POV Mama Ira
Apa impian terbesar seorang ibu untuk anaknya? Bahagia. Seorang ibu ingin anaknya hidup bahagia. Sesimpel itu. Saat anak jatuh sakit, betapa menderitanya kita sebagai ibu. Kalau bisa, biar sakitnya pindah ke kita. Sekhawatir itukah seorang ibu? Jawabnya ya. Sebesar itukah pengorbanan ibu? Iya. Apapun akan dilakukan seorang ibu untuk anaknya.
Sama sepertiku. Aku hanya mempunyai satu orang anak, seorang putra. Namanya Ryan. Dengan umurku yang sudah memasuki setengah abad ini, apa lagi impian terbesarku untuknya, kalau bukan melihatnya menikah. Entah apa yang terjadi pada Ryan. Sampai umur hampir mendekati tiga puluhan, dia belum juga mempunyai calon istri untuk dinikahi. Apa yang salah pada dirinya? Ganteng iya, mapan, baik, sangat menghormati perempuan. Kok tahu? Karena aku ibunya. Aku merasakan bagaimana cara dia memperlakukanku. Sangat baik. Perhatian, lembut. Tipe yan
18 tahun kemudian."Yah, bagaimana caranya memanaskan hati cowok yang dingin?" Pertanyaan dari Shanum membuat Mas Ryan menyemburkan kopi yang baru saja diteguknya.Aku yang sedang mengoleskan selai cokelat kesukaan Bian terhenti dan mengarahkan tatapan heran ke Shanum."Kalau dipanaskan, takutnya hatinya gosong, 'kan nggak enak buat dimakan," sahut Mas Ryan bercanda, sembari mengelap meja bekas kopi yang tidak sengaja disemburkannya menggunakan tisu. Sepertinya Mas Ryan mencoba bersikap sesantai mungkin menanggapi pertanyaan Shanum tentang lawan jenis."Yah, Shanum serius." Wajahnya cemberut dengan bibir manyun. Diraihnya segelas susu dan menyesapnya perlahan karena masih panas."Ayah juga serius," tukas Mas Ryan membuatku menggelengkan kepala. Shanum itu adalah versi perempuannya Mas Ry
Aku terkesiap saat menelisik penampilannya. Ada yang berubah dari lelaki ini. Tidak kutemukan lagi kemewahan dari lelaki yang selalu berpakaian parlente dengan gaya necis. Di depanku saat ini hanyalah lelaki biasa, mengenakan kemeja biasa juga dengan tangan yang digulung sampai siku. Tidak ada jam tangan mewah menghiasi pergelangan tangannya. Cuma ada kacamata yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Walaupun sudah menua, lekuk wajahnya masih bisa kukenali dengan baik.Dia masih memandangku dengan sorot mata teduhnya."Maaf, sa--saya pergi dulu." Dengan terbata aku berhasil membalas ucapannya. Walaupun kuyakin bukan ini jawaban yang diharapkannya. Aku berbalik segera pergi berusaha menjauh. Masih sempat kutangkap gerakan bibirnya yang ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi tertahan. Aku tidak peduli, bagiku ia hanyalah masa lalu yang harus kulupakan, dan ditinggalkan
POV HeruApa yang kamu rasakan saat seseorang dari masa lalu datang kembali?Bahagia? Sedih? Kecewa? Atau biasa saja?Jawaban tergantung siapa orangnya. Kalau orangnya adalah orang yang kamu rindukan, pasti jawabannya bahagia.Itulah yang terjadi padaku. Bahagia, seakan dunia hanya ada dia. Bahagia, hingga lupa sesaat pada pasanganku yang berada di rumah. Lupa, kalau sudah mempunyai seseorang, yang telah menggantikan posisinya di hatiku. Bukan menggantikan, karena ternyata tetap namanya yang terpahat di sana.Setelah sekian purnama terlewat, dan saat pertama kali melihat dirinya lagi, rasa cinta yang sudah terkubur dalam untuknya naik kembali. Pelan-pelan menimbulkan desiran aneh di hati, hingga kesulitan untuk menguntai aksara walau hanya sekedar menyapanya. Kembali rasa itu hadir. Apa itu tandanya gagal move on?Delia. Sebuah aksara nama yang masih kuingat sampai belasan tahun lamanya
POV Shanum.Bruk!"Maaf, ya. Nggak sengaja," sesalku ikut berjongkok mengumpulkan buku yang terhambur di lantai koridor sekolah. Kuakui ini kesalahanku yang berjalan tidak melihat ke depan. Mataku fokus ke layar hape, asyik membalas pesan Santi. Hingga tidak kusadari ada si cowok kulkas lewat di depanku dengan membawa tumpukan buku penuh di tangannya"Ini." Sembari menyodorkan satu buah buku terakhir ke arahnya. Aku tersenyum semanis mungkin biar cowok yang dikenal dingin ini tidak marah apalagi memasang wajah juteknya. Kali saja dibalasnya dengan senyuman pula.Diambilnya buku tersebut tanpa membalas senyumku, kedua sudut bibirku refleks melengkung ke bawah. Cowok yang dijulukin pangeran es ini berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Menyebalkan.&
Aku tidak suka melihat pemandangan ini. Tanganku mengepal kuat menyaksikan Alan memaksa Fatih melakukan semua perintahnya."Dan, memangnya, awal ceritanya gimana?" tanyaku pada Dani yang ternyata ikut juga datang ke tempat ini."Singkat dan jelas!" selaku, sebelum ia membuka mulut."Sepele. Katanya Fatih berjalan nggak sengaja kesenggol bahu Alan. Terus ya begitulah, sepertinya, masalah sepele ini sengaja diperpanjang Alan. Nggak tahu bagaimana ceritanya, Fatih ditarik kesini gitu sama geng-nya Alan." Sambil berbisik Dani menceritakan kronologi kejadiannya."Alan 'kan iri sama Fatih, saingan merebut hati para gadis," imbuhnya lagi menambahkan."Ckkk." Aku menggelengkan kepala mengetahui alasan Alan si biang onar. Masalah cewek, emang sepenting itu. Dan Fat
"sekarang, masuk ke rumah, dan jangan kemana-mana! Kamu Bunda hukum juga nggak boleh keluar rumah selama tiga hari, sama seperti hukumanmu di sekolah."Aku terperangah mendengar ucapan Bunda."Bun, kok Shanum dihukum juga, hari ini 'kan jadwal Shanum latihan karate," rengekku tidak terima."Nah, itu. Kamu nggak boleh latihan karate atau apapun itu sebelum masa hukumanmu berakhir.""Lo, kok gitu, Bun. Nggak adil. Terus Shanum ngapain di rumah. Bosan, Bun," protesku ke Bunda dengan manja sambil menghentakkan kaki.."Bunda nggak mau tahu. Patuhi Bunda, sebelum Bunda tambahin hukumanmu karena membantah ucapan Bunda. Masuk, dan jangan kemana-mana. Bunda ke butik dulu, ya. Assalammualaikum.""Waalaikumsalam." Dengan
Mataku memicing saat tahu siapa yang datang. Jadi, ayahnya Alan itu temannya Ayah, bukan temannya Bunda? Hm … aku salah duga."Shanum, sini Sayang." Ayah memanggilku.Di sana, sudah ada Ayah dan Bunda. Kaif pun sudah duduk di salah satu sofa di ruang tamu. Dan tamu Ayah yang akan datang itu ternyata keluarganya Alan."Ini kenalkan, teman lama Ayah, Om Yudhatama."Aku mengangguk pelan dengan mengulas senyum tipis, tidak lupa salim santun meraih tangannya."Cantik, seperti ibunya," puji Om Yudha melirik ke arah Bunda. Wajah istri Om Yudha seketika merengut mendengar pujian suaminya untukku.Yaelah, gitu saja cemburu. Ingin sekali kalimat itu kuucapkan ke arahnya. Namun pesan Bunda masih membekas di benak agar t
1 bulan kemudian …."Aaa …!"Aku berteriak histeris setelah mengerjapkan mata terbangun dan melihat disampingku terbaring seorang lelaki tanpa mengenakan pakaian.Kubuka selimut yang menutupi tubuh, bingung melihat kondisi sendiri lalu berteriak kembali. "Aaa!" Ternyata bukan mimpi. Ini nyata."Ada apa sih te, aww …." Lelaki bersuara serak tersebut terpental ke bawah karena kutendang. Aku tak peduli. Sebisa mungkin menyingkirkan sesuatu yang kukira adalah mimpi buruk, siapa tahu lenyap seketika."Hah!" Lelaki itu terlihat kaget setelah mendapati dirinya toples tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Ia terlihat kebingungan. Mencoba menarik selimut tapi sayangnya kugenggam erat. Mana mungkin aku mau berbagi selimut dengannya. Semua yang terlihat harus kututupi. Kupalingkan wajah karena tidak i