Share

Chapter 9 - Calon Anjing Ratu

“Namanya adalah Tumang.”

Semenjak Purbararang menceritakan pengalamannya bahwa ia telah kedapatan ditodong pisau oleh seorang pelayan kepada Indra Jaya, hari ini, demi mengawasi keamanan untuk tunangannya yang tersayang, … si putra Duke itu memilihkan ksatria muda yang sangat ia percaya talentanya, … karena dia adalah pengawalnya sendiri yang kerap kali menjadi lawan pelatihan semua aktivitas seni bela diri.

Menenteng pedang dan menempatkannya untuk menjadi tongkat tumpuan tumpukkan tangan, Indra Jaya yang dengan setianya memerhatikan hal detail kecil terkait gerak-gerik Purbararang dalam mengabaikan ksatria bersangkutan yang menekuk satu lutut bersama wajah menunduk di samping meja tempat minum teh, … tersenyum dengan lepas.

“Mulai hari ini, … dia akan menjadi pengawalmu, Rarang.”

Lama mendiamkan seorang laki-laki muda yang kelihatannya memiliki usia yang hampir sebaya dengan tunangannya, pada akhirnya … Purbararang tetap menggulirkan netranya ke orang yang memiliki nama “Tumang”.

Mata gelapnya yang menyipit dan menajam, menelisik setiap senti penampilan ksatria itu.

Tampaknya, dia memiliki setengah rambut bagian bawah berwarna hitam dan setengahnya lagi yang bagian kuncup sampai depan poni berwarna coklat karamel.

Ditambah lagi, dia juga mempunyai bola mata berwarna coklat tua yang dalam.

Mengerutkan kening dan lekas melemparkan pandangan yang heran kepada Indra Jaya, Purbararang pun bertanya.

“Apa dia dapat dipercaya?” ragunya, yang malah mendapatkan sebuah tawa kecil sebagai awal jawaban.

“Tentu saja,” sahut Indra Jaya tak lama kemudian. “Aku akan memberikan sesuatu kepada Rarang, dengan kualitasnya yang betul-betul … sangat-sangat baik, dari yang terbaik.”

Mengasongkan pedang bersarung lempengan perak berukir bintang di setiap permukaan, menandakan bahwa pedang itu memiliki simbol kepemilikan dari kediaman Jaya, … Indra Jaya berceloteh dengan nada yang ceria.

“Ini. Ambil dan lantiklah dia menjadi orangmu.”

Mengikuti saran dari tunangannya dengan mengulaskan senyuman tipis di wajah, Purbararang beranjak dari kursi dan langsung mencabut pedang dari sarung yang Indra Jaya pegangkan, … untuk seterusnya mengarahkan pedang itu ke samping wajah dan ke atas pundak sebelah kanannya Tumang.

“Bersumpah setialah kepadaku, Purbararang. Dalam melayani, melindungi, juga melakukan segala hal terkait kebutuhanku yang harus kau jalankan dengan segenap hatimu sampai ke titik di mana kau merelakan nyawa juga harta bendamu, … untuk melaksanakan segala tugas.”

Mengangkat wajahnya sampai seperempat dari mukanya supaya dapat bertatapan langsung dengan Purbararang tuk memperlihatkan keseriusan dari wajahnya, Tumang berikrar.

“Saya bersumpah, akan tetap berlaku setia terhadap Anda dalam waktu yang tak terhitung jumlahnya, sampai sepanjang masa, … Master.”

Tidak menyebut Purbararang dengan panggilan yang ditujukan untuk memanggil seorang putri, Tumang berinisiatif untuk memanggil tuan barunya ini dengan sebutan, “Master”.

“Anda adalah majikan Saya, dan Saya adalah bawahan Anda. Baik itu saat ini maupun pada hari-hari ke depannya, Saya akan senantiasa berada di pihak Anda.”

Dia menyebut “Master” kepada majikan muda yang di hari-hari ke depannya nanti, akan membuatnya mendapatkan sebuah gelar populer yang terkenal sebagai ….

Menerima pedang yang digunakan sebagai alat saksi pelantikan dengan mata yang menyorot dalam terhadap Purbararang, Tumang lekas merundukkan badannya secara patuh. “Master.”

… “Anjing Ratu”.

~•••~

SPLASH~!

Hari sudah silih berganti ke setahun yang baru lagi.

Purbararang yang merasa bahwa semakin hari semakin banyak pelayan yang dirasa ingin membuatnya kesal, kini melihat seseorang pelayan yang baru saja menabraknya sewaktu berdiri santai menikmati asrinya taman di waktu pagi, … sampai membuat gaunnya sebagian dibasahi oleh tumpahan panas cairan teh.

Jelas-jelas, jalan yang ada di sekelilingnya masihlah luas untuk dilewati.

Seseorang yang memiliki otak waras pun sudah pasti akan melihatnya dengan begitu jelas walau dari jarak lumayan jauh dalam jangkauan sekali pun, … bahwa ia saat ini tengah diam tak melakukan apa-apa dengan posisi tubuh yang tengah berdiri!

Mungkin, karena tadinya Tumang pikir maid itu akan datang untuk menghampiri juga mengasongkan teh di dalam nampan kepada masternya, Purbararang, … jadi, ksatria itu tak dapat mencegah kejadian mengesalkan ini akibat dari mengendurkan kewaspadaan.

“Katakan.”

Mengeluarkan suara orang yang merasa geram seraya memandangi pelayan yang saat ini bertekuk lutut di hadapannya tuk memohon ampun, … Purbararang melontarkan beberapa patah pertanyaan.

“Apa kesalahanmu?”

Mendengar suara yang berat lagi penuh penekanan, jelas membuat si pelayan yang terjerembap ke dalam lubang ketakutan, semakin merendahkan tubuhnya dalam meminta maaf sedalam-dalamnya sekaligus mengatakan kesalahan apa yang telah ia perbuat dengan tubuh yang bergetar juga menggigil secara hebat.

“S-saya telah mengotori g-gaun Anda, … Nyai Putri.”

“Apa kau tahu, butuh waktu berapa lama untukku menggantikan baju yang basah lagi bernoda jelas ini?”

“S-sa-saya dengar, … Anda rata-rata menghabiskan waktu selama tiga jam lebih untuk merias diri dan mengenakan set lengkap gaun y-yang roknya akan tampak besar bervolume, juga terlihat mengembang.”

“Lantas kenapa?”

Mengangkat satu tangan ke arah Tumang, Purbararang memandang rendah si pelayan.

Hal ini telah sukses menjadikan si pelayan merinding luar biasa!

“Kenapa kau tidak belajar dari kesalahan-kesalahan yang rekanmu telah perbuat di hari-hari kemarin? Dan meminimalisir kejadian serupa akan diperbuat olehmu?”

Sudah paham dengan apa yang masternya maksud dengan uluran tangan seperti ini, Tumang menundukkan kepalanya patuh dan lekas memberi alat penyerang lain yang sering ia bawa-bawa baru-baru sekarang selain dari pedang.

Dia mengasingkan sebuah alat pecut, yang sering juga disebut sebagai cambuk.

“Atau kau ingin aku hukum terlebih dulu, baru akan sadar kalau kau tidak seharusnya melakukan kesalahan itu, hah?!”

“T-tidak. Ampun … a-ampuni saya Nyai Putri.”

Rahangnya langsung mengeras begitu kata-kata yang sama itu kembali terdengar ditelinganya seperti sebuah pengulangan walau masih terus ada saja yang mengucapkannya tanpa niatan untuk berhenti tuk introspeksi, … Purbararang mengayunkan tangan, mulai memecut punggung bergetarnya si pelayan yang tampak menyedihkan.

Makin hari makin liar akan menjatuhkan hukuman terhadap pelayannya yang rata-rata mulai pada membuatnya tidak senang, … sebuah gosip lemah yang berdampak besar terhadap citra Purbararang di ranah istana kerajaan, kini malah menjadi membuatnya semakin memburuk.

Dari mulut ke mulut, para pelayan menggunjingkannya sebagai seorang putri yang begitu kejam.

Bahkan, gunjingan yang pedas ini pula sudah sampai ke masing-masing telinga para putri, para selir, sang ratu, … juga rajanya sendiri.

Ini sebuah keminusan yang begitu fatal!

Dikarenakan, akibat yang diterima oleh Purbararang atas tidak bertanggungjawabnya kabar rendahan dari gosip yang murahan itu, pandangan ratu juga raja terhadapnya … mulai berubah.

Kecewa dengan putri sulung mereka yang terasa telah mulai berubah, … kedua pemimpin kerajaan Pasir Batang ini memutuskan untuk berbalik.

Mereka menolehkan kepala dan menghadapkan badan dalam membelakangi Purbararang, untuk kemudian menatap secara lurus terhadap seorang putri lain yang ada di hadapan.

Mata mereka betul-betul terfokus hanya untuk melihat putri yang berlaku sehangat sinar mentari, calon pemimpin yang sekiranya akan sangat bagus dalam memimpin kerajaan di masa depan.

Putri itu adalah, … Putri Purbasari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status