Share

Chapter 8 - Ada Kupu-kupu Di Perutku!

Ah.

Padahal, dahulu sekali, … yang sering kali membuat pasangannya menjadi salah tingkah hanya karena saling berkontak fisik ringan itu adalah Purbararang.

Tetapi, lihatlah saat ini.

Waktu telah cepat sekali berlalu, … untuk memaksa tugas membuat tersipu salah satu orang dari sepasang tunangan tersebut, beralih menjadi kepada Indra Jaya.

Seakan-akan terbuai oleh efek rindu yang mendalam, … kedua sejoli muda-mudi ini menari di bawah lampu gantung yang dapat menyinari sorot yang berarti dari mata mereka, dengan masing-masing maniknya menampakkan pandangan yang penuh akan rasa nostalgia.

Seolah-olah peri cinta datang dan memberkati mereka berdua dengan melontarkan masing-masing satu anak panah untuk menembus hati mereka, keduanya … tak bisa untuk tidak berhenti menyimpulkan sebuah senyuman yang malu-malu, … walau otot-otot di pipi saja sudah menjadi pegal sekali pun.

“Apakah aku dapat mempercayai apa yang dilihat oleh mataku ini?”

Melihat tarian yang ditarikan pasangan tunangan muda itu, seluruh bangsawan yang tadi hanya tertarik tuk mengerubuti putri selain Purbararang, langsung melongo saking terpesonanya akan pemandangan yang menentramkan.

“Langkah yang ringan! Mereka seperti sedang menari di atas awan!”

“Hei! Ini patut untuk diabadikan!”

Lagi dan lagi, seolah-olah tidak peduli dengan keadaan sekitar, dan hanya terfokus saja ke dalam dunia yang mereka damba, baik Indra Jaya maupun Purbararang … tak mampu memalingkan pandangan dari mata mereka untuk beralih melihat hal yang lain selain dari manik mata indah milik satu sama lain.

“Aku tahu kalau kamu ingin menghabiskan waktu berdansa yang lumayan lama denganku. Tetapi ingatlah, … Indra.”

Mencoba melepaskan tangannya yang masih digenggam dengan erat oleh Indra Jaya walau lagu waltz sudah selesai sekali pun, Purbararang mencoba mengingatkan tunangan yang ingin menempel kepadanya seperti lem ini, … dengan suara sedikit bergetar karena bersikeras tuk menahan tawa mengekeh.

“Aku harus berdansa dengan yang lain juga. Apalagi Ayahku.”

“Tidak.”

Tersenyum nakal dan melingkarkan satu lengannya tuk mengunci pinggang Purbararang, dan langsung mendekatkan sang gadis idamannya tuk datang ke dekapan, … Indra Jaya berbisik pelan.

“Tidak boleh,” ujarnya, menggelitik hati Purbararang sampai merasa ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut.

“Laki-laki yang dapat berkontak fisik denganmu, meski itu hanya berpegangan tangan sedikit pun, … hanya boleh aku saja.”

“Hei, ayolah!”

Merasa geli, Purbararang tak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya sambil memukul-mukul pelan dada Indra Jaya akibat terlampau senang.

Terkekeh sebentar atas tindakan menggemaskan dari putri pembawa keceriaan dalam hidupnya, Indra Jaya menangkap tangan yang kini jauh lebih kecil dari tangannya dibandingkan sewaktu mereka masih anak-anak, … kemudian segera menggerakkan bibirnya kembali dan berkata.

“Rarang, aku serius!” serunya berusaha meyakinkan, sambil menatap lamat-lamat manik mata hitamnya Purbararang.

Bukannya tambah tersipu melihat keseriusan di wajah Indra Jaya dalam beberapa masa, … hal itu malah mendorong Purbararang untuk kembali tertawa.

“Oh, kamu masih belum mempercayainya? Apa kamu ingin aku membuktikannya?”

“Ya, ya. Terserah kamu saja. Aku sebetulnya kurang memedulikannya.”

Menjawabnya dengan selingan tawa yang terdengar bodo amat, Purbararang membalikkan genggaman tangan pemuda itu supaya kini menjadi dirinyalah yang mencekal tangan besar milik tunangannya tersebut, dan lekas menempatkannya di pipi miliknya yang sebelah kiri.

“Karena yang kupedulikan saat ini ialah, ….”

Menjeda kalimatnya sejenak, Purbararang membuka telapak tangan Indra Jaya di samping pipi, seterusnya melabuhkan sebuah kecupan ringan di sana.

CHUU~❤️

“… Perhatianmu?”

Dan hal itu, … sukses menjadikan Indra Jaya kembali ke setelan awal.

Tersipu berat dengan telinga memerah sangat, seakan-akan hendak meledak kapan saja!

~•••~

Pesta debutan hari ini memang sangat melelahkan.

Pulang ke kediaman istana para putri lebih awal dari yang lain, dan segera menuju ke kamarnya sendiri tuk segera beristirahat tanpa ditemankan oleh seorang ksatria pengawal atau pula pelayan pribadi, … Purbararang disambut oleh sebuah kejutan kecil yang tak akan pernah ia duga bisa mendapatkannya di hari yang membahagiakan ini.

“Apa yang kau lakukan …?”

“Gasp!”

GRINCING!

Cincin berhias batu rubi, kalung dengan cantelan liontin batu safir, anting-anting bermata batu zamrud, beserta perhiasan-perhiasan lain yang terbuat dari intan juga permata murni, … jatuh bergemerencang ke lantai, dengan sebagiannya maju secara menggelinding mendekati sepatu Purbararang.

Menatap horor seorang pelayan perempuan dari ambang pintu yang barusan ia buka, telah menampakkan sesosok orang tak tahu malu itu tengah berusaha mengarungi semua perhiasan miliknya dari kotak ke dalam saku celemek putih, … Purbararang mengeluarkan suara yang berat.

“… Dengan perhiasanku?”

“… Heuk! Sa-saya!”

Tercekat bersama menunjukkan raut muka yang ketakutan dengan sangat, begitu tergurat di wajahnya yang bercucuran keringat dingin.

Setiap kali melihat Purbararang mulai mendekatinya selangkah demi selangkah, pelayan yang masih berusaha mencuri secara terang-terangan di depan pemilik benda yang ia curi sambil berusaha mencari celah kesempatan untuk melarikan diri, … mulai mengancam sang putri yang seharusnya ia layani, dengan pisau lipat yang ia munculkan dari balik rok seragam maid.

“Berani-beraninya kau …!”

Mengerutkan keningnya kesal dan langsung berjalan secara cepat kemudian memelintir tangan si pelayan dalam gerakan kilat seperti sudah terlatih, … Purbararang menjatuhkan sebuah tamparan pelak di pipi pelayan itu, sampai-sampai membuatnya berakhir dengan tersungkur di lantai.

“Berani-beraninya kau menodongkan benda itu padaku! Apa kau orang yang tak tahu malu?! Dan juga ….”

Merundukkan badan, menengok pelayan yang masih terus menundukkan kepalanya sambil memegangi perihnya bekas tamparan di pipi, … Purbararang bertanya dengan ekspresi yang garang.

“… Kenapa kau berusaha mencuri semua perhiasan pemberian dari Ayahku? Bukankah para pelayan yang ada untuk melayaniku ini tahu, kalau aku paling menghargai kotak perhiasan ini karena memiliki kumpulan-kumpulan hadiah ulang tahun dari Ayahku?!”

“Sa-saya minta maaf.”

“… Hah?!”

“S-s-saya minta maaf, Nyai! Saya benar-benar minta maaf!”

“….”

Terdiam dengan kening yang masih mengerut melihat pelayan calon pencuri itu merendahkan bidak tubuhnya sampai ke titik bersujud juga hendak mengecup kakinya ini, … Purbararang yang tadinya sudah berharap pulang-pulang akan langsung beristirahat, memijit pelipisnya dan menghela nafas lelah.

“Katakan. Siapa namamu?”

“Sa-sayuti, Nyai Putri.”

“Oke, Sayuti.”

Beranjak berdiri, menunjukkan secara tidak langsung bahwa derajatnya ini jauh lebih tinggi dari seorang pelayan semacam Sayuti, Purbararang memberi keringanan.

“Aku memaafkanmu kali ini, tapi, jika kau nanti kedapatan mengulangi kesalahan yang sama lagi, ….”

Kembali menggerakkan otot-otot di wajahnya tuk membentuk sebuah ekspresi, Purbararang mempertontonkan pelayan itu akan raut mukanya yang penuh penekanan.

“… Aku tak akan pernah segan-segan untuk menghukummu dengan hukuman yang sudah ada!”

Hukum yang dibicarakan oleh Purbararang saat ini adalah, … majikan dari seorang pelayan berhak memberi hukuman sesuai keinginannya terhadap budak atau pelayan yang telah berbuat kesalahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status