Share

Bab 2.1 | Anak Kampus

Malang kota yang sibuk. Sibuk bagi pekerja kantoran, penjual sayur, kuli proyek, dan juga tak kalah sibuknya adalah mahasiswa. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini makin banyak dikunjungi para pendatang dari manapun. Dari luar kota, luar propinsi hingga manca negara. Perkuliahan adalah salah satu cara berbaurnya berbagai komunitas, mulai dari kalangan atas hingga kalangan bawah. Salah satu orang yang berada di antara kesibukan itu adalah Raden Ayu Asri Kusuma Wardhani. Tentu saja nama Raden Ayu di depannya ini bukanlah tanpa sebab, dia memang putra bangsawan. Setidaknya masih ada hubungan dengan orang-orang keraton.

Asri berparas cantik, berkulit kuning langsat, rambutnya sebahu, memakai kacamata minus. Dia sangat rajin untuk ukuran mahasiswi seperti dia. Targetnya adalah ia bisa lulus dengan nilai terbaik, lalu bekerja. Ada alasan lain sebenarnya kenapa dia harus jauh-jauh kuliah di Malang daripada di Yogyakarta. Alasan itu adalah ia tak mau dikekang oleh aturan-aturan orang tuanya. Memang sejak kecil ia sudah jadi pemberontak. Pendapat-pendapat orang tuanya banyak yang dimentahkan, bahkan tak jarang mereka berdebat panjang sampai Romo—sebutan ayah—nya tidak bisa melawannya. Asri memang berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ia lebih tangguh, jatuh berkali-kali, tetapi kemudian bangkit lagi. Ia tak pernah ingin dimanja oleh siapapun, bahkan untuk sekolah yang harusnya dia bisa saja mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah kaum bangsawan saja ia tidak mau. Sejak kecil dia lebih senang bermain dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat biasa. Dari sini saja pesonanya sudah terpancar, kalau dia akan menjadi orang yang luar biasa suatu saat nanti.

Sudah dua tahun dia kuliah di Malang. Segala seluk-beluk kampus dan kota ini dia tahu. Dari mulai kuliner-kulinernya sampai ke tempat-tempat nongkrong di malam hari sudah dia hafal. Akibat dari dia sering nongkrong, maka teman-temannya sangat banyak. Ia termasuk pribadi yang menyenangkan, sehingga banyak yang suka kepadanya.

Seperti pagi ini misalnya. Dia buru-buru ke kampus. Jarak kampus dengan tempat dia tinggal tak begitu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebagai jiwa muda, dia biasa melakukannya tanpa lelah. Naik turun tangga, berlari mengejar jadwal perkuliahan dari satu gedung ke gedung lain. Pulangnya masih ia sempatkan mengikuti ekstrakurikuler. Tak cukup itu, ia juga suka membaca. Sangat suka. Sehari ia bisa habiskan satu dua buku sebelum tidur. Dari buku fiksi hingga buku motivasi, dari yang aneh sampai ke level sesat. Itulah yang membuat pikiran Asri lebih terbuka dan tidak ortodok. Dia lebih liberal dibandingkan keluarganya.

Asri melewati gang-gang kecil di kompleks Sumbersari. Gang-gang kecil tersebut adalah jalan yang menghubungkan sarang para mahasiswa. Menurut statistik asal-asalan yang dia hitung sendiri para mahasiswa yang ada di daerah Dinoyo ini mungkin bisa memenuhi satu Stadion Gajayana—stadion kebanggaan kota Malang. Kalau misalnya satu semester kampusnya bisa menampung kurang lebih 5.000 mahasiswa, maka tinggal dikalikan saja dengan jumlah semester, tahun, serta berapa banyak orang-orang yang lulus tiap tahunnya. Baiklah, mungkin terlalu berlebihan kalau sampai dikatakan satu stadion.

Lepas dari gang-gang kecil, ia pun akhirnya sampai di gerbang kampus. Namun, bukan gerbang utama. Gerbang samping tempat sepeda motor biasa keluar masuk, serta ditutup jam 18.00. Bukan tanpa alasan sekuriti melakukan hal itu, sering terjadi kemalingan lewat pintu samping ini.

Anak-anak tangga yang statis ditapakinya, mengantarkan tubuh semampainya sampai ke koridor lantai dua tempat kelas perkuliahannya akan berlangsung. Beberapa mahasiswa buru-buru masuk ruangan. Bersamaan dengan ia masuk ke dalam kelas, dosen terlihat baru saja menaruh tasnya di meja. Buru-buru Asri mengambil tempat di salah satu bangku. Matanya menjelajah ruangan perkuliahan. Banyak wajah-wajah mahasiswa yang tidak asing, maklum mereka seangkatan. Saat itulah ia tertarik dengan seorang pemuda yang duduk sendiri di pojok nomor tiga dari depan. Ia merasa tak mengenal mahasiswa itu.

As, gimana kuliah statistik kemarin?” celetuk salah seorang perempuan. Namanya Tyas, teman Asri semenjak menginjakkan kaki pertama kali di Malang, bahkan tempat kosnya pun tetanggaan. Kebetulan mereka juga satu jurusan.

Maksud kamu, Yas?” tanya Asri balik.

Maksudnya, tugasnya udah beres belum? Bagi dong!”

Asri memutar bola matanya. “Udah, mau pinjem?”

Tyas nyengir. “Nanti kutraktir bakso deh. Kamu tahu sendiri aku itu susah soal hitung-hitungan. Matematika Diskrit saja ngulang.”

Oke, lumayan bisa hemat uang jajan,” ucap Asri dengan mata berbinar-binar.

As, ada acara nanti malam?” celetuk seorang cowok dari samping kirinya.

Eh, Icus. Bikin kaget aja. Ehm, entah ya. Nanti malem aku ada piket nih,” jawab Asri.

Nama Icus adalah nama panggilan. Nama aslinya adalah Markus. Dia sudah dipanggil Icus semenjak semester pertama, hal itu karena teman-temannya memanggilnya Icus, akhirnya semua orang ikut-ikutan memanggilnya Icus. Terkadang para dosen bingung karena daftar hadir ada nama Markus tapi tidak ada yang dipanggil dengan nama Markus.

Asri itu baru kosong kalau weekend aja, Cus. Mau ngajak kencan?” Tyas menimpali. “Sori ya. Sudah aku teken.”

Asri tertawa mendengar ucapan Tyas. Memang temannya satu ini selalu menjadi pelindungnya, setiap kali ada cowok yang hendak mendekatinya pasti langsung berhadapan dengan Tyas. Apalagi cuma Tyas yang tahu kalau Asri adalah salah satu keturunan bangsawan. Mereka sering curhat dan berbagi cerita, maka tak heran hubungan keduanya dekat. Icus tak lagi bicara. Ia pura-pura mengambil loose leaf.

Perkuliahan pun dimulai. Sang dosen langsung membukanya dengan salam lalu langsung masuk kepada materi. Sementara itu, perhatian Asri tertarik ke arah lain. Matanya tertuju ke seorang mahasiswa yang belum dia kenal, duduk di baris nomor tiga tadi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela menimpanya, membuat wajah pemuda itu seperti bercahaya. Untuk beberapa detik Asri memperhatikannya, setelah itu kembali menghadap ke depan, fokus kepada perkuliahan.

Dua jam kemudian perkuliahan selesai. Semua mahasiswa langsung memasukkan barang-barang mereka ke ransel. Suara sepatu berdecit terdengar saat mereka mulai keluar ruangan mengikuti dosen.

As, habis ini kemana?” tanya Tyas.

Ke perpus mungkin,” jawab Asri.

Ya udah bareng, yuk!?” ajak Tyas.

OK.”

Ya udah, aku tunggu di depan.”

Tyas segera pergi keluar ruangan. Asri masih mengemasi barang-barangnya. Dia kembali melempar pandangannya ke tempat pemuda yang tadi dia lihat. Dia masih ada di sana. Perawakan pemuda itu tinggi, rambutnya dimodel jabrik, kulitnya sawo matang, dan saat ini ia menoleh ke arah Asri. Saat kedua mata mereka bertemu, Asri langsung menundukkan pandangannya. Ada perasaan aneh yang menggelitiknya. Dia kembali melirik ke cowok tadi, ternyata cowok itu sudah berjalan meninggalkan ruangan.

Asri tentu saja penasaran. Siapa cowok itu? Mahasiswa baru? Kok selama ini ia tak pernah melihatnya?

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status