Diana terbangun di kamarnya dalam keadaan kedinginan dan kelaparan. Ini dunia vampir, tentu saja dia tidak akan bisa menemukan makanan manusia di sini, kemarin saja yang dia makan hanya sebuah apel.
Tentu saja sebutir apel tidak akan cukup untuk memenuhi rasa laparnya, dan kastel yang terletak di dalam Hutan Silver dengan rimbunnya pepohonan ini membuat udara menjadi semakin dingin, membuat rasa laparnya semakin menjadi-jadi.
"Apa aku juga harus meminum darah manusia sekarang? Ini tandanya aku berubah jadi vampir bukan?" batin Diana, namun dengan cepat dia mengenyahkan pikirannya.
"Baiklah, aku akan berkeliling. Lagi pula... apa ini?" gumam Diana merasakan sentuhan kain bertekstur di kakinya. Ia mengambil kain-kain tersebut dan memperhatikannya dengan saksama. "Pakaian...?"
"Ini terlihat indah dan glamor. Apa vampir selalu mengenakan pakaian seperti ini?" tanyanya mengingat Rai juga mengenakan pakaian yang terlihat mewah dan glam
Gail lalu memperhatikan lembaran foto-foto yang ada di tangannya. Seorang wanita yang cukup berumur, seorang wanita dan laki-laki, rumah yang cukup besar, dan rumah lain yang dipenuhi oleh para wanita. Gail lalu mulai menjelaskan foto-foto tersebut, satu demi satu. "Wanita ini adalah Lisa Periska, ibu dari Diana," ucap Gail menjelaskan foto pertama. "Suaminya sudah lama meninggal. Dia mempunyai dua anak lain, Vina adalah anak pertama dan Edison adalah anak kedua," lanjutnya menjelaskan foto yang kedua. "Mereka tinggal di sebelah utara kota, dan inilah rumah mereka, cukup besar untuk keluarga dengan peringkat ke enam," jelasnya untuk foto yang ketiga. "Peringkat...?" tanya Al. "Kau mungkin sudah lupa, jadi akan aku ingatkan kembali. Peringkat yang aku maksud adalah sebuah peringkat berdasarkan kekayaan dan juga kekuasaan. Dengan kata lain, keluarga Diana merupakan keluarga yang cukup terhormat di kota ini. Dia dan keluarganya b
Gail menganalisis perkataan Al, "Wanita ini menjadi makanan kalian. Seharusnya dia mati setelah kalian menghisap darahnya. Tapi sebaliknya, dia tetap hidup? Begitu maksudmu?" ujarnya memperjelas keadaan. Josh, “Sepertinya memang benar.” Annie, “Jadi kalian melanggar aturan?” Al diam tidak merespons. Penjelasan Gail adalah benar adanya, namun ia memilih untuk tidak mengungkapkan faktanya. Tanpa sepatah kata pun, Al langsung beranjak dari kursinya dan mengambil barang-barangnya, berniat untuk pergi. Gail melemparkan sesuatu padanya, "Kau memakannya juga?" tanyanya. Josh, “Tentu saja tida, dia hanya pemburu yang memberikan buruannya pada Tuannya. Dia tidak akan memakan apapun karena Tuannya menghabiskan segalanya.” Al pun menunduk, mengambil selembar foto yang jatuh tepat di hadapan kedua kakinya, "Tidak,” jawabnya singkat. "Selain Diana, wanita itu juga menghilang," ucapnya menjelaskan foto kelima yang dia lempar
"Bu, apa ini?" Gail memperhatikan satu botol kecil berwarna merah di tangannya. "Di mana kau menemukannya?" "Di sini," jawabnya menunjuk meja yang tadi digunakan Al untuk menaruh barang-barangnya. Ann berdecak, “Vampir itu, dia seakan tidak sudi menambah satu beban lagi, tapi dia tetap saja memberikannya," lalu Josh merebut botol. "Apa isi botol itu?" tanya Gail kembali. "Racun," balas Ann. "Kembali bekerja, biar Ayah yang simpan," Josh pun pergi ke lantai dua. Gail menunjukkan mimik wajah curiga, dia tidak percaya apa yang dikatakan ibunya. Dengan wajah yang serius dia bertanya, "Apa aku harus mencari tahu sendiri?" Ann terkekeh geli, "Gail... aku yakin kau tidak akan menemukan jawaban apapun, kecuali kau mencarinya di Kastel Haltz di pedalaman Hutan Silver sana. Lagi pula Ibu tidak berbohong.” *** Waktu baru menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi Kastel Hal
Sudah hampir sejam Rai mencari keberadaan wanita itu. Dia dengan jelas bisa mencium baunya, tapi Rai sama sekali tidak menemukannya. Ini seperti baunya hanya melayang di udara tanpa ada pemiliknya. "Kenapa juga aku harus mencarinya!!?” Sementara Ika dan Iki kembali mencari di taman belakang. Ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh mereka kompak menoleh dan mendapati Diana sedang membersihkan bajunya. "Kak Diana!!!" pekik mereka berlari menghambur ke Diana, dan wanita ini memeluk mereka dengan wajah bingung. "Kami mencari kakak dari tadi, kami kira kakak dibunuh oleh Kak Rai," jawab Ika terlalu jujur. "Kakak baik-baik saja? Kenapa pergi dengan kaki terluka seperti ini?" timpal Iki. Diana
"Yang Mulia Robert! Anda mau pergi ke mana?" Yang dipanggil terus saja melangkahkan kakinya tanpa berniat berhenti. "Kau saja yang jadi Yang Mulia! Aku tidak mau!" sahutnya. "T-tidak bisa! Anda tidak boleh mengatakan sesuatu seperti itu!" "Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Jadi apa yang diperbolehkan!?" emosinya. "Apapun. Selama tidak melanggar peraturan." "Persetan dengan peraturan! Akan aku langgar peraturan yang ada!" ikrarnya dan melangkah jauh lebih cepat. "Yang Mulia! Yang Mulia Robert! Tunggu! Bagaimana dengan acara perjodohannya?" "Kau saja yang menikah dengannya!" jawabnya dan menghilang bagai ditelan bumi. *** Pria ini terus saja berlari dengan kecepatan penuh. Dengan lihai, ia melewati semua rintangan yang ada tanpa kendala. Melihat dari cepatnya ia berlari, sudah pasti dirinya bukanlah seorang manusia. Jika mendengar dari seseorang yang
"Al... Apa Kak Diana akan baik-baik saja?" tanya Ika. "Kak Rai sedang dalam suasana hati yang buruk, aku saja bahkan tidak bisa menjamin jika Kak Diana akan baik-baik saja," timpal Iki dan Al hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja sejak tadi. "Dan kenapa kau ada di sini?" tanya Iki sebal. "Aku? Tentu saja mencari kedamaian," jawabnya. "Lebih baik kau bantu Kak Diana, Al.” Al menggeleng, "Terima kasih banyak, tapi aku masih ingin hidup lebih lama. Al sangat mengetahui jika sekarang dia menemui Rai apalagi membantu Diana sudah pasti dia yang akan dijadikan kambing hitamnya. Tapi dia memang tidak ada niatan membantu manusia ini, tidak ada keuntungan baginya jika melakukannya. Terlebih di matanya, Diana tidak lebih dari orang yang akan merepotkannya dimasa mendatang. *** Diana menaruh barang-barang belanjaan di atas meja dapur, dan langsung saja membongkar semua isinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Al, menyadari tangan Rai yang diperban. “Selama aku di sini, aku tidak pernah sekali pun melihatmu memakai perban. Untuk apa kau memakainya?" sambungnya merasa heran. "Entah," balas Rai tidak jelas. “Huh? Entah...? Kau pikir perban ini akan melilitkan dirinya sendiri ke tanganmu seperti ular?” “Mungkin.” Al langsung memutar bola matanya, merasa jengah dengan jawaban abnormal yang sejak tadi dilontarkan oleh vampir di hadapannya. *** Kevin, nama panggilan akrab dari seorang Yang Mulia Robert, sedang berada di atas pohon, bersantai dengan makian yang terus menerus keluar dari mulutnya ini. "Ahh... Aku lapar!" erangnya sambil memegangi perut. "Sial! Aku ini bukan vampir, seharusnya aku merasa haus bukan lapar," ocehnya lagi lalu mengelus lehernya seperti merasa kehausan yang teramat sangat. "Seharusnya aku pergi setelah makan.
Di atas batang-batang pohon yang basah ini, Kevin masih menikmati waktu santainya dengan bersenandung. Hampir sama dengan tempat asalnya yang dipenuhi oleh salju, bedanya di sini tidak membekukan dan hanya terasa dingin karena udara yang lembap. Dia terus saja bersenandung tidak jelas seraya menghirup udara yang akhirnya tidak membuat hidungnya terasa kering. "Menjadi vampir pengembara ternyata tidak seburuk yang aku kira," ucapnya. "Bahkan ini lebih baik dari tempat beku sialan ini dan—" Kevin bernapas dalam-dalam, "—aku suka bau Bunga Lily ini. Manis," ungkapnya. Embusan angin membelai rambut merah panjang miliknya, helai-helai rambutnya terbang menggantung di udara. Suasana ini begitu sayang untuk ditinggalkan, terutama dengan bau semanis ini. Membuatnya semakin lapar. Perlahan, iris matanya yang berwarna cokelat gelap berubah warna menjadi merah darah. "Tunggu dulu!" Kevin bangkit dari tidurnya dan memasang wajah serius.