Share

Mati Kutu

Tak ada sahutan sama sekali dari Kama, membuat Seika sedikit tergetar. Darah dalam jantungnya berdesir hangat. Tangis mulai menggenangi bola mata blue ocean-nya. 

"Halo, Kama?"

"Oh ya, halo Seika …?"

"Bagaimana Kama, apa kamu bisa ke luar rumah sebentar saja? Temui aku di mobil, Ka---"

"Tentu saja aku mau Seika tapi ini sudah malam. Sudah bukan jam bertamu lagi, aku takut. Bagaimana kalau besok pagi saja kita bertemu di kan---"

Kecewa dan sedih, Seika menyentuh tulisan  END CALL di ponselnya. Mati-matian menahan air mata supaya tidak merembes, menyurukkan ponsel di atas dashboard. Detik berikutnya, Seika menyalakan mesin mobil kesayangan. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah rumah kontrakan Kama, dia melakukan mobilnya ke arah Yogyakarta. 

"Kenapa jadi begini, Kama?" Seika berbisik lirih pada bayang-bayang Kama yang melintas cepat dalam benaknya,  "Aku tahu aku salah dan aku ke rumah kontrakan kamu tuh, untuk meminta maaf. Aku pingin cerita langsung sama kamu, betapa ribetnya hari ini. Sungguh Kama, sekalian mau ngasih kado ulang tahun buat kamu. Tapi ternyata kamu …?" 

Seika membersit hidung dengan tisu. Menghapus air mata yang semakin menghujan deras, sampai benar-benar kering. Sekarang dia melarang diri sendiri untuk menangis lagi. Jangan sampai merembes walaupun hanya setetes. Bukan apa-apa, rumah tinggal sekitar dua ratus meter di depan sana. Seperti apa pun perasaannya terhadap Kama malam ini, jangan sampai terdeteksi oleh Menir Hank. Sungguh, itu larangan  terbesar! 

"Kenapa Kama, apa yang kamu takutkan?" bisik Seika lagi sambil mengurangi kecepatan, "Toh, aku hanya ingin bertemu sebentar saja. Aku di dalam mobil dan kamu di luar. Ah, kenapa kadang-kadang kau aneh sekali, Kama?"

"Kamu nggak tahu, Kama!" penuh kesedihan dan penyesalan Seika bergumam, "Cinta ini begitu besar padamu. Tapi kenapa kamu malah mengecewakan seperti ini? Oh, sedih. Sakit Kama, Sakit!"

Seika kian meradang, mengingat bukan hal yang mudah untuk bisa pergi ke rumah kontrakan Kama tadi. Menir Hank menerima telepon dari rekan bisnisnya di kamar, jadi dia langsung beraksi. Memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya. Jika tidak? 

"Ah, katamu nggak apa-apa?" napas Seika tersengal-sengal, "Katamu aku nggak salah, nggak perlu minta maaf tapi kenapa seperti ini, Kama?" 

Dug! 

Begitulah bunyi detak jantung Seika begitu menyadari apa yang akan terjadi. Detik berikutnya bunyi dug yang begitu kuat di dada kirinya, berubah menjadi debar-debar menyakitkan di seluruh rongga dadanya. Oh, tentu saja dia segera membereskan seluruh perasaan dan pemikirannya. Sebisa mungkin mengembalikan seluruh jiwanya seperti yang biasa. Seutuh mungkin, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Bahaya. 

***

"Sial, kenapa tahu-tahu sudah sampai di rumah begini, sih?" rutuknya bergumam sambil memasukkan mobil ke halaman rumah. Tak musti payah-payah turun untuk membuka pintu gerbang, karena Menir Hank sudah membukakan untuknya. Bukan hanya itu, dia juga berdiri bersedekap---gaya khasnya ketika dalam pengaruh kekuatan cemas---di samping pintu gerbang bersama Pak Raka, pegawai sekuriti di rumah. Nah, itulah yang membuat degup jantungnya menjelma genderang mau perang tadi. 

"Oh, Seika mijn Lieverd …?" panggil Menir Hank penuh kekhawatiran begitu Seika turun dari mobil. Sorot matanya langsung memindai dusta di bola mata putri semata wayang, harta yang paling berharga dalam hidupnya. "Kamu baik-baik saja, Lieverd?" 

Karena Menir Hank begitu tajam dan dalam menyorot matanya, Seika menjadi sedikit gugup tapi bisa segera mengatasinya. Gadis dengan tinggi badan seratus delapan puluh lima centimeter dan berat badan enam puluh kilogram itu berusaha melukis senyum manis. Menyibakkan poni yang menutup mata ke belakang, menyelipkan beberapa helai rambut bagian kanan ke telinga. Tak hanya itu, dia juga berusaha untuk lebih menaturalkan gesture tubuh supaya papanya percaya bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja. 

"Seika baik, Papa." itu kalimat yang terucap dengan lembut dari bibir belah tengah plus merah alaminya, "Maaf, pulang terlalu larut. Maaf, membuat Papa jadi cemas seperti ini."

Meskipun merasa ganjil tetapi mendengar pengakuan dari Seika, Menir Hank tersenyum lega. Segera saja dia menepuk-nepuk sayang pundak malaikat kecilnya dan mengajaknya masuk. "Oh, syukurlah Lieverd. Papa nyaris mati berdiri menunggumu pulang tadi. Kalau tak percaya, tanyakan saja pada Pak Raka!"

Seika melirik sekilas ke arah Pak Raka. Pegawai sekuriti profesional itu menangkupkan kedua tangan di dada, sedikit membungkuk memberikan  penghormatan. Seika hanya mengulas senyum tipis oleh karenanya. Tak perlu bertanya apa pun karena bisa memperpanjang permasalahan.  

"Mari Lieverd, kita masuk ke rumah?" ajak Menir Hank sambil menggandeng tangan kanan Seika yang udah sedingin winter, "Lain kali tolong kabari Papa, Lieverd. Minimal angkat telepon Papa jadi Papa bisa bernapas dengan tenang. Kamu nggak mau Papa menjadi patung penunggu pintu gerbang lagi kan, Lieverd?"

'Ha, what?' tanya Seika dalam hati sambil berusaha untuk mengingat-ingat, 'Tapi kok, aku nggak tahu? Oh, Papa pasti menelepon ke nomer yang satunya. Ya Tuhan, untung Papa nggak tahu kalau ponsel yang itu tertinggal di kamar. Oh, thanks God!'

"Lieverd, kenapa diam saja? Katakanlah sesuatu agar Papa sedikit lebih tenang." lantang, di antara perasaan curiga dan khawatir, Menir Hank mengajukan protes.

Sedikit terkejut menuai protes dari papanya, Seika berusaha untuk memberikan  tanggapan terbaik, "Emh oh ya, Papa. Seika pasti kabari Papa, kok. Tadi Seika terburu-buru …."

Sampai di sini Menir Hank menghentikan langkah. Menelengkan kepala ke wajah Seika yang menghangat, kulit wajahnya sudah semerah kulit delima sekarang. "Kamu … Terburu-buru di jam malam, Lieverd? Hei, ada apa ini sebenarnya? Apakah kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari Papa, Seika Eline?"

Mati kutu! 

Itu yang dirasakan Seika sekarang. Benar, sepandai-pandai tunai melompat akhirnya jatuh juga. Sedari tadi semua baik-baik saja, kenapa tiba-tiba dia mengatakan hal konyol itu? Terburu-buru, padahal sudah jam sepuluh malam. Oh, jelas Menir Hank akan menjadikannya ikan dendeng sekarang. Membayangkan itu Seika tak mungkin berbohong, dia benar-benar takut. Dalam detik-detik yang berdetak melambat, bulu kuduknya menemani seolah-olah tersesat di kamar mayat seorang diri. 

***

"Seika Eline, tolong jawab Papa!" titah Menir Hank lembut namun tegas. Secepat kilat dia memindahkan tubuh ke hadapan Seika yang terlihat seperti orang kebingungan. Oleh karenanyalah pria paruh baya itu berhasil mendeteksi sesuatu yang tak beres dengan malaikat kecilnya. 'Ini pasti berkaitan erat dengan pria Tak Berkelas itu! Emh rupanya dia sudah berani menantangku, mengibarkan bendera perang? Baik, baik. Demi kebahagiaan hidup Seika, demi masa depannya yang indah. Tunggu saja nanti, tanggal mainnya. Ugh!'

"Emh Papa, Seika ada sedikit pekerjaan di kantor." meskipun tahu kalau kebohongan itu mirip seperti setangkai bunga dandelion yang tertiup angin tapi Seika gak punya pilihan lain, "Jadi, Seika ke sana tadi … Menyelesaikannya, Papa."

Lembut, Menir Hank mendongakkan dagu putri semata wayangnya. "Lieverd, bibirmu bisa saja berdusta tetapi tidak dengan pancaran sinar matamu. Tapi ya, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau bercerita dengan Papa. Terpenting, kamu baik-baik saja kan, Lieverd?"

Seika mengangguk kecil, memandang redup bola mata papanya. "Ya Papa, Seika baik-baik saja. Maaf … Bolehkah Seika istirahat sekarang?" 

Sekarang giliran Menir Hank yang mengangguk kecil. Senyum tipis terlukis jelas di wajah tampan khas Netherlands-nya. "Tentu, Lieverd. Tidur nyenyak ya, mimpi yang indah."

"Terima kasih. Papa juga, ya?"

"Ya, Lieverd. Doakan  Papa bertemu dengan Mama, ya? Papa rindu sekali."

"Oh Papa … Seika juga rindu sekali dengan Mama."

"Ah Lieverd, kita doakan Mama selalu, ya?"

"Pasti, Papa!"

Bila nanti saatnya tlah tiba

Kuingin kau menjadi milikku

Berjalan berdampingan dalam terik dan hujan

Berlarian ke sana ke mari dan tertawa

(Payung Teduh)

Siapa sangka kalau suasana yang begitu tenang itu akan terusik oleh getar ringtone dari ponsel Seika? Kama berusaha untuk menghubungi karena didorong oleh perasaan khawatir dan takut yang sedari tadi menguasai dirinya. Jika tidak, jelas dia takkan bisa memejamkan mata meski hanya sekejap sampai besok pagi. Baginya, Seika adalah segala-galanya. 

"Siapa yang menelepon, Lieverd?" tanya Menir Hank sambil terus mengawasi ekspresi sekaligus gesture tubuh Seika, "Apakah Seikamara Publishing memberlakukan jam kerja malam hari atau bagaimana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status