Share

Bab 8 - Ciuman Pertama

Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?

“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.

“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.

“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.

Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”

“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?

“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. 

Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut oleh pekerja yang ada di tempat itu, kemudian dibimbing menuju landasan pesawat jet pribadi milik keluarga Kevin.

Jika dulunya Irina bisa mengangkat wajahnya penuh percaya diri, maka kini keadaan sudah berubah. Di luar sana, banyak sekali orang yang menghujat dan mencibirnya dari belakang. Bahkan tadi, saat ke kantor Kevin, beberapa orang tengah berbisik-bisik saat dia berjalan. Hal itu benar-benar menghancurkan rasa percaya dirinya. 

Dia bukan lagi model papan atas yang banyak mendapat sanjungan. Dia kini hanya orang yang terbuang dan tak diinginkan. Seseorang yang kotor dan penuh dengan skandal. Sangat memalukan. 

Bahkan mungkin, Kevin malu bersanding denganku. Irina membatin pahit.

“Ada apa?” Pertanyaan Kevin yang dingin itu membuat Irina mengangkat wajahnya seketika.

“Ah, enggak.” Irina tak mungkin mengatakan tentang pemikirannya pada Kevin. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di mata pria itu. Dia tak ingin dikasihani.

Tanpa bicara lagi, Kevin meraih telapak tangan Irina, menggenggamnya, kemudian mengajaknya masuk ke pesawat jet pribadi yang ada di hadapan mereka. Diperlakukan seperti itu membuat Irina terkejut. Kevin seakan mencurahkan perhatiannya, seolah-olah ingin menjaganya. Meskipun sejak dulu pria ini sering melakukannya, tetapi sekarang rasanya berbeda. Mengapa? Apa karena pria ini sudah menjadi suaminya? 

Irina dipersilakan duduk di dalam pesawat tersebut, sedangkan Kevin memilih duduk di bangku yang berada tepat di hadapan Irina. Dia kemudian mengamati Irina. “Kamu kedinginan? Kenapa enggak dibuka saja jaketnya?”

Irina kemudian membuka coat yang dia kenakan. Dia lupa dengan niatnya untuk tetap mengenakan coat tersebut untuk menutupi noda jus di pakaiannya. Irina baru mengingatnya ketika Kevin melihat noda tersebut.

“Itu kenapa?” tanyanya penuh selidik.

“Ah, tadi ketumpahan jus.”

Kevin menatap Irina dengan tak percaya. Bahkan, Kevin tampak menampilkan ekspresi penuh kecurigaan. Pria itu lalu bersedekap. “Apa yang tadi kamu lakukan dengan Bastian?”

Irina benar-benar tak mengerti dengan maksud dari pertanyaan Kevin. “Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku ngopi sama dia? Aku enggak sengaja ketemu Bastian di kantor Fany.”

Kevin masih menatap Irina dengan tatapan penuh selidik. Seolah-olah apa yang dikatakan Irina sama sekali tak membuatnya percaya.

“Dan aku juga mau bilang, kalau aku akan mundur dari dunia hiburan.” Irina membuka suara lagi.

Kevin mengerutkan keningnya. “Kenapa?” 

Irina lalu menatap Kevin dengan tatapan yang hampir tak pernah dilihat oleh Kevin. “Kalau aku bilang bahwa aku mau fokus mengurus anak saja, apa kamu percaya?”

Tidak. Tentu saja Kevin tak percaya. Selama ini, Irina begitu ambisius dengan keinginannya: menjadi model papan atas. Pekerjaan itu menjadi pekerjaan yang sangat dicintai oleh Irina. Jadi, ketika Irina memutuskan mundur, rasanya ada yang salah. Terlebih, Irina bukanlah sosok perempuan yang keibuan. Perempuan ini pernah menggugurkan anak karena ambisi besarnya itu, di saat sudah bersuamikan pengusaha kaya hingga seharusnya tidak perlu lagi membanting tulang. Jadi, apa bedanya dengan sekarang? 

“Kenapa kamu memilih pilihan itu?” tanya Kevin lagi.

“Um, kupikir, aku mulai mencintainya.” Irina tampak tersenyum tulus sambal menatap dan mengusap perutnya sendiri. 

Kevin tak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Rasanya, ada sebuah keinginan untuk merengkuh tubuh Irina, memeluknya erat-erat, menguatkannya, dan mengatakan bahwa perempuan itu pasti akan menjadi ibu terbaik di dunia jika mau mencoba. Namun, sekali lagi, ada satu sisi di mana Kevin ragu.

“Aku masih tidak percaya kalau kamu memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Kamu masih bisa menjadi model produk-produk kehamilan dan sejenisnya. Atau, jika sudah melahirkan nanti, kamu bisa menjadi model untuk produk-produk bayi. Kenapa kamu memilih mundur?” tanya Kevin lagi.

Irina mencoba untuk tersenyum menanggapi pertanyaan Kevin. “Enggak ada. Karena, setelah kupikir-pikir, aku sudah menjadi istri pria kaya raya. Lalu kenapa aku masih harus bekerja?”

“Max juga kaya. Tapi, kamu masih menjadi model setelah resmi menjadi istrinya.”

Irina tampak kesulitan menjawab. Hal itu sudah bisa menjadi jawaban untuk Kevin bahwa kemunduran Irina di dunia hiburan bukanlah keinginannya sendiri.

“Sudahlah. Yang penting aku sudah mutusin kalau aku mau fokus sama anak.” Irina mengakhiri percakapan mereka. 

Kevin tak menanggapi lagi. Dia sudah tahu bahwa Irina saat ini pasti sedang bermasalah. Dia hanya perlu menyuruh orang untuk mencari tahu permasalahan Irina dan membuat perempuan ini terlepas dari permasalahannya.

***

Rupanya, mereka menuju ke sebuah resort yang terletak di Raja Ampat. Tempatnya sangat indah. Meski Irina sering kali bepergian, tetapi Irina baru tahu tempat seperti ini.

“Apa yang kamu kerjakan di sini?” tanya Irina ketika mereka dibimbing menuju ke sebuah cottage yang akan mereka tinggali.

“Ada proyek besar dengan seorang rekan kerja.” Kevin menjawab singkat.

“Proyek apa?” tanya Irina lagi.

Belum sempat Kevin menjawab, seorang pria datang menghampiri keduanya. Kevin dan pria itu tampak saling berjabat tangan bahkan saling merangkul seperti teman lama, kemudian Kevin mulai mengenalkan Irina pada pria itu.

“Irina, Istriku,” ucap Kevin mengenalkan Irina pada pria itu.

“Hei, aku Arsen Makarov.” Pria bernama Arsen itu menjabat tangan Irina.

“Arsen adalah pemilik resort ini.” Kevin menjelaskan. “Kami ada proyek bersama dengan saudaraku juga, Damar, untuk membangun resort baru.”

“Ya. Tapi karena Kevin baru nikah, jadi kupikir sekalian saja aku mengundang kalian ke sini untuk berbulan madu,” jelas Arsen dengan ramah.

Irina menatap Kevin seketika, pun dengan Kevin yang rupanya sudah menatapnya. Irina lalu mengalihkan pandangan karena merasa pipinya memanas. Entah mengapa, membayangkan bulan madu dengan Kevin membuat Irina merasakan perasaan yang aneh. Berbeda dengan Irina, Kevin tampaknya kurang suka dengan pernyataan Arsen.

“Kamu bercanda, ya? Kami enggak sedang ingin bulan madu.”

Babymoon, mungkin?” Arsen masih tak mau mengalah.

“Ck, ayolah.” Kevin berdecak kesal. Hal itu hanya disambut tawa lebar dari Arsen.

“Ya sudah kalau gitu, kalian istirahat saja dulu. Sudah malam, kalian pasti capek.” 

Setelahnya, Arsen berpamitan. Kevin dan Irina kemudian dibimbing menuju ke cottage yang akan mereka tinggali selama berada di tempat itu.

“Kamu suka tempatnya?” tanya Kevin saat menatap Irina yang tampak takjub mengamati interior bangunan yang akan mereka tempati selama beberapa hari ke depan.

“Ya. Ini sangat bagus.” Irina berkomentar masih dengan mengamati segala penjuru ruangan. Bangunan itu memang tampak sengaja dibangun dengan gaya tradisional. Meski begitu penataannya sangat bagus, rapi, dan tampak menyatu dengan alam. 

Irina tidak sadar jika Kevin mengamatinya dengan penuh minat. Astaga, Kevin memang selalu menginginkan Irina, tetapi keinginannya tidak sebesar seperti sekarang ini.

Kevin mendekat. Irina bahkan merasakan bagian belakang tubuhnya hampir menempel pada tubuh Kevin yang berdiri di belakangnya. Irina memutuskan membalikkan diri, dan benar saja, dia sudah mendapati Kevin berada sangat dekat dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kevin?” 

Kevin lalu menangkup kedua pipi Irina, kemudian tanpa banyak bicara lagi menyambar bibir Irina dan mulai menciumnya. Irina membulatkan mata seketika, tak percaya bahwa Kevin akan melakukan hal ini padanya.

-TBC-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status