Dilan menghampiriku. "Terima kasih, Bu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk bekerja kembali di sini." Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum padanya.
"Delia, kamu …, ehm bagaimana mungkin kamu bisa meminta Dilan kerja kembali di sini, dia itu sudah banyak merugikan perusahaan kita," tanya Mas Heru penuh penekanan. Dia menatap tajam ke arah Dilan.
"Itu karena …." Kulihat Lastri ternyata belum keluar juga dari ruangan ini. Dia mengamati kami. "Las, apa butuh bantuan untuk mengemas barangmu itu, dari tadi saya lihat kamu masih terlihat sibuk," ucapku mengusirnya secara halus.
Gerakan tangan Lastri semakin cepat merapikan barang-barangnya dengan kasar, ia bahkan sudah berani menatapku nyalang menunjukkan kemarahannya padaku.
Aku tak peduli. Baru begini saja kamu marah, lalu apa kabar aku yang
Mas Heru belum juga kembali dari toilet. Aku yang menunggu di dalam ruangannya tiba-tiba juga ingin ke toilet. Lebih baik aku ke toilet dulu menuntaskan hajatku.Rasanya lega, membuang sesuatu yang terisi penuh akibat kebanyakan minum air pada saat rapat tadi. Baru saja ingin membuka knop pintu toilet untuk keluar, gerakan tanganku terhenti. Ada yang menyebut namaku di luar sana. Kupasang telinga lebih tajam."Bu Delia, cantik ya, kok bisa Pak Heru masih kepincut janda gatel." Suara seseorang terdengar sampai ke dalam, membuatku terdiam, dan bergerak pelan. Tidak jadi membuka pintu. Aku mundur ke belakang dan memutuskan kembali duduk diatas toilet. Sepertinya itu suara karyawan di kantor ini. Siapa lagi yang masuk ke toilet kantor kalau bukan karyawannya sendiri. Terdengar banyak bunyi derap sepatu di lantai, artinya ada beberapa orang di luar sana."Godaannya m
"Bagaimana Bu, mungkin Dilan sudah menjelaskan semuanya. Apa Bu Irma bersedia? Waktu saya terbatas," ucapku pada Bu Irma setelah kembali duduk di depannya."Maaf, Bu. Saya tidak bisa menyetujui keinginan Bu Delia. Semua kontrak sudah selesai, Pak Heru telah menyelesaikannya dengan baik. Memang benar, Pak Heru minta tiga kali angsuran untuk membayar rumah tersebut, tapi semua sudah disepakati antara penjual dan pembeli, jadi tidak mungkin lagi saya ubah. Bukan wewenang saya. Walaupun Ibu mengimingi saya dengan pembelian kontan," jelasnya.Aku tersenyum. "Sebenarnya ini mudah saja. Saya menawarkan ke Bu Irma agar Ibu mendapatkan untung juga. Bisa saja 'kan saya pergi ke pemiliknya langsung, dia pasti setuju karena tidak mau berurusan dengan hukum," jawabku lagi sembari melihat ke arloji di pergelangan tangan. Waktuku tidak banyak. Masalah ini harus selesai secepatnya."
kotak perhiasan? Apa itu perhiasan …."Tidak, itu milikku. Kembalikan! Itu hadiah dari Mas Heru." Lastri merangsek dan ingin mengambil paksa perhiasan tersebut. Namun tidak bisa, karena Dilan mengangkat tinggi tangannya ke atas. Badannya yang lebih tinggi dari Lastri sangat menguntungkannya. Lastri tidak menyerah dengan memaksa melompat-lompat ke atas mencoba menggapai tangan Dilan.Aku berdiri, mendorong tubuh Mas Heru yang masih duduk bersimpuh hingga ia terjungkal ke belakang karena hentakan lututku.'maaf Mas, aku tidak sengaja, bukan maksudku mendorongmu.' Kulirik Mas Heru sebentar, lalu mendekati Lastri.Kutangkap tubuh Lastri dan menghadapkannya ke arahku. Kuamati hingga yakin dengan apa yang sedang kulihat. Lastri mengernyit melihat tindakanku padanya.La
Sayup masih kudengar suara panggilan Mas Heru, dan teriakan Lastri di dalam rumah ini. Mereka berdua bagai dua kutub yang berseberangan. Satu menyuarakan pengibaan, permintaan maaf, sedangkan satunya penuh hujatan dan caci maki untukku. Tidak kupedulikan kekacauan yang terjadi di rumah ini. Dilan dan Surya pasti bisa mengatasinya.Aku terus berjalan pelan, melangkah hingga tanpa kusadari langkahku memasuki ruangan yang tampak seperti ruang makan. Ada meja panjang dengan kursi besar mengelilinginya. Aku duduk di salah satu kursi tersebut. Netraku mengitari ruangannya yang megah. Lalu kutelungkupkan wajah ini ke atas meja, bertumpu pada tangan. Aku menangis. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh juga, tumpah setelah kepergian mereka, para pengkhianat. Mencoba kuat di depan mereka, agar tidak ditertawakan. Nyatanya hatiku rapuh, tidak sekuat baja.Kenapa hidupku seperti ini. Hidup
"Untuk Pak Heru, Lastri dan ….Aku sengaja menjeda ucapanku. Pak Jayus bahkan harus menelan saliva menunggu lanjutannya."Bella." Makin terbelalaklah matanya mendengar nama terakhir yang kusebut. Pak Jayus menelan salivanya lagi."Bel--la, Bu?" Ulangnya memastikan. Aku mengangguk pasti."Pak Heru, kok bisa? Bukankah Pak Heru direktur utama di,""Memangnya ada masalah? Dia memang direktur di perusahaan ini. Namun Pak Jayus tentu tahu kalau saya juga mempunyai wewenang tertinggi di perusahaan ini." Pak Jayus mengangguk lemah. Dari wajahnya tampak gurat ketakutan."Bukankah di rapat kemarin sudah kita bahas, kalau laba perusahaan menurun. Anda pasti tahu apa penyebabnya?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Kuambil pulpen yang berada di atas meja dan memaink
Sepanjang perjalanan hatiku gelisah. Aku memikirkan pembicaraanku dengan Mbok Yem di kantor tadi, lewat sambungan telepon.Mereka? Nekat sekali mendatangiku. Apa Mas Heru belum memberitahukan tentang hubungan kami?***"Mereka siapa Mbok?" Aku penasaran."Mertua Non dan adiknya Pak Heru.""Mbok tanya, apa mau mereka datang ke rumah?""Katanya mau ketemu sama Non Delia. Sudah saya bilang kalau Non itu kerja, nggak ada di rumah. Eh malah maksa masuk. Kebetulan Dini yang bukain pintunya. Dia nggak tahu, mendengar kata mertua, ya ngasih izin aja buat masuk.""Ya sudah Mbok, saya akan pulang sekarang. Tolong Mbok awasi terus gerak-gerik mereka," pesanku, mengakhiri pembicaraan.&
Rasanya benar-benar lelah. Dari urusan kantor hingga kedatangan dua beranak itu, membuat kepalaku sakit. Setelah kamar kukunci, segera aku bergegas mencari obat. Sepertinya hari ini aku harus istirahat total. Namun apa mungkin? Sedangkan semua urusan kutangani sendiri.Lagi, ponselku tidak berhenti berdering. Setelah obat sakit kepala berhasil kutenggak, tanganku berusaha menggapai tas di atas tempat tidur. Mencari ponselku yang masih berdering.Menyesal, seharusnya kubiarkan saja ponsel ini berdering terus, karena setelah kulihat layarnya, yang menghubungiku ternyata adalah Mas Heru. Tanpa pikir panjang kumatikan ponselku. Aku butuh dua-tiga jam untuk tidur. Setidaknya sampai sakit kepalaku berkurang.***Ada suara yang mengusikku. Mataku mengerjap perlahan. Terdengar suara ketukan pintu. Kutajamkan pendengaran. Be
Dimas?" Seruku, mencoba menebak. Aku yakin laki-laki ini adalah Dimas. Walau hanya sekali bertemu, tapi sering melihatnya di medsos.Laki-laki di hadapanku ini tersenyum.Aku duduk kembali bersama seorang laki-laki. Namun beda orang dan tempat. Ya, sekarang aku duduk di sebuah cafe, yang tidak jauh dari restoran tempatku bertemu Pak Darwin. Di hadapanku, duduk seorang laki-laki yang sebenarnya tidak kukenal baik, cuma tahu nama dan siapa dia dulunya. Dimas--mantan suami Lastri."Apa kabar?" Tanya Dimas memulai percakapan yang asing ini."Baik," jawabku singkat. Dia hanya tersenyum."Senang bertemu denganmu lagi," ujarnya. Dua alisku bertaut. Kupaksakan tersenyum."Kita hanya sekali bertemu, itu pun saat kalian nikah," kilahku. Aku tida