"Hemh, Seika!" berusaha sabar, Kama menyurukkan ponsel ke meja belajar. Berpikir sejenak apa yang harus dilakukannya sekarang. Secara mendadak Seika telah membatalkan janji yang telah mereka sepakati bersama. Meskipun dengan alasan ada urusan yang sangat penting dengan papanya namun tetap saja Kama merasa ganjil.
"Ada apa ini, tidak biasanya dia begini?" gumam Kama bertanya pada diri sendiri, "Apa ada masalah?" gumamnya lagi sambil mengetuk-ngetukkan tumit sebelah kanannya di lantai kamar, "Hemh tapi masalah apa, kutengok dia baik-baik saja?"
Masalahnya Kama juga sudah terlanjur membatalkan acara makan malam bersama keluarga di Lesehan Jos Gandhos hanya untuk bisa makan malam bersama Seika. Tidak mungkin mengundang mereka lagi, sudah hampir jam sepuluh. Bayang-bayang Seika yang menari lembut dan wangi dalam benak, membuat Kama menyesalkan sesuatu. 'Kalau memang ada urusan, kenapa tak sedari tadi sore Seika memberikan kabar? Setidaknya, aku tak harus membatalkan acara bersama Paman, Bibi dan Roseline. Mereka sih tidak masalah tapi aku yang jadi tak enak hati.'
Klik, klik!
Kama masih memikirkan tentang sikap Seika yang cukup aneh hari ini ketika ringtone chat berdering nyaring. Sesegera mungkin---berharap itu pesan dari Seika---bergegas dia meraih ponsel di atas meja belajar. Di antara setumpuk naskah dan beberapa buku bacaan favoritnya.
'Tadi siang Seika membatalkan acara makan siang, karena ada pekerjaan yang belum selesai. Sekarang, dia membatalkan acara makan malam karena ada urusan penting sama papanya.' batin Kama terus bertanya-tanya, 'Kok, bisa aneh begini sih, ckckckck …!'
New Chat@Anonim
[Halo Bang Kama]
[Ini Hira]
[Hiranur Aceh]
[Apa Abang masih save nomer Hira?]
[Itu sudah nggak dipakai lagi, Bang]
[Sudah hangus]
[Tolong dihapus saja]
"Ya Tuhan, Hira?" Menyadari siapa yang telah mengirimkan pesan padanya, Kama terkesiap. Matanya membelalak, rasa tak percaya memandangi layar ponselnya yang menyala terang kebiru-biruan.
Bukan apa-apa. Sudah lama sekali mereka tidak komunikasi, terutama setelah dia resign dari Real Publishing dulu, sekitar tiga tahun yang lalu. Sebenarnya waktu masih sama-sama bekerja di sana pun tidak bisa dikatakan dekat. Hanya saja Hiranur yang selalu berusaha untuk mendekat. Selayaknya seorang wanita yang berupaya mendapatkan hati seorang pria. Tentu saja Kama menghindar, karena sudah ada Seika di hati. Jiwanya pun sudah terisi penuh oleh gelora asmara bersamanya. Dia yakin, Hiranur pun tahu akan ikatan cinta antara dirinya dengan Seika. Di Real Publishing hal itu sudah menjadi rahasia umum.
Hiranur tetangga kampungnya di Aceh, sama-sama merantau ke Jawa dan bekerja di perusahaan penerbitan Menir Hank. Awalnya, Hiranur yang melamar bekerja di sana. Setelah diterima di bagian percetakan, dia menyarankan Kama untuk melamar pekerjaan juga. Kebetulan waktu itu Menir Hank baru membuka lowongan pekerjaan office driver. Hiranur tahu kalau Kama bisa menyetir kendaraan roda empat. Ditambah lagi, Kama juga belum mendapatkan pekerjaan tetap. Masih bekerja serabutan di pasar Beringharjo. Tentu saja, Hiranur ingin sama-sama sukses di perantauan, sebagaimana cita-cita mereka dahulu.
"Kenapa tiba-tiba Hira menghubungi aku, ada apa?" Kama terus memandangi layar ponsel, memikirkan balasan apa yang harus dikirimkan pada Hiranur. Bagaimanapun dia tak menginginkan adanya kesalahpahaman di antara mereka. Di Aceh, satu kampung ataupun tetangga kampung adalah saudara. Jelas, Kama tak ingin ada permasalahan apa pun dengannya. Jangan sampai. Bahaya.
New Chat@Anonim
[Haha Hira ngayal kali ya Bang?]
[Mestilah Abang sudah tak save nomer Hira lagi]
[Maaf juga ya Bang, kalau chat Hira ini mengganggu Abang]
"Aduh, bagaimana ini? Pening kepala awak dibuatnya!" bingung, Kama menjambak-jambal rambut cepaknya di bagian atas. Seakan-akan setelah itu dia akan menemukan jawaban dari sana, bersama rasa sakit yang mengutuhkan kesadarannya.
Catatan: awak=aku (bahasa Padang dan sebagian Melayu)
***
"Tunggu aku, Kama!" Seika berbisik lembut, lirih dan merdu seperti biasa. Dia sudah hampir sampai di rumah kontrakan Kama di bilangan Jalan Bantul sekarang. Bukan, bukan untuk melanggar aturan atau semacamnya. Seika hanya ingin memberikan kado ulang tahun untuk Sang Kekasih. Setelah janji-janji yang terpaksa dibatalkannya hari ini, Seika ingin memberikan kejutan besar, tentu saja. "Happy birth day, Kama!"
Hati-hati, Seika menepikan mobil di depan pagar rumah besar yang dindingnya bercat hijau telur asin dengan halaman yang terlihat luas. Mematikan mesin, mengambil ponsel dari dashboard dan segera menghubungi Kama.
Tut, tut … Tuuuttt!
"Ayolah Kama, angkat!" gumam Seika sambil memukul-mukul setir. Kegelisahan mulai mengisi ceruk hatinya yang sedang menghakimi diri sendiri. Bagaimana tidak? Dia sendiri yang membuat janji, dia sendiri pula yang membatalkannya. Kalau sekali sih masih enak di hati. Lha, ini? Dua kali, lho.
"Ya Tuhan, semoga Kama nggak marah?" tuturnya lirih setengah berbisik. Air bening hangat sudah mulai menggenangi bola matanya.
Tut, tut … Tuuuttt!
Karena panggilan pertama tidak diangkat, Seika mengulanginya lagi. Kali ini kegelisahan di dalam hati sudah semakin meningkat pesat. Merambat hangat hingga ke seluruh tubuh, nyaris memanas. Seika khawatir kalau-kalau sikapnya membatalkan janji tadi, sudah membuat Kama kecewa, tersinggung atau sejenisnya. Oh, baru membayangkan saja gadis cantik pemilik paras bidadari itu sudah disergap ketakutan.
"Ya, Seika?" Kama menyapa lembut, ramah dan hangat dari dalam kamar. Dia masih berbaring di tempat tidur, sama seperti beberapa waktu yang lalu. Sekarang pria berdarah Padang itu sudah bisa menghela napas lega. Akhirnya, Seika menghubunginya juga.
"Oh, Kama … Sorry, aku benar-benar minta maaf ya, Kama?"
"Lho, kok minta maaf terus sih, Seika? Aku sudah memaafkan kamu, kok. Lagi pula aku bisa mengerti kok, kalau memang kamu ada kepentingan. Toh, kita bisa makan siang atau makan malam bersama lagi, lain waktu. Ya, kan?"
"Iya sih, Kama. Tapi jujur ya, aku merasa bersalah sama kamu."
"Ah, tak perlu itu Seika. Sudah, lupakan saja yang tadi, ya?"
"Oh Kama, thanks. Bytheway aku di depan rumah kontrakan kamu sekarang, Kama. Bisa keluar sebentar?"
Kama terperanjat. Saking terperanjatnya, hampir saja dia terjatuh dari tempat tidur saat beringsut turun. Dia tahu, Seika memang seroang wanita pemberani tapi melihatnya nekat seperti ini, sungguh dia tak pernah menduga sebelumnya. Terlebih ini sudah jam sepuluh lewat lima belas menit, sudah bukan jam bertamu lagi. Aduh, bisa-bisa jadi bumerang untuk mereka berdua. Untuk beberapa saat lamanya, Kama hanya bisa memandangi pantulan wajah tampannya di kaca cermin berukuran 20R yang tergantung di samping meja belajar. Otaknya berputar-putar keras, memikirkan apa yang harus dia lakukan di saat genting seperti sekarang.
"Kamu, di depan rumah?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Kama, "Sama siapa, Seika?"
"Ya Kama, aku di depan rumah. Di mobil, sendiri …!" Seika menjawab dengan jujur apa adanya tapi lalu bertanya dengan kecewa sekaligus sedih, "Oh, kamu nggak suka ya Kama, aku datang? Padahal aku hanya ingin bertemu denganmu … Sebentar saja, Kama."
Di kamarnya, Kama mendesah berat lalu menghela napas panjang. Memejamkan mata rapat-rapat, berusaha meredam sebentuk gejolak di dalam dada. Di satu sisi, dia sangat ingin bertemu dengan Seika. Selain karena ingin memastikan kalau belahan jiwanya itu dalam keadaan baik-baik saja, dia juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak mungkin kan, Seika membatalkan janji begitu saja? Dia kenal betul bagaimana calon permaisurinya itu dalam hal ini. Tapi di sisi yang lain, ini sudah malam. Mustahil dia ke luar rumah dan menemuinya. Bahaya. Bisa-bisa hukum manusia yang berbicara dengan lantang, selantang-lantangnya.
"Kama, kamu nggak suka ya, aku datang?"
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se