Terus memandangi wajah putra semata wayangnya yang tengah terlelap di atas ranjang pasien. Panasnya sudah mulai turun namun mulut bocah itu masih terus meracau memanggil-manggil papanya.Aina hanya bisa menitikkan air mata setiap kali mulut mungil Bintang menyebut papa. Andai Dia Tahu siapa bapaknya Bintang tidak peduli mau seperti apa reaksi orang itu dia pasti akan membawanya ke mari saat itu juga demi buah hatinya."Papa, Papa, Bintang mau ikut Papa," racau Bintang terus menerus.Aina semakin sakit mendengar racauan Bintang. Air matanya semakin deras membanjiri cadarnya yang semakin basah. "Sayang, Bintangnya mama ada Mama di sini, nak. Mama selalu ada di samping Bintang." Aina tak kuasa menahan sakit hingga nafasnya tersengal-sengal. Dalam hati ia terus berdoa memohon kepada sang pencipta agar putranya diberi kesembuhan. Dia juga tidak berharap banyak tentang laki-laki yang membuat bintang hadir ke dunia ini. Tanpa Aina sadari Laura berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka me
Laura menemui seseorang yang bisa dipercaya untuk mencarikan data pasien 6 tahun yang lalu. Awalnya dia mengalami kesulitan mengingat tidak semua orang memiliki wewenang untuk mengakses data pasien. Akhirnya Laura menemui dokter Rizal. Gadis itu berpikir dengan meminta bantuan dokter Rizal dia akan bisa memperoleh informasi terkait data pasien dokter kandungan 6 tahun yang lalu."Boleh saya tahu kenapa kamu mencari data itu?" tanya dokter Rizal.Laura tampak berpikir menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan tujuannya ataukah tidak. Namun jika tidak dia tidak yakin dokter Rizal bisa membantu."Begini dok ada teman saya yang tiba-tiba hamil setelah datang dari dokter kandungan 6 tahun lalu. Dia bilang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun dan saya juga percaya itu karena dia adalah gadis yang baik. Selama ini dia selalu menjunjung tinggi nilai akhlak dan selalu menutup auratnya. Dia tidak pernah berpacaran karena dalam keluarganya berpacaran itu hukumnya haram." Laura men
Aina segera menyelesaikan proses pembayaran di kasir lalu mendekati putranya yang hampir saja berlari menuju pintu, tempat di mana sosok pria berdiri di sana sambil menatapnya.Wanita bercadar itu tak suka putranya memanggil Papa pada sembarang orang. Terlebih orang itu adalah orang yang sama yang pernah membawa Bintang waktu di taman bermain."Sayang, Bintangnya Mama Kita pulang, yuk! Bintang 'kan harus banyak istirahat. Ingat pesan dokter, kan?" Aina bercangkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bintang. Ia menatap Bintang tepat pada manik matanya seolah berkata turuti keinginan mama karena mama tidak ingin kehilangan Bintang. Kesedihan tercetak jelas di mata Aina.Bintang mengangguk lalu merangkul leher mamanya. Beberapa detik kemudian tubuh mungil bintang terangkat hingga bocah itu memiliki kegirangan. Melupakan sosok yang masih berdiri kaku menatapnya sejak tadi.Aina berjalan melewati sosok pria asing di depan pintu tanpa menyapanya. Namun saat dirinya mau masuk ke dalam mobil
Fatan pulang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bahagia, sedih, juga kecewa menjadi satu. Bahagia karena akhirnya dia memiliki seorang Putra walaupun belum jelas keberadaannya. Sedih karena ternyata putranya tidak lahir dari rahim istrinya. Kecewa ternyata istrinya tidak melakukan program yang selama ini mereka rencanakan.Sepanjang jalan Fathan terus memikirkan bagaimana wajah anaknya. Sudah sebesar apa dia? Tinggal di mana sekarang? Dan bagaimana kehidupannya? Berbagai pertanyaan berkelindan di dalam otaknya memaksa Fathan untuk terus berpikir. Tiba-tiba bayangan anak kecil yang bernama Bintang muncul dalam benaknya.Dalam hati kecil Fathan berharap Bintang lah yang menjadi anaknya. Namun ia segera menepis pemikiran itu karena rasanya tak mungkin wanita bercadar itu adalah ibu dari anaknya. Akan mengerahkan mobilnya menuju kediaman orang tuanya. Dia sudah bertanya pada dokter Rizal tentang jadwal adiknya. Kebetulan hari ini Laura mendapat shift malam sehingga ia harus cepat-cepa
Semalaman Fathan sudah tidak bisa tidur. Ia membolak-balik posisi tidurnya hingga fajar menyingsing. Lelaki itu benar-benar sudah tidak sabar untuk segera berangkat ke rumah orang tua Aina. Bahkan dia memilih untuk menginap di rumah orang tuanya karena tak mau membuat mood-nya memburuk jika harus bertemu dengan istrinya.Pukul 07.00 ruang makan sudah terlihat rapi. Menu sarapan sudah terjejer di atas meja. Fathan melangkah menuju ruang makan dengan pakaian santai. Kaos hitam dengan kemeja putih polos yang tidak dikancing membuat pria itu tampil lebih fresh dan lebih mudah dari usianya. Jika biasanya dia selalu tampil dengan jas formal, kali ini Fathan sengaja ingin terlihat santai."Kamu mau ke mana pagi-pagi sudah terlihat rapi. Emangnya nggak kerja?" Tanya Pak Atmajaya, papanya Fatan."Hari ini Fathan mau keluar kota, Pa." "Kamu sedang ada masalah dengan istrimu? Kenapa dia tidak ikut menginap di sini semalam?" Mama Santi menata putranya curiga. Fathan menghilang nafas panjang lal
"Kurang ajar! Jadi kamu yang selama ini telah merusak anak gadisku?!" Happy Hanif langsung memukul wajah Fathan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. Selama 6 tahun Abi Hanif terus mencari siapa lelaki yang telah menudai Putri semata wayangnya. Ini lelaki itu datang sendiri. Hati bapak mana yang tidak terluka ketika buah hati yang dijaga seperti permata justru dirusak oleh seorang pria tidak bertanggung jawab."Apa orang kaya seperti kamu selalu bisa berbuat sesukanya termasuk merusak anak gadis orang?" Sekali lagi pukulan mendarat di wajah Fathan. Pewaris tunggal perusahaan itu tidak melawan sama sekali. Dia tahu pasti lebih Hanif murka karena putrinya hamil tanpa dinikahi. Fathan menunggu sampai emosi tapi Hanif mereda baru kemudian menjelaskan duduk permasalahannya.Tapi hanya kembali mengangkat tangannya hendak meninju perut Fatan. Namun Umi Widuri yang baru saja memperoleh kesadarannya setelah syok mendengar fakta itu segera mencegah suaminya berbuat anarkis."Abi tahan emo
Abi Hanif dan Umi Widuri terlihat sedih. Enam tahun tidak menyambangi putrinya, ternyata sudah terjadi perubahan yang sangat besar. Mereka bahkan hampir tidak mengenali sikap putrinya lagi. Namun, ini baru permulaan. Bukankah tujuan mereka ke sini untuk menghapus kesalahpahaman yang terjadi selama ini?Aina masih duduk di tempatnya sembari memandang punggung Bik Esih yang mulai menjauh. Sekuat tenaga dia menahan gemuruh dalam dadanya. Susah payah dia berjuang selama ini. Menjalani kandungan yang tidak mudah, juga harus menghadapi berbagai pertanyaan para tetangga yang selalu menanyakan di mana suamiya. Akhir-akhir ini Bintang pun juga mulai berulah dengan menanyakan papanya setiap saat. Sakitnya saat dituduh berzina saat itu masih terasa hingga kini. Lalu pengusiran secara halus yang dilakukan orang tuanya seperti taburan garam di atas luka menganga yang ia derita. Aina masih mengingat betul bagaimana Abinya terus menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasan sedikitpun. Bahkan p
Keheningan menyelimuti ruang keluarga berukuran 8 kali 8 meter tersebut. Aina masih belum bersuara menunggu apa yang selanjutnya akan diucapkan oleh kedua orang tuanya. "Aina," ucap Umi Widuri memecah keheningan. "Abi sama Umi benar-benar minta maaf, Nak. Kamu pasti menderita selama ini."Aina tak mampu lagi untuk membendung air matanya. Susah payah ia menutup luka selama 6 tahun kini kedua orang tuanya datang untuk membuka kembali luka itu. Kalau boleh memilih Aina ingin hidup damai seperti hari-hari sebelumnya. Dia sudah mulai menerima takdirnya dan bahagia bersama Bintang, satu-satunya keluarga yang ia miliki.Aina menari nafas panjang berusaha untuk membuang sesak yang menghimpit dadanya. "Semuanya sudah berlalu, Abi, Umi. Aina sudah bahagia sekarang," ujar Aina datar."Apa kamu sudah memaafkan Abi dan Umi, Nak?" Aina mengangguk."Kalau begitu mari kita pulang. Abi sama Umi sangat merindukanmu. Ayo kita pulang!"Aina menggeleng. Tentu saja dia tidak mau kembali ke rumah yang sud