LOGINMalam ini adalah malam tahun baru, saat semua orang merayakan pergantian tahun, 2019 ke 2020. Namun di laut lepas, sekitar lima puluh kilometer dari pusat kota Metropolis, sebuah kapal nelayan kecil terombang-ambing di tengah badai dahsyat. Perahu kecil milik Norman Ferdian terangkat tinggi, dihantam gelombang hingga terbalik. Di atasnya ada dirinya dan putranya yang baru berusia empat belas tahun. Dua hari sebelumnya mereka berlayar menangkap ikan, berharap kembali tepat waktu untuk merayakan tahun baru, namun takdir berkata lain. Ketika Nathan tersadar, tubuhnya basah kuyup dan terasa berat. Ia terbaring di pasir dingin sebuah pantai asing. Di sampingnya terbujur kaku sosok ayahnya, Norman Ferdian. Tak lagi bernapas, tak lagi bergerak. Wajah Nathan memucat, tangannya gemetar memegang tubuh ayahnya. Tangisnya pecah, diiringi angin laut yang pekat. Di sekitar, ia melihat sebuah wilayah yang gelap, sunyi, liar, asing. Tidak ada tanda manusia, hanya ombak dan ranting patah dipukul angin. Ia tidak tahu di mana ia berada, dan ketidaktahuan itu membuatnya semakin takut. ... Lima tahun berlalu. Di lautan sekitar pulau terpencil itu, kapal nelayan perlahan mendekat. Asap tipis dari tengah pulau menarik perhatian mereka. Pulau itu dikenal sebagai pulau misterius yang berbahaya, katanya tidak berpenghuni, menyimpan banyak kisah orang hilang. Tiba-tiba seorang pemuda lusuh berlari menuruni bukit. Tubuhnya kurus namun berotot, pakaian compang-camping, rambut panjang dan janggut lebat, memegang busur sederhana. Ia menembakkan panah api ke tumpukan kayu kering, menyalakan api unggun besar sebagai sinyal bagi kapal. Para nelayan terkejut. Nathan menunjukkan kartu identitas ayahnya dan makam Norman di pinggir pantai. Mereka mengerti bocah ini bukan pembohong. Dengan hati berat, mereka mengajak Nathan naik kapal. Nathan menatap pulau itu, mata yang tidak lagi sama. Lima tahun di tempat ini bukan hanya membuatnya bertahan, tapi mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nathan? Bagaimana ia bisa bertahan selama lima tahun di pulau liar itu?
View MoreHari ini, Jum'at tanggal 27 Desember 2024. Pukul 17.39 Waktu kota Metropolis.
Sebuah kapal nelayan besar berwarna biru-putih melaju pelan di lautan, tulisan Smith Family Corp. terukir besar dan indah di pinggir kapal. Sekitar lima belas orang nelayan ikut berlayar di kapal itu. Empat orang dengan penampilan rapi berdiri di dek, menatap ke arah pulau yang dikenal penuh misteri. Pulau itu selalu menyimpan banyak cerita mistis, dari kapal hilang hingga suara-suara aneh di tengah malam. Seorang pria paruh baya menunjuk ke atas bukit pulau. “Lihatlah, ada asap mengepul di sana… mungkinkah itu manusia?” ucapnya sambil menyipitkan mata. Semua orang menatap, tapi seorang lain, dengan nada meremehkan, berkata, “Tidak mungkin itu manusia, Franky. Pulau ini misterius, bahkan pasukan elit Metropolis enggan menjejakkan kaki di sini. Bagaimana mungkin ada seseorang di sana? Ayo kita kembali, matahari hampir tenggelam dan kabut biasanya menutupi perairan ini.” “Paul benar, ayo segera putar balik,” sambung seorang lain. Mereka saling berpandangan, namun pandangan mereka terus tertuju ke kepulan asap yang perlahan bergerak di atas bukit. ... Di puncak bukit, sesosok pemuda lusuh muncul tiba-tiba. Rambutnya panjang dan acak-acakan, janggutnya lebat, pakaiannya compang-camping dan kakinya telanjang. Tubuhnya kurus namun berotot, otot-ototnya tampak jelas saat ia menegakkan badan. Mata tajamnya menatap ke arah pantai, ke arah kapal besar yang kini semakin mendekat. Matanya seperti elang, menilai setiap gerakan di bawahnya. Dengan kecepatan luar biasa, ia mulai berlari, melompat di antara pohon-pohon, menuruni bukit hampir seperti harimau yang sedang memburu mangsanya. Debu dan dedaunan beterbangan di belakangnya, namun pemuda itu tetap gesit dan seimbang. Sesampainya di tebing, ia berhenti sejenak, menatap tumpukan kayu bakar di pinggir pantai. Ia menghirup tarikan napas panjang, lalu ia memasang anak panah api ke busur sederhana di tangannya. Dengan sekali gerakan, panah itu dilepaskan. Panah itu melesat menembus angin, mendarat tepat di tengah tumpukan kayu, dan seketika api unggun besar menyala. Api itu menari-nari, mengepul tinggi ke udara, mengejutkan para awak kapal yang menatap dari dek. ... Di kapal, seorang pemuda berseru dengan cepat, “Paman Smith! Paman Oskar! Ayah! Lihat! Ada yang menyalakan api unggun di pinggir pantai!” Ketiga pria itu menoleh dan langsung menyadari keberadaan api unggun itu. Franky Hudson segera memberikan perintah, “Billy, cepat perintahkan kru kapal mengarahkan kapal ke sana! Mungkin saja ada orang!” Paul Oskar dan Brian Smith mengangguk setuju, dan kapal mulai mendekat ke pantai dengan hati-hati, arus laut yang gelombangnya mulai menenangkan sedikit namun tetap berbahaya. Saat kapal mendarat, hanya empat orang yang turun: Franky, Paul, Brian, dan Billy. Mereka menatap pemuda lusuh yang kini berdiri di hadapan mereka, tubuhnya tegap dan matanya yang tajam menembus mereka. Pemuda itu menatap balik, tidak bergerak, seolah menilai manusia yang baru muncul di hadapannya. Wajahnya tampak keras dan liar, penuh dengan pengalaman yang sulit dibayangkan. Empat orang itu terdiam, ragu dan waspada. Penampilan pemuda itu menunjukkan ia bukan orang biasa. Namun di matanya, ada juga kilatan sesuatu yang sulit dijelaskan: keberanian, keteguhan, dan rahasia yang tak seorang pun bisa menebak. Mereka saling bertukar pandang, dan dalam hati masing-masing muncul pertanyaan yang sama: siapa pemuda ini? Dan bagaimana ia bisa bertahan hidup di pulau misterius itu sendirian? Pemuda lusuh itu tidak segera bicara. Ia menatap tumpukan kayu yang masih berasap, lalu menoleh sekali ke arah laut, seolah menandai wilayahnya. Angin malam bertiup kencang, ombak menghantam pantai, dan di tengah semua itu, satu hal jelas: pertemuan ini hanyalah awal dari sesuatu yang besar. Keberadaan pemuda ini, mungkin adalah jawaban dari beberapa misteri besar yang akan segera terungkap. ... Hampir setengah jam berlalu. Pemuda lusuh itu sama sekali tidak bicara. Ia hanya melangkah perlahan ke arah empat nelayan yang turun dari kapal, kemudian menyerahkan sesuatu. Franky yang berada paling dekat segera mengambil benda itu dan menatapnya. Sebuah kartu identitas tua berada di tangannya, lusuh dan basah, namun masih terbaca jelas. Franky membuka kartu itu perlahan dan membaca nama yang tertulis di dalamnya dengan suara nyaris bergetar, “Norman Ferdian… aku sedikit familiar dengan nama ini… bukankah… bukankah ini pria yang hilang bersama putranya lima tahun lalu?” Semua orang menoleh, pandangan mereka beralih dari Franky ke pemuda lusuh itu. Sosoknya tetap diam, mata tajam menatap balik, penuh kewaspadaan dan keteguhan. Mereka berempat saling berpandangan dan serempak berteriak, “Jangan-jangan…” Paul, yang paling tua dan paling cepat merespon, menunduk sedikit, menatap pemuda itu dengan hati-hati. “Nak… apakah kau ini putra Norman?” tanyanya cepat, penuh rasa ingin tahu dan haru. Pemuda lusuh itu hanya mengangguk pelan. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, namun anggukan itu membuat semua orang menyadari kebenaran perlahan. Paul, yang semakin gembira dan tak sabar, mencoba melangkah mendekat dan merangkul pemuda itu. Namun respons Nathan membuatnya berhenti seketika. Pemuda itu memasang tatapan tajam, menegakkan tubuhnya, seolah memasang pertahanan. Hawa liarnya yang selama lima tahun di pulau itu membuatnya tidak mudah didekati. Paul mengurungkan niatnya, menghormati batas yang dipasang Nathan. Brian, mencoba menenangkan suasana, melangkah lebih dekat dengan gestur ramah. “Tenang nak, kami tidak berniat buruk. Jika kau ingin kembali, kami bahkan bersedia membawamu pulang bersama kami. Tapi… di mana ayahmu?” Nathan menoleh sebentar, kemudian menunjuk ke arah gundukan tanah di pinggir pantai. Di atasnya terdapat sebuah batu sederhana bertuliskan Norman Ferdian. Hati para nelayan mencelos. Senyap sejenak, hanya terdengar hembusan angin dan debur ombak. Billy, yang merasa harus memberi bantuan, melepas jaketnya dan menaruhnya di bahu Nathan. “Teman, apa kau bisa bicara? Bolehkah aku tahu siapa namamu?” Pemuda lusuh itu menatap mereka dengan mata yang masih waspada, lalu mengangguk pelan. “Namaku… Nathan Ferdian,” jawabnya singkat, suaranya terdengar berat namun tegas, menandai keteguhan seorang anak yang telah bertahan hidup dalam kerasnya alam liar. Paul tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. “Baik… mari kita kembali ke kota. Keluargamu pasti senang saat tahu kau kembali,” ucapnya dengan suara penuh haru. Nathan hanya menatap kapal dan kemudian sekelilingnya sekali lagi, memastikan semuanya aman sebelum perlahan-lahan melangkah mendekati mereka. Tubuhnya kurus namun terlihat kuat, gerakannya tetap lincah, mencerminkan kekokohannya yang mampu bertahan selama lima tahun hidup di pulau liar. Keempat nelayan itu menatapnya dengan campuran takjub, heran, dan hati yang mulai merasa lega. Mereka baru saja menyadari bahwa apa yang mereka temukan bukan sekadar seorang pemuda hilang. Nathan Ferdian telah kembali dari sebuah pulau yang bahkan keberadaannya saja misterius. Dan Nathan, tanpa sepatah kata lagi, hanya berjalan ke arah kapal, membawa rahasianya yang telah membentuk dirinya selama lima tahun di pulau itu, rahasia yang siap mengubah hidupnya, dan mungkin, kehidupan semua orang yang menatapnya malam itu.Saat itu Nathan menyadari kalau dia kini sebatang kara. Kedua orang tuanya telah pergi untuk selamanya. Nathan berteriak dan menangis sejadi-jadinya. ... Kembali ke tahun 2024... Di dalam mobil Billy, mata Nathan mulai berkaca-kaca. Ia menghadap keluar jendela, namun dalam hatinya kini bercampur antara rasa bahagia, nyaman, tapi juga sedih, cemas, dan gundah menjadi satu. Semua orang hanya diam. Sarah dan ayahnya duduk di belakang Nathan, dan tiga gadis di kursi paling belakang hanya mencuri pandang ke arah Nathan lewat kaca spion di atas kursi pengemudi. Setelah satu setengah jam, mobil Billy mulai memasuki daerah pedesaan. Sekitar sepuluh menit lagi, mereka akan sampai di desa Amaris, tempat tinggal mereka. "Kawan, apa kau baik-baik saja?" tanya Billy. "Aku baik, Bil. Bisakah mulai sekarang kau memanggil namaku saja? Kita ini saudara, kita harus berusaha lebih dekat mulai sekarang." "Baiklah, Nath. Bagaimana? Panggilan itu cocok tidak?" canda Billy. "Cocok, kau bol
Nathan hanya terdiam, menatap ke arah ayahnya dengan tatapan bingung dan rasa ingin tahu. "Ayah hanya ingin mengatakan, jika nanti kita sudah pulang, ayah akan membawamu kepada kakekmu. Sudah saatnya kalian saling mengenal dan memahami satu sama lain. Kau harus ingat nak, sejauh apa pun kau melangkah di masa depan, jangan pernah melupakan keluarga. Kau mengerti?" "Mengerti ayah," sahut Nathan cepat. "Bagus! Dan satu hal lagi nak, di Desa Amaris, aku hanya memiliki dua keluarga, yaitu bibimu Sarah dan Paman Kevin. Jadi jangan sekali-kali kau perhitungan dengan mereka berdua dalam hal apa pun. Ayah dan Paman Kevin itu adalah sahabat sejak kecil, sampai sekarang kami bahkan bekerja bersama. Jika suatu hari terjadi sesuatu pada ayah, kau harus tetap bersikap baik pada mereka. Mengerti nak?!" "Iya ayah, aku akan mengingat perkataan ayah dengan baik." "Bagus sekali. Lagi pula Bibi Sarah itu juga adalah calon mertuamu di masa depan, jadi kau harus baik-baik padanya. Jika tidak, dia
Sementara itu... Dalam perjalanan kembali ke Desa Amaris, mobil Billy melaju dengan kecepatan sedang, memberi kesempatan pada Nathan untuk mengamati pemandangan di sekitarnya. Nathan bisa melihat jika selama lima tahun kepergiannya, kota Metropolis telah banyak berubah, kota itu terasa semakin muda sementara ia merasa dirinya mulai tumbuh semakin dewasa. Nathan menatap gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan, ia merasakan kenyamanan yang tak bisa ia jelaskan, saat bisa kembali ke kota dan desa tempat kelahirannya, sementara di sudut lain hatinya ada rasa penyesalan luar biasa yang memberinya beban yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. ... Lima tahun lalu... 29 Desember 2019 pukul 20.00 "Nathan, kamu letakkan barang bawaanmu di sana, ikat ke tiang agar tidak bergerak saat perahu bergoyang. Lalu ambil rompi pelampung di sana dan pakailah satu untuk berjaga-jaga. Siapa tahu tiba-tiba badai datang. Jangan lupa setelahnya kamu tutup pintu itu lagi supaya rompi yang tersisa tet
"Sebentar kakek, apakah kakek membawa uang?" tanya Nathan tiba-tiba. "Iya nak, aku bawa. Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Reynand dengan tatapan penuh cinta kepada cucunya itu. "Kakek, seseorang telah menyelamatkan aku, dan memberi tumpangan dari pulau asing tempatku terdampar hingga aku bisa kembali dengan selamat. Tolong berikan kompensasi pada mereka. Aku tidak mau memiliki hutang budi." Mendengar ucapan cucunya, Reynand segera mengeluarkan sebuah kartu bank berwarna emas, dan menyerahkannya pada Nathan. "Ini nak, di dalam kartu ini ada uang tiga ratus miliar, apakah itu cukup? Jika kurang kakek akan berikan yang lain." "Sudah kakek, aku rasa ini sudah cukup, tapi jika kurang biar nanti mereka menghubungi kita lewat Billy." "Benar nak, katakan pada mereka, jika kompensasi itu kurang, mereka bisa menghubungi kita lagi." Nathan lalu berjalan ke arah kedua utusan Brian dan berkata, "Kami tidak akan kembali ke kediaman keluarga Smith. Tolong berikan kartu ini pada T
Nathan yang sudah sampai di dekat pintu mendadak berhenti. Melihat itu, suara sang gadis terdengar sekali lagi, “Kak Nathan, apa kakak ingat Rania? Aku adalah teman Lana dan Lena, kak?” Saat mendengar itu, Nathan benar-benar berbalik dan menatap gadis cantik berkacamata itu. “Kau, Nia?” “Iya kak Nathan, aku Nia… Rania, teman Lana dan Lena.” ujar Rania menekankan kalimatnya sekali lagi. “Kakak ingat aku?” Semua orang saat itu tidak memperhatikan dua hal: pipi gadis berkacamata itu memerah, dan di sisi lain, untuk pertama kalinya senyuman muncul di wajah Nathan. Namun perlahan ekspresi wajah Nathan mulai kembali berubah. “Maaf, Rania, aku harus segera pergi.” “Kak Nathan, tunggu!” teriak Rania sambil berlari mengejar Nathan. Namun Nathan langsung berlari menjauh tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Rania berbalik, memasang wajah kecewa. “Kali ini kau benar-benar keterlaluan, Mil. Ayah juga sama saja, Rania benci ayah.” Tepat saat itu, Billy juga sudah turun dari lantai atas.
Benda yang jatuh adalah gelas yang dipegang Sarah. Saat dia hendak melihat siapa yang datang karena kedua putrinya berbincang cukup lama, dia tanpa sengaja mendengar berita tentang Nathan yang ditemukan. Hal itu membuatnya sempat gemetaran dan lemas beberapa saat hingga gelas yang digenggamnya terlepas. Alana dengan cepat menoleh ke arah ibunya, “Ada apa, Bu, apa yang terjadi?” Namun Sarah sama sekali tak menanggapi pertanyaan putrinya. “A... apa, apakah kalian benar-benar menemukan Nathan? Apakah dia baik-baik saja?” ... Lima tahun yang lalu. Sore hari di tanggal 29 Desember 2019. Norman baru saja membawa Nathan dan kedua sepupu kembarnya kembali dari sekolah. Setelah itu Norman mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya berlayar malam ini. “Kak Norman, kau harus hati-hati saat berlayar. Ingat untuk menelponku saat kakak kembali, dan kakak tidak boleh pergi terlalu jauh. Sebelum tahun baru kakak sudah harus berada di rumah,” pesan Sarah pada kakak iparnya i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments