapati Kevin sedang sibuk di dapur. Lalu, Irina mengamatinya dari belakang. Apa pria itu sedang memasak untuknya? Ya, mungkin saja. Irina tidak heran karena sejak dulu, Kevin memang sangat perhatian padanya.

***

Irina sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah saat itu. Biasanya, saat istirahat jam makan siang, Irina sering menghabiskan waktu di sana dengan membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Ingin ke kantin pun Irina tidak memiliki uang. Sebenarnya, dia mendapat uang jajan oleh orang tua Kevin, tetapi uang jajan itu dia simpan untuk membeli sesuatu yang lebih berguna.

Irina terkejut saat tiba-tiba ada dua orang anak laki-laki berjalan mendekatinya. Itu adalah anak laki-laki kelas 3, mungkin satu kelas dengan Kevin. Sedangkan, Irina sendiri memang masih duduk di bangku kelas 1.

“Hai, aku sudah ngamatin kamu sejak lama. Boleh kenalan, enggak?” tanya salah satunya sembari mendekat ke arah Irina.

Irina hanya tersenyum lembut, kemudian dia mengangguk. “Boleh.”

“Aku Ares. Kamu Irina, ya?” tanya anak lelaki bernama Ares tersebut.

“Iya. Kok tahu?” tanya Irina balik.

“Kan aku sudah bilang kalau aku sudah ngamatin kamu sejak lama,” jawab Ares lagi.

Irina hanya tersenyum lembut menanggapi jawaban Ares. Tiba-tiba saja, seseorang datang dengan ekspresi dinginnya.

“Jauhi dia.” Hanya dua kata, tapi mampu membuat Irina dan Ares serta temannya menatap ke arah si pemilik suara. Siapa lagi jika bukan Kevin.

Irina sempat bingung. Sedangkan Ares dan temannya segera pergi meninggalkan Kevin dan Irina. Sepeninggal mereka, Irina memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kamu melakukan itu?”

“Mereka bukan anak baik-baik. Jangan dekat-dekat dengan mereka.”

“Tapi, kupikir dia ramah.”

“Aku sudah memperingatkanmu, jangan mau didekati mereka.” Kevin berkata sekali lagi dengan tegas sebelum pria itu melenggang pergi begitu saja.

Irina baru menyadari, bahwa ucapan Kevin saat itu benar. Setelah beberapa bulan kemudian, Ares terkena kasus karena telah menghamili anak SMP. Sungguh, Irina merasa bersyukur karena saat itu Kevin menghalangi Ares mendekatinya.

***

Kaki Irina mendekat ke arah Kevin, kemudian tanpa diduga dia melingkarkan lengannya pada perut Kevin. Ia memeluk Kevin dari belakang.

Kevin sempat membeku karena ulah Irina. Selama ini, hubungan mereka memang dekat. Namun, Irina seperti selalu menjaga jarak darinya. Entah apa yang terjadi dengan Irina malam ini, Kevin tidak tahu. Dan seharusnya, dia tak perlu mencari tahu karena dirinya tidak akan berharap lagi kepada sosok Irina.

“Aku senang kamu masih di sini. Kukira kamu udah pulang.” Irina setengah menggumam saat mengatakan kalimat tersebut.

“Aku akan pulang setelah memastikan kamu sudah makan.” Kevin membuka suaranya. Nadanya masih sama, dingin dan datar seakan tak berekspresi.

Pelukan Irina makin mengerat. “Aku tidak tahu kenapa. Tapi, aku … ingin kamu lebih lama di sini,” ucap Irina dengan manja. Dia tidak pernah bersikap seperti itu dengan Kevin sebelumnya.

“Ya, aku akan menemanimu sampai kamu tidur nanti.”

Irina tersenyum lembut. “Terima kasih. Kamu memang kakak yang baik.”

Kakak? Sekali lagi, Kevin disadarkan bahwa Irina memang selalu menganggapnya sebagai kakak. Dan entah kenapa, Kevin merasa tidak suka. Segera Kevin melepas paksa pelukan Irina, kemudian ia membalikkan tubuhnya untuk menatap Irina.

Irina menatap Kevin penuh tanya. Tadi, dia merasakan bahwa Kevin sudah menanggapi ucapan dan keinginannya dengan lembut. Namun kini, pria itu malah menatapnya dengan tajam.

“Sekarang, duduklah saja. Aku akan menyelesaikan masakan makan malam ini,” perintah Kevin dengan nada dingin seakan tidak ingin dibantah sedikit pun. Irina pun menurutinya.

***

Makan malam akhirnya berlangsung dalam suasana hening. Hanya suara denting piring dan sendok yang saling beradu. Irina menyantap dengan lahap masakan Kevin. Dia tidak mual sedikit pun dannafsu makannya seakan kembali. Padahal, sepanjang hari Irina merasa ia tidak ingin memakan apa pun.

Kevin sendiri hanya mengamati Irina, seakan-akan memang hanya Irina yang membuatnya tertarik. Ketika Irina mengangkat wajahnya dan menatapnya sembari tersenyum, Kevin tetap tak bereaksi. Dia hanya fokus menatap Irina yang menghabiskan masakan buatannya seperti seorang yang sedang kelaparan.

“Wah! Aku enggak nyangka bisa habisin makanan ini. Padahal, aku enggak pernah bisa makan banyak. Apalagi sejak hamil,” ucap Irina sembari menepuk-nepuk perutnya yang sudah terlihat sedikit buncit. Hal itu tak lepas dari tatapan mata Kevin.

Sebenarnya, Kevin bukannya tak peduli. Hanya saja, sejak pertama kali menyetujui ide gila sebagai pendonor sperma bagi Irina, keduanya sudah menandatangani kontrak yang mengatakan bahwa pria itu tidak berhak atas bayi yang dikandung Irina. Jadi, Kevin mencoba untuk membutakan matanya perihal kondisi perempuan di hadapannya itu.

Ditatap intens seperti itu oleh Kevin membuat Irina sedikit salah tingkah. Kevin memang hampir tidak pernah memikirkan atau bertanya tentang kehamilan Irina. Karena itulah, saat Kevin sedang menatap perutnya seperti itu, Irina merasa kurang nyaman.

“Kalau begitu, aku beresin dulu.” Irina bangkit membereskan piringnya dan menuju ke arah bak cuci piring. Kevin hanya diam di tempat duduknya dan hal itu membuat Irina menghela napas lega.

Tak lama, Irina merasakan bahwa Kevin mendekatinya. “Lebih baik kamu tidur saja, sudah malam. Aku yang akan membereskan semuanya.”

“Kamu mau cepat-cepat pulang?” tanya Irina setelah mencuci tangannya dan menghadap ke arah Kevin.

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” Kevin bertanya balik.

“Karena kamu tadi bilang kalau kamu akan pergi setelah aku tidur.”

“Jadi, apa maumu?” tanya Kevin kemudian.

Irina menunduk lesu. Dia tidak tahu apa yang dia inginkan, dia hanya tak ingin sendiri. “Bisakah … malam ini kamu menginap? Maksudku, aku tidak ingin menghabiskan malam sendiri. Maksudku….”

Irina tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Tentu saja, tak mungkin mereka akan tidur bersama dengan intim. Irina hanya ingin ditemani dan membayangkan bahwa Kevin yang menemaninya, itu membuat Irina merasa tenang dan nyaman.

“Tidurlah lebih dulu, nanti aku menyusul.” Kevin menjawab.

Pada akhirnya, Irina pergi. Dia menuju ke dalam kamarnya dan berpikir bahwa Kevin tidak akan menemaninya. Pada akhirnya, Irina kembali menangis. Entahlah, dia hanya merasa benar-benar kesepian. Seperti inikah akhir hidupnya?

Akan tetapi, setelah beberapa saat, Irina mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia melihat ke arah pintu dan mendapati Kevin berada di sana. Pria itu masuk ke kamarnya dan tanpa basa-basi, dia tidur di sisi lain dari ranjang Irina.

“Kamu … tidur di sini?” tanya Irina yang masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Kevin. Dia mengira bahwa Kevin akan pulang dan tak memedulikannya.

“Bukankah kamu yang memintaku agar menginap?” tanya Kevin dengan nada dingin.

Meski pertanyaan itu terdengar dingin di telinga Irina, tapi Irina tak dapat menahan senyumannya. Dia senang dan sangat lega saat Kevin memilih untuk tetap tinggal di sisinya malam ini.

“Terima kasih.” Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Irina.

“Tidurlah.” Kevin menjawabnya dengan sebuah perintah.

Irina sendiri melakukan apa yang diperintahkan Kevin. Mungkin, saat ini Kevin sedang kesal padanya. Mungkin, Kevin tak rela menemaninya. Irina tidak peduli, yang dia pedulikan saat ini adalah fakta bahwa malam ini dia tak akan merasakan kesepian.

-TBC-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status