#Pura_Pura_RebahanPart 24 : Pemanis hidupPanggilan pertama dan kedua kuabaikan, hingga akhirnya ia tak menelepon lagi. Aduh, Oppa, aku harus mengirim chat kepadanya agar ia tak menghiraukan chatku yang tadi.[Zidan, sorry, aku salah kirim chat. Tak ada apa-apa, selamat bekerja.]Segera kukirimkan chat itu kepadanya, tapi ia sudah tak online lagi. Aduduuu ... jangan-jangan dia ke sini lagi? Gimana ini? sebelum Zidan datang, aku harus keluar dan memberikan uang kepada Mas Aldi, agar ia segera pergi. Tanpa pikir panjang lagi, segera kuraih bantal penyimpanan uangku lalu mengambil uang berwarna merah sebanyak lima lembar, semoga ini cukup untuk menyumpal mulut pengangguran tukang peras itu. isshh ....“Naffa, jaga Adek dulu, ya! Mama mau ke bawah sebentar,” ujarku kepada putri sulungku.Naffa mengacungkan jempolnya dan melanjutkan aktifitas bermain boneka bersama Aisha. Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga lalu turun ke lantai dasar. Saat keluar dari ru
#Pura_Pura_RebahanPart 25 : Rumah KontrakanMau tak mau, ikhlas tak ikhlas, dengan sangat terpaksa bin dongkol, aku dan anak-anak kembali ke rumah Mas Nizar. Mama mertua dan Mbak Mona menyambut kami dengan tampang tak senang. Rumah juga seperti kapal pecah, seperti tak berpenghuni.“Mas, rumah kok berantakan sekali? Mama dan Mbak Mona kok nggak mau beres-beres sih?” Aku masuk ke dalam kamar dengan sambil bersungut-sungut kesal.“Kamulah yang beresin!” jawab Mas Nizar enteng.“Kok aku sih, Mas? Padahal baru pulang juga, kalau gini aku mau minggat lagi aja.” Aku mengerucutkan bibir sembari duduk di sudut lemari.Mas Nizar mendekat ke arahku lalu duduk di hadapanku, tatapannya tajam kepadaku.“Vio, katakan sebenarnya ... minggat ke mana kamu kemarin? Sekarang kok tingkahmu semakin menjadi- saja, mulai suka membangkang dengan ancaman kaburlah, apalah! Maumu apa? Coba katakan terus terang? Apa pria tadi itu, yang pernah kamu akui sebagai keponakan itu telah mempengaruhi atau juga ... dia
#Pura_Pura_RebahanPart 26 : Jujur sekarang atau besok?Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Nizar beranjak keluar dari rumah lalu naik ke motornya dan pergi. Ish, menyebalkan sekali. Aku tahu, ia takut uangnya keluar karena kontrakan ini makanya ia acuh begitu, padahal aku cuma ngetes dia aja bilang belum bayar itu. Berharap dia mau ngontrak rumah untukku dan anak-anak, sampai lebaran kucing juga nggak akan kesampaian.Aku kembali duduk di ruang tamu, dengan hati yang masih terasa jengkel. Dasar Tuan Crab medit, gara-gara duit, dia sampai lupa melihat anaknya. Pura-pura aja tuh nanyain anaknya, sekali ke sini nggak juga ditengok. Keloni saja kartu atmnya sampai hamil dan beranak pinak. Aku beranjak ke ruang tengah dan melihat dua putriku yang sudah selesai makan dan kini sudah rebahan di atas kasur bulu-bulu dengan sambil menonton acara kartun kesukaannya.Setelah memastikan dua anakku aman-aman saja, aku segera ke dapur untuk mengambil air wudhu karena adzan magrib telah berkumandang di
#Pura_Pura_RebahanPart 27 : Kita Berpisah Saja!Mas Nizar menatapku, ia terlihat tersenyum sinis. Ish, aku jadi benci dengannya. Dia sok sekali, mentang-mentang punya kerjaannya nyata dan aku yang kerjanya tak kelihatan ini diremehkan.“Vio, kita berpisah saja!” Kata-kata sakti itu keluar juga dari bibir pria yang sudah kurang lebih lima tahun menjadi suamiku itu.Aku tertegun dan mencubit pergelangan tangan, untuk memastikan ini mimpi atau nyata sebab tak pernah terpikirkan olehku kalau Mas Nizar akan memutuskan untuk berpisah denganku.“Aku tak sanggup membiayai hidupmu yang seperti ini, sewa rumah saja dua juta sebulan, belum lagi kebutuhan makannya. Gajiku Cuma lima juta, Vio! Ya sudah, kita hidup masing-masing saja. Masalah anak kita bagi dua, kamu satu dan aku satu.” Dia menatapku dengan serius.Aku masih terdiam, rasanya shock sekali. Walau cintaku kepadanya tak juga begitu-begitu amat, tapi ... aku menahan sesak di dada dan gundukan air mata.“Maaf, aku lebih menyayangi uang-
#Pura_Pura_RebahanPart 28 : Masing-masing Satu JutaAku segera pulang ke rumah sebab tak mau meninggalkan Naffa dan Aisha terlalu lama, walau sudah ada Bu Desi yang menjaganya. Di kepalaku masih saja terbayang Mas Nizar dan wanita ini. Tega sekali dia, dada terasa nyeri. Semua ini sungguh mengganggu mood dalam menulis, walau cintaku terhadapnya tak terlalu dalam tapi aku tetap sakit hati karena dia mencampakkan kami hanya karena wanita kaya itu. Kuhembuskan napas kasar dan berusaha menenangkan diri. Aku dan anak-anak akan baik-baik saja tanpamu, Tuan Crab. Kusapu buliran air mata yang kembali berjatuhan. Ayolah Vio, berhentilah menjadi sosok lebay, kembalilah menjadi wanita jenaka yang akan segera melupakan segala permasalahan dan mengukir senyum di wajah. Aku mensugesti diri. Kutatap dua putriku yang sedang tertidur di kamar, aku tak apa menjadi janda, tapi aku kasihan dengan kedua putriku akan kehilangan papanya. Mama janji, kalian takkan kekurangan kasih sayang walau nanti hanya
#Pura_Pura_RebahanPart 29 : Kontrak Novel Kolaborasi“Tante, rumahnya di sini sekarang?” tanya pria berjas hitam itu, dia masih suka sok akrab saja dan seolah-olah aku ini udah tante-tante saja padahal masih muda gini. Kalau dipakaikan seragam SMA, aku bakalan terlihat sebagai anak sekolahan malah.“Hay, Om-om .... “ Naffa malah melambaikan tangannya kepada pria berwajah ala oppa itu.“Hay!” Dia makin sok akrab saat putri tertuaku itu menyapanya.Naffa dan Aisha terus berputar-putar dengan sepedanya di halaman rumah, aku mengerucutkan bibir sembari menghampiri dia, sang teman kolab alias oppa alias Zidan Rizaldi.“Hay, Tante, makin cakep aja. Nggak terasa, kita udah lama nggak ketemu dan pas ketemu ... Eh, malah satu kompleks begini,” ujarnya lagi.“Jadi, rumah kamu di sekitar sini juga?” Aku menatapnya sinis.“Iya, rumah paling ujung. Ayok, main-main ke rumah!” Dia semakin sok ramah.“Hmm ... entar dikira pelakor oleh istrimu pula kalo gue ke rumah lo bawa anak-anak.” Aku memutar bo
#Pura_Pura_RebahanPart 30 : Oppa MeresahkanPonsel di tanganku berdering, mau tak mau aktifitas menari-nari ala penari balet ini terhenti mesti dua putriku masih tetap berputar-putar dengan sambil berpegangan tangan. Eh, ini Zidan. Kulihat nama teman kolabku itu terpampang di depan layarnya. Aku duduk di sofa dengan untuk mengontrol pernapasan yang kini jadi ngos-ngosan.“Hmm ... Assalammualaikum,” ucapku. “Waalaikumsalam. Tante kok nggak balas chat sih?” Terdengar suara gantengnya dari benda pipih yang kutempelkan ke telinga.“Ini baru mau balas,” jawabku dengan masih berbunga-bunga, membayangkan sebentar lagi bakalan bisa meluk Zidan, eh bukan! Meluk karya sendiri alias novel cetak perdanaku, walau bikinnya kolab ma dia.“Tante bisa ‘kan? Nanti pukul 15.30 aku jemput, anak-anak dibawa saja. Oke, Tante?”“Oke, Om, siap!” jawabku bersemangat.“Ya sudah kalau gitu, sampai jumpa nanti sore. Assalammualaikum .... “ Suaranya terdengar makin ganteng aja.“Waalaikumsalam.” Aku mengakhiri
#Pura_Pura_RebahanPart 31 : Segera DifilmkanHingga sore, Mas Nizar belum datang juga untuk mengembalikan anak-anak. Chatku juga hanya ia baca tanpa dibalas, ditelepon pun tak diangkat. Apa maksudnya, coba? Dia takkan mengambil Naffa dan Aisha ‘kan? Hati jadi bimbang. Sebenarnya waktu di saat anak-anak sedang tak ada begini, bisa kumanfaatkan untuk menulis tapi aku malah tak bisa berpikir dengan santai dalam keadaan resah begini. Mood nulis juga ambyar sebelum dua putriku kembali ke rumah.Taklama kemudian, terdengar deru mobil di depan rumah dan aku langsung berlari menuju pintu lalu membukanya. Terlihatlah sebuah mobil merah di depan sana dengan seorang wanita yang turun dengan menggandeng dua putriku. Aku langsung melangkah turun dan mengambil Naffa dan Aisha darinya.“Mas mana Nizar mana? Kok bukan dia yang mengantar anak-anak pulang?” tanyaku kepada wanita dengan tubuh ideal namun berwajah tua itu.“Mas Nizar sedang sibuk, maaf ya,” jawabnya dengan senyum ramah.“Bilang Mas Niza