Tatkala kubuka mata, terbangun dari lelap tidurku di hari pertama menjadi seorang istri, kudapati ranjang pengantin kami telah sepi kuraba kasur dan bantal bantal sambil mengusap wajah berkali-kali mengumpulkan nyawa dan kesadaranku.
"Kau sudah bangun?" tanya atasanku itu yang juga suamiku ia terlihat telah mandi dan mengenakan kemeja dan sedang membenahi kancingnya. "Iya," jawabku pelan. "Apakah semalam tidurmu nyenyak?" "Iya," balasku. "Sarapan akan dibawakan petugas hotel bangunlah bergegaslah karena kita harus pulang ke rumah." "Ke rumah siapa?" Aku tahu pertanyaanku pertanyaan bodoh. Dia menatapku sekilas lalu berkata, "tujuannya sudah jelas." Mestinya pagi-pagi ini aku mendapatkan suntikan mood dan semangat yang bagus tapi menjumpai si Es balok yang dingin membuatku hanya mampu membuang napas kasar ah, sudahlah. Pukul 9 pagi kami berdua hendak check out dari hotel berbintang 5 yang menjadi saksi malam pengantin bisu kami. Kemudian kami berjalan bersisian menyusuri koridor hotel memasuki lift tanpa banyak bicara. Lalu, setelah sampai di lantai dasar kami langsung menuju lobi utama untuk menunggu mobil jemputan. Tak lama kemudian sebuah mobil Mercedes berwarna putih berhenti di depan pintu utama lalu Mas Aldi memberi isyarat agar aku segera masuk mengikuti langkahnya. Setelah memasuki mobil dan perlahan kendaraan itu meluncur, timbul ide aku ingin bertanya kepadanya, kemana kiranya ia akan membawaku pulang. "Rumah Mas Aldi ada di mana?" Dia menatapku sekilas karena aku sudah mengganti gaya panggilanku dari Pak menjadi Mas. "Kamu ikuti saja." "Bagaimana dengan keluarga Mas Aldy bagaimana jika nanti bertanya banyak hal tentang kenal di mana? tentang pertemuan pertama kita? apa yang harus aku jawab?" "Katakan saja kau lupa." "Ya ampun, tentu saja tidak semudah itu," batinku. "Kebiasaan orang tua Mas ... setidaknya aku harus tahu semua itu, karena posisinya sekarang aku adalah menantu, yang pastinya mereka pasti akan minta bantuan minta sesuatu dan banyak hal, Aku juga ingin ketika mereka bertanya jawaban kita seragam. Aku juga ingin tahu apa yang mereka sukai dan tidak sukai." "Tidak ada. Orang tuaku hanya menyukai kopi susu dan sarapan ala western di pagi hari mereka jarang makan nasi dan tidak banyak bicara." "Oh, begitu ...." Sepertinya aku akan sulit berada di rumah itu Karena mungkin kultur dan kebiasaannya kami berbeda. Adalah sebuah tantangan sendiri menghadapi keluarga yang pendiam dan aku merasa ini benar-benar akan kesulitan "Kenapa kau tercenung?" tanyanya kemudian "Saya pikir tugas kali ini yang sangat berat." "Setara dengan gajinya." Ia menggumam cuek. "Jadi pernikahan kita hanya untuk menuntaskan tuntutan orang tua Mas Aldi agar Mas Aldi segera menikah?" "Sebagiannya itu." "Apa ... ada sebagian yang lain?" aku mengernyit. "Iya ada tujuan utama yang lain," ungkapnya pelan. "Apa itu?" "Haruskah aku memberitahumu?" Ia terlihat gusar sambil memelototkan mata. "Mungkin dengan memberitahuku, tugasku bisa lebih maksimal." "Balas dendam." "Pada siapa?" "Itu privasiku! kau ikuti saja apa yang aku suruh dan lakukan tugasmu, jadi istri yang baik dan paripurna." Ya elah, ngegas. Sesampainya di sebuah bangunan yang cukup megah dengan eksterior bergaya Italia mobil berhenti, menurunkan kami tepat di depan pintu utama. Kami turun dan seorang pembantu membukakan pintu dan membiarkan kami masuk. "Selamat datang Nyonya," sapa pelayan itu. "Terima kasih,", ucapku yang tak kalah memberikan senyum lebar. "Halo ... assalamualaikum ada orang di rumah?" suara Mas Aldi menggema di dalam rumah mewah tersebut namun tidak ada satupun jawaban. "Masuk," ajaknya sambil memberi isyarat. "Iya baik." Kujejakkan kaki pertama kalinya dan mataku langsung terpana pada kemewahan rumah itu. Aku terpesona pada keindahan tata ruang furniture dan aksesorisnya. "Benar-benar rumah orang kaya," gumamku. Kami memasuki ruang keluarga yang terhubung ke ruang makan, tempat Itu tidak dibatasi oleh penyekat apapun, berhadapan dengan lemari kaca ukuran besar yang berisi keramik dan guci guci antik seukuran tubuhku. Dibagian kanan ada tangga dengan bentuk memutar dengan cat warna emas dan lampu gantung warna senada. "Wah luas sekali ruangannya." "Ya," ucapnya. "Kamarku ada dimana?" "Di lantai atas," tunjuknya. "Saya tidur sendiri kan?" "Pertanyaan bodoh," gumamnya, "mana mungkin suami istri tidur terpisah-pisah,' sungutnya sesaat dia melangkah menuju lantai dua dan aku mengikutinya. "Mama ... papa ... menantu kalian sudah datang," serunya kepada orang tuanya. Sesampainya di lantai dua aku kembali terpana melihat kemewahan interior ruangan yang kusumsikan mungkin adalah tempat menonton TV keluarga, karena ukuran tv layar datar tersebut sangat besar seukuran ranjangku di rumah. Lampu-lampu diset dengan pencahayaan yang romantis dan di sebelah kanan ruang keluarga ada mini bar yang di belakangnya ada lemari kaca yang berisi minuman dan wine mahal tersusun rapi. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan kedua orang tua Mas Aldi keluar dari kamar mereka. Mertuaku yang laki-laki mengenakan kacamata sedangkan yang wanita mengenakan celana pendek selutut dan baju kaos, mengenakan sandal bulu khusus di dalam rumah, senyumnya manis dengan potongan rambut pendek, ia menghampiriku dan mengisyaratkan agar aku duduk di kursi panjang itu. "Silakan duduk," katanya tersenyum. "Maaf, agak mendadak pernikahan kalian sehingga kita belum sempat bertemu dan berkenalan lebih dekat." "Iya Tante." "Seperti inilah rumah kami hanya rumah sederhana, Aldi punya dua adik perempuan Rena dan Alicia, nanti kau bisa berkenalan dengan mereka sepulang mereka dari kuliah." "Iya tante akan senang berkenalan dengan mereka," jawabku lirih. "Oh ya, kamar kamu di atas sudah disiapkan oleh pembantu kami, jadi kau bisa naik dan beristirahat bersama suamimu." "Baiklah, terima kasih Tante." Aku agak tertegun dengan respon dari keluarga bosku ini, kupikir tadinya akan ada tatapan sinis atau ucapan yang menghina kepadaku istri yang notabene dari keluarga miskin. Namun, ia terlihat biasa-biasa saja tidak terlihat bahagia ataupun tidak suka terlebih lagi ekspresi mertuaku yang laki-laki dia memilih tenggelam sibuk di layar ponsel tanpa menanggapi sedikitpun percakapan kami. Cuek sekali. "Silakan minum kopinya?" Ucap ibu mertua ketika seorang pelayan mengantarkan dua cangkir kopi manis dan 2 piring kudapan yang terlihat sangat menggoda dan lezat seperti kudapan di kafe-kafe mewah. "Terimakasih, Tante," jawabku sambil mengangkat cangkir kopi dan mengarahkannya ke bibirku untuk mengesap aromanya yang tercium di hidungku begitu menggoda sekali. Aku juga melihat ibu mertua dan ayah mertuaku mengangkat cangkir mereka namun ketika memandangku mereka menjadi saling pandang terlihat seperti ada yang aneh Kucicipi kopi mocca yang sangat kental dan creamy itu, namun sialnya kopi itu sangat pahit sementara aku sangat tidak menyukai makanan pahit, inginku lepehkan tapi malu dan sungkan di depan orang tua dan suami kontrakku. "Apakah manis sekali?" tanya ibu mertua sambil tersenyum. Aku menggeleng pelan dengan ekspresi yang sangat menderita, mereka tertawa sekeluarga. "Gimana nggak pahit itu gulanya aja belum dicampurkan." ibu mertua melirik bungkusan yang berbentuk batangan batangan bundar yang ternyata adalah gula. Omaigod! Malunya.Aku tahu, memilih Mas Aldi dalam hidupku juga bukan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus kuhadapi dengan sabar dan penuh kekuatan. Misalnya ibu tirinya yang hanya melihat uang sebagai sesuatu yang bernilai. Sedang hubungan dia dan Mas Aldi berjalan datar, terkesan berpura-pura baik dan dipaksakan agar nampak seperti ibu yang baik di depan suaminya.Aku tahu, adik-adik Mas Aldi akan mencibirku, begitu juga beberapa wanita yang pernah dekat dengannya, mereka tak akan berhenti untuk menggoda suamiku, sampai Mas Aldi kembali bertekutk lutut.*Kulangkahkan kaki, mencari pria yang menikahiku beberapa bulan lalu ke kantornya. Penampilanku yang hanya berkemeja kotak dan celana jeans serta sebuah tas selempang yang tersampir di bahu sangat kontras dengan tempat di mana aku berpijak saat ini.Resepsionis datang dan bertanya apa keperluanku--yang lusuh dan tidak elegan ini-- datang ke kantor mereka."Aku mencari suamiku," jawabku.Wanita berseragam rapi itu mengernyit, mungkin lupa ata
Aku ingin memilih sekarang dan mengakhiri kemelut cinta segitiga yang membuatku bingung memilih antar Mas Aldi atau Rizal. Terlebih ketika aku sudah berdamai dengannya beberapa saat tadi."Aku akan menyusul Mas Aldi malam nanti," gumamku setelah baru saja di antar olehnya pulang.Ketika masuk ke dalam rumah kudapati ibu sedang termenung sendiri di meja makan, wajahnya amat sedih dan sesekali ia mengusap deraian air mata di pipi."Ibu ... ibu kenapa?" tanyaku pelan sambil menghampiri dan menggenggam tangannya."Ibu hanya memikirkan bagaimana masa depan pernikahanmu Nadia, sedih sekali melihat ketika wanita sebayamu sedang berbahagia dengan rumah tangga mereka, sedangkan kamu terpisah dari suamimu sendiri dan berada di dalam ketidakpastian.""Sebenarnya aku sendiri yang membuat pernikahan ini berada dalam ketidakpastian, mudah untuk kembali dan berbahagia lagi tapi karena sakit hati aku membeli untuk berlarut-larut mendiamkan masalah ini. Tapi ibu tenang saja sekarang," jawabku pelan."
Selepas kepergiannya ada rasa kesepian yang tiba-tiba memenuhi dinding hatiku. Kemarin aku telah membencinya, berkali-kali muak padanya, tapi mendengar semua penuturan yang menyedihkan tadi, membuat sudut pandangku berubah dan seketika menjadi iba.Lalu bagaimana dengan perasaan hatiku yang tiba-tiba dicuri Mas Rizal dengan perhatian dan kelembutannya?Seharusnya tak kubiarkan ruang kosong di hati diisi cinta lain hingga statusku resmi menjanda, apa akibatnya sekarang setelah memutuskan jauh dari suami, kini aku dilema sendiri."Kalo kau mencintaiku maka tahanlah aku." Itu pintanya sesaat sebelum pergi.Aku tahu persis bahwa jika kali ini ia patah hati karena penolakanku, maka itu akan mengulang luka lama yang dia derita, sakitnya akan terbuka kembali, dan hatinya akan semakin ditutupi kegelapan abadi. Akan susah sekali untuk membuatnya tersenyum dan hangat lagi."Apa yang kamu lakukan Nak, kok kamu gitu sama suamimu?""Aku harus bagaimana, Bu?""Kenapa memutuskan berpisah sementara
Kususuri jalan trotoar dengan langkah gontai seolah-olah boneka, atau jasad yang tidak bernyawa. Hatiku terbelah menjadi dua dan aku tidak tahu harus kemana, suami dan pria itu, dua hal yang terus berputar dan menyita fokus otakku.Aku lelah memikirkan itu.Kubuka pintu, engsel berderit dan wajah tampan dengan cambang halus yang tumbuh di sekitar pipinya menoleh, menyunggingkan senyum manis yang tulus, senyum yang jarang kulihat ketika ia masih kanebo keringku, es batu yang melelehkan, ah patah hati mengingatnya Meski seni mencinta adalah cara paling mudah menyakiti diri sendiri, aku tetap melakukanny, dan tak pernah menyangka bahwa sakitnya akan seburuk ini. Bertubi tubi dan merenggut akalku.Kubuka pintu rumah, engsel berderit dan mengalihkan perhatian pria tampan dengan jambang halus yang mulai menumbuhi pipinya dia tersenyum memperlihatkan aksen paling manis di wajahnya, aksen yang jarang sekali kulihat ketika dia masih ku sebut sebagai kanebo kering milikku.Ah, kenapa aku bisa
Sedang sibuk menekuni semua tugas dalam memberi label pada hp yang sudah didaftarkan Imei-nya, tiba tiba pria yang selalu memiliki senyum hangat dan tatapan menggoda, datang dan meletakkan secangkir kopi dengan gelas kertas."Aku, udah merindukanmu dan memutuskan untuk langsung datang ke counter ini.""Tidak ada tempat untuk merindukan seseorang, ini adalah tempat penjualan HP," jawabku sambil tertawa."Sungguh aku tidak bisa mengalihkan diri dari memikirkan kamu," ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu menopang dagunya, menatapku lekat."Jangan melihat aku seperti itu, aku akan merasa canggung," jawabku tersenyum."Hei, aku tahu aku salah merindukan milik orang lain, tapi aku tidak bisa menepis perasaanku, Nadia," ujarnya dengan tatapan penuh keseriusan. Aku juga tidak mendengar sebuah kebohongan dari nada bicaranya."Iya, situasi ini memang tidak menguntungkan untuk kita,"jawabku sambil tersenyum dan melanjutkan pekerjaan."Mengapa reaksi mengubah begitu santai
Bangunkan pria yang tertidur di depan TV sambil menepuk bahunya."Hei bangun, Ini sudah pagi,"ujarku dengan kesal karena di jam 8 di saat matahari sudah terik dia masih saja tertidur pulas.Ia menggeliat sesaat lalu berusaha mengerti akan membuka matanya."Apa sih istriku? Seorang Istri membangunkan suaminya dengan mesra memeluk lalu menyiapkan secangkir kopi, tapi kau malah membentakku," keluhnya sambil kembali memeluk bantal guling dan memejamkan mata."Bangun dan berangkatlah ke kantormu Aku tidak mau disalahkan ibu mertua karena kau tertidur di sini dan kau lalai dengan tugasmu.""Mengapa kau memanggilku dengan panggilan kau' padahal sebelumnya kalau selalu menyebut ku dengan kata sapaan Mas dan saat itu amat merdu terdengar di telingaku, ada apa kau berubah sedrastis ini?""Aku sudah katakan sebelumnya bahwa sejak Kau mengusirku dari hidupmu aku putuskan untuk menghapus semua perasaanku.""Sebelumnya kau punya perasaan?" tanyanya sambil mengulum senyum."Tidak." Aku membuang muka