Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
"Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
"Katakan, siapa ayahnya?" Abi Hanif menatap nyalang Aina, putri tunggalnya. Wajah lelaki yang biasanya teduh dan menenangkan itu berubah akibat kobaran emosi yang menguasai.Aina menggeleng dengan derai air mata terus membanjiri pipinya. "Aina Zahra! Abi tidak pernah mengajarkanmu untuk berbuat maksiat, kenapa kamu begitu tega melempar kotoran di muka Abi, hah?" Dada Abi Hanif naik turun tak beraturan. Napasnya tersengal-sengal."Ampun, Abi. Aina benar-benar tidak tahu. Aina bahkan tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun," rintih Aina. Gadis itu berlutut di hadapan Abinya dengan kedua tangan tertangkup di depan dada."Kamu pikir Abi bodoh? Kamu bukan Siti Maryam perawan suci yang hamil tanpa laki-laki, Aina! Jangan membodohi Abi!" Suara lelaki paruh baya itu semakin meninggi."Sekarang apa yang harus Abi katakan pada keluarga Pak Karim? Padahal pernikahanmu dengan Danis sudah ditentukan!" Abi Hanif melengos saat tatapan matanya bertemu dengan mata Aina yang basah. "Danis ber
"Kalau sudah sadar, segera bangun dan pergi dari sini!" ucap Abi Hanif tegas membuat harapan Aina yang sempat melambung kembali terjun bebas. Rupanya Abi dan Ummi masih ingin membuangnya bahkan setelah Aina pingsan.Dengan gerakan cepat Aina bangun lalu bersimpuh di kaki Abi Hanif. Menangis, meraung, memohon pengampunan."Maafkan Aina, Bi. Aina mohon jangan buang Aina, Bi. Aina nggak tahu bagaimana nasib Aina kelak kalau harus pergi dalam kondisi seperti ini," ucap Aina memelas."Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri, Aina. Ini adalah hukuman karena kamu sudah mencoreng keluarga kita!""Tapi, Bi-""Abi rasa kamu tidak lupa hukuman apa yang pantas didapatkan oleh seorang pezina dalam agama kita! Karena sekarang tidak ada yang bisa menegakkan hukuman itu, maka Abi yang akan membuatmu sadar atas perbuatanmu!" Abi Hanif memalingkan wajahnya agar tidak goyah.Sebagai ayah yang telah mendidik buah hatinya, tentu tidak mudah melakukan hal ini. Lelaki itu bahkan merasakan sakit
"Pak Hanif, kami sudah sangat percaya sama Anda. Kita juga sudah sepakat jika putra saya pulang dari luar negeri pernikahan putra putri kita segera dilaksanakan. Sekarang putra saya sudah pulang dan dia sendiri yang meminta acara pernikahan dimajukan. Lalu apa masalahnya sekarang? Putri Anda juga sudah wisudah, kan?" desak Pak Karim.Abi Hanif menghela napas panjang. Tak tahu harus memulai dari mana untuk mengatakan alasan pembatalan perjodohan mereka. Tidak mungkin juga dia harus berkata jujur jika putrinya hamil. Susah payah dia menutupi aib tersebut, tidak mungkin dia membukanya begitu saja. "Sekali lagi mohon maafkan kami, Pak Karim. Putri saya ... dia ... pergi," lirih Abi Hanif.Sekali lagi pasangan suami-istri yang berada di hadapannya itu kaget. Pasalnya, Abi Hanif terkenal sangat ketat dalam mendidik putri semata wayangnya. Tidak mungkin putrinya bisa pergi begitu saja."Maksud Pak Hanif apa? Aina kabur begitu?"Abi Hanif terdiam sejenak. Ia melirik sang istri seolah meminta
Aina merasakan kepalanya sangat berat. Aroma minyak kayu putih terasa sangat menyengat di hidungnya. Mendadak perutnya kembali mual. Namun ia juga merasakan kedua matanya sangat berat untuk dibuka."Non, Non Aina! Non Aina sudah sadar?" Bik Esih menatap majikannya dengan mata berbinar."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Ai. Hampir saja aku membawamu ke puskesmas kalau tidak sadar juga," ujar Bidan Andini. Aina menatap Bidan Andini dan Bik Esih bergantian lalu menatap perutnya yang masih rata. Ucapan Bidan Andini kembali terngiang membuatnya kembali bergidik. "Kamu kenapa, Ai? Apa ada yang kamu rasakan sekarang?" "Nggak kok, Mbak. Cuma lagi pusing aja." Aina mencoba untuk bersikap biasa saja. "Baiklah, kalau gitu nanti obatnya diminum, ya? Jangan lupa makan yang banyak. Makan yang kamu ingin, nggak usah ditahan-tahan," nasehat Bidan Andini.Aina mengangguk lalu tersenyum. Bik Esih mengantar Bidan Andini sampai pagar setelah semua urusan selesai. "Non, mau Bibik buatin sesuatu? B
"Danis nggak habis pikir, Bi. Aina ... bisa melakukan hal itu. Kupikir dia gadis shalehah yang selalu terjaga. Kupikir dia akan menjaga kesuciannya untuk imam yang akan menikahinya. Ternyata harapanku terlalu tinggi ya, Bi?" Danis menunduk lesu. Pria mana yang tak kecewa jika gadis yang akan dinikahinya tiba-tiba menghilang dan alasan menghilangnya karena telah hamil. Danis sendiri sudah sangat yakin mencintai sosok Aina, putri seorang pemilik yayasan pendidikan. Tak hanya memiliki akhlak yang baik, Aina selama ini juga dikenal sebagai gadis yang cerdas. Penampilannya selalu tertutup karena takut apa yang dimiliki dilihat oleh laki-laki non mahram. Namun berita yang baru saja Danis dengar mematahkan sayah harapannya untuk membina rumah tangga bersama wanita yang akan membersamainya di dunia hingga menuju ke surga. "Danis pikir Aina berbeda dengan gadis-gadis di luaran sana yang tergoda gaya hidup bebas. Ternyata sikapnya yang lembut serta penampilannya hanya menutupi sifat aslinya
Abi Hanif merangsek ke depan dan menghalangi orang-orang yang hampir kalap tersebut. "Tunggu! Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik, jangan main hakim sendiri!" ucap Abi Hanif tenang. "Halah, dasar munafik! Nggak usah didengerin! Ayo bakar saja gedung ini! Jangan sampai kita mendapatkan azab karena dosa zina yang dilakukan oleh putri ketua yayasan ini! Ayo semuanya, kita bakar saja!" Seorang pria dengan wajah garang dan rambut agak gondrong memprovokasi warga. "Tunggu dulu! Apa untungnya bagi kalian kalau gedung ini dibakar? Apa kalian ingin putra-putri kalian berhenti sekolah?" Abi Hanif berbicara dengan sangat tenang. Tidak takut dengan semua kemarahan warga karena dia tahu ada seseorang yang sengaja memprovokasi mereka. Mendadak suasana yang semula riuh menjadi hening. Kemarahan yang semula membara perlahan padam mendengar pertanyaan dari Abi Hanif. "Siapa yang mau ikut saya ke dalam? Ayo kita bicarakan baik-baik." Abi Hanif menatap satu per satu pria di barisan paling de