Malang kota yang sibuk. Sibuk bagi pekerja kantoran, penjual sayur, kuli proyek, dan juga tak kalah sibuknya adalah mahasiswa. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini makin banyak dikunjungi para pendatang dari manapun. Dari luar kota, luar propinsi hingga manca negara. Perkuliahan adalah salah satu cara berbaurnya berbagai komunitas, mulai dari kalangan atas hingga kalangan bawah. Salah satu orang yang berada di antara kesibukan itu adalah Raden Ayu Asri Kusuma Wardhani. Tentu saja nama Raden Ayu di depannya ini bukanlah tanpa sebab, dia memang putra bangsawan. Setidaknya masih ada hubungan dengan orang-orang keraton.
Asri berparas cantik, berkulit kuning langsat, rambutnya sebahu, memakai kacamata minus. Dia sangat rajin untuk ukuran mahasiswi seperti dia. Targetnya adalah ia bisa lulus dengan nilai terbaik, lalu bekerja. Ada alasan lain sebenarnya kenapa dia harus jauh-jauh kuliah di Malang daripada di Yogyakarta. Alasan itu adalah ia tak mau dikekang oleh aturan-aturan orang tuanya. Memang sejak kecil ia sudah jadi pemberontak. Pendapat-pendapat orang tuanya banyak yang dimentahkan, bahkan tak jarang mereka berdebat panjang sampai Romo—sebutan ayah—nya tidak bisa melawannya. Asri memang berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ia lebih tangguh, jatuh berkali-kali, tetapi kemudian bangkit lagi. Ia tak pernah ingin dimanja oleh siapapun, bahkan untuk sekolah yang harusnya dia bisa saja mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah kaum bangsawan saja ia tidak mau. Sejak kecil dia lebih senang bermain dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat biasa. Dari sini saja pesonanya sudah terpancar, kalau dia akan menjadi orang yang luar biasa suatu saat nanti.
Sudah dua tahun dia kuliah di Malang. Segala seluk-beluk kampus dan kota ini dia tahu. Dari mulai kuliner-kulinernya sampai ke tempat-tempat nongkrong di malam hari sudah dia hafal. Akibat dari dia sering nongkrong, maka teman-temannya sangat banyak. Ia termasuk pribadi yang menyenangkan, sehingga banyak yang suka kepadanya.
Seperti pagi ini misalnya. Dia buru-buru ke kampus. Jarak kampus dengan tempat dia tinggal tak begitu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebagai jiwa muda, dia biasa melakukannya tanpa lelah. Naik turun tangga, berlari mengejar jadwal perkuliahan dari satu gedung ke gedung lain. Pulangnya masih ia sempatkan mengikuti ekstrakurikuler. Tak cukup itu, ia juga suka membaca. Sangat suka. Sehari ia bisa habiskan satu dua buku sebelum tidur. Dari buku fiksi hingga buku motivasi, dari yang aneh sampai ke level sesat. Itulah yang membuat pikiran Asri lebih terbuka dan tidak ortodok. Dia lebih liberal dibandingkan keluarganya.
Asri melewati gang-gang kecil di kompleks Sumbersari. Gang-gang kecil tersebut adalah jalan yang menghubungkan sarang para mahasiswa. Menurut statistik asal-asalan yang dia hitung sendiri para mahasiswa yang ada di daerah Dinoyo ini mungkin bisa memenuhi satu Stadion Gajayana—stadion kebanggaan kota Malang. Kalau misalnya satu semester kampusnya bisa menampung kurang lebih 5.000 mahasiswa, maka tinggal dikalikan saja dengan jumlah semester, tahun, serta berapa banyak orang-orang yang lulus tiap tahunnya. Baiklah, mungkin terlalu berlebihan kalau sampai dikatakan satu stadion.
Lepas dari gang-gang kecil, ia pun akhirnya sampai di gerbang kampus. Namun, bukan gerbang utama. Gerbang samping tempat sepeda motor biasa keluar masuk, serta ditutup jam 18.00. Bukan tanpa alasan sekuriti melakukan hal itu, sering terjadi kemalingan lewat pintu samping ini.
Anak-anak tangga yang statis ditapakinya, mengantarkan tubuh semampainya sampai ke koridor lantai dua tempat kelas perkuliahannya akan berlangsung. Beberapa mahasiswa buru-buru masuk ruangan. Bersamaan dengan ia masuk ke dalam kelas, dosen terlihat baru saja menaruh tasnya di meja. Buru-buru Asri mengambil tempat di salah satu bangku. Matanya menjelajah ruangan perkuliahan. Banyak wajah-wajah mahasiswa yang tidak asing, maklum mereka seangkatan. Saat itulah ia tertarik dengan seorang pemuda yang duduk sendiri di pojok nomor tiga dari depan. Ia merasa tak mengenal mahasiswa itu.
“As, gimana kuliah statistik kemarin?” celetuk salah seorang perempuan. Namanya Tyas, teman Asri semenjak menginjakkan kaki pertama kali di Malang, bahkan tempat kosnya pun tetanggaan. Kebetulan mereka juga satu jurusan.
“Maksud kamu, Yas?” tanya Asri balik.
“Maksudnya, tugasnya udah beres belum? Bagi dong!”
Asri memutar bola matanya. “Udah, mau pinjem?”
Tyas nyengir. “Nanti kutraktir bakso deh. Kamu tahu sendiri aku itu susah soal hitung-hitungan. Matematika Diskrit saja ngulang.”
“Oke, lumayan bisa hemat uang jajan,” ucap Asri dengan mata berbinar-binar.
“As, ada acara nanti malam?” celetuk seorang cowok dari samping kirinya.
“Eh, Icus. Bikin kaget aja. Ehm, entah ya. Nanti malem aku ada piket nih,” jawab Asri.
Nama Icus adalah nama panggilan. Nama aslinya adalah Markus. Dia sudah dipanggil Icus semenjak semester pertama, hal itu karena teman-temannya memanggilnya Icus, akhirnya semua orang ikut-ikutan memanggilnya Icus. Terkadang para dosen bingung karena daftar hadir ada nama Markus tapi tidak ada yang dipanggil dengan nama Markus.
“Asri itu baru kosong kalau weekend aja, Cus. Mau ngajak kencan?” Tyas menimpali. “Sori ya. Sudah aku teken.”
Asri tertawa mendengar ucapan Tyas. Memang temannya satu ini selalu menjadi pelindungnya, setiap kali ada cowok yang hendak mendekatinya pasti langsung berhadapan dengan Tyas. Apalagi cuma Tyas yang tahu kalau Asri adalah salah satu keturunan bangsawan. Mereka sering curhat dan berbagi cerita, maka tak heran hubungan keduanya dekat. Icus tak lagi bicara. Ia pura-pura mengambil loose leaf.
Perkuliahan pun dimulai. Sang dosen langsung membukanya dengan salam lalu langsung masuk kepada materi. Sementara itu, perhatian Asri tertarik ke arah lain. Matanya tertuju ke seorang mahasiswa yang belum dia kenal, duduk di baris nomor tiga tadi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela menimpanya, membuat wajah pemuda itu seperti bercahaya. Untuk beberapa detik Asri memperhatikannya, setelah itu kembali menghadap ke depan, fokus kepada perkuliahan.
Dua jam kemudian perkuliahan selesai. Semua mahasiswa langsung memasukkan barang-barang mereka ke ransel. Suara sepatu berdecit terdengar saat mereka mulai keluar ruangan mengikuti dosen.
“As, habis ini kemana?” tanya Tyas.
“Ke perpus mungkin,” jawab Asri.
“Ya udah bareng, yuk!?” ajak Tyas.
“OK.”
“Ya udah, aku tunggu di depan.”
Tyas segera pergi keluar ruangan. Asri masih mengemasi barang-barangnya. Dia kembali melempar pandangannya ke tempat pemuda yang tadi dia lihat. Dia masih ada di sana. Perawakan pemuda itu tinggi, rambutnya dimodel jabrik, kulitnya sawo matang, dan saat ini ia menoleh ke arah Asri. Saat kedua mata mereka bertemu, Asri langsung menundukkan pandangannya. Ada perasaan aneh yang menggelitiknya. Dia kembali melirik ke cowok tadi, ternyata cowok itu sudah berjalan meninggalkan ruangan.
Asri tentu saja penasaran. Siapa cowok itu? Mahasiswa baru? Kok selama ini ia tak pernah melihatnya?
* * *
Sore hari Asri pulang ke kos. Nyaris jantungnya copot saat ada amplop ditempel dengan menggunakan selotip di pintu kamarnya. Asri menoleh kiri kanan, perasaannya tak enak. Dia langsung saja mengambil amplop tersebut lalu masuk ke dalam kamar kosnya. Kamar kosnya berada di lantai dua dengan tangga yang langsung menuju akses ke parkiran. Maka dari itu siapa saja bisa masuk dan langsung mengetuk pintu kamarnya. Apalagi terkadang pagar kos dibuka kalau siang hari. Setelah memastikan pintu dikunci, Asri lalu membuka amplop tersebut. Ada secarik surat di dalamnya dengan tulisan latin yang sangat indah. Langsung saja Asri tahu tulisan siapa itu. Asri membaca cepat, setelah itu ia mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di saku celananya untuk menghubungi seseorang.
“Rumahnya besar. Kira-kira penghuni kosnya banyak nggak?” gumam Asri. “Kayaknya sih enggak. Buktinya sudah dipencet bel nggak ada yang keluar,” jawab Tyas. “Lagian orang bego mana yang buka tempat kos di daerah terpencil seperti ini? Jauh pula dari kampus. Tapi apa boleh buat, aku memang ingin nggak bisa dilacak oleh keluargaku,” ujar Asri. “Iya, tempat ini cocok untuk persembunyian,” kata Tyas setuju dengan pendapat Asri.“
Asri terbangun. Hawa dingin menusuk tulang. Kamarnya masih berantakan karena tadi malam ia sekadar memasukkan saja tanpa menatanya. Dia langsung tidur begitu saja setelah barang-barangnya dimasukkan. Sementara itu Tyas sudah pergi, walaupun tak rela meninggalkan Asri seorang diri. Asri baru tahu kalau hawanya cukup dingin, lebih dingin daripada saat dia masih tinggal di daerah Sumbersari. Untuk sesaat ia nyaris panik saat terbangun di tempat yang asing, tetapi ia langsung sadar kalau dia sudah pindah. Memang bikin kesal. Dia tak ingin keluarganya tahu dia tinggal di mana sekarang. Maka dari itulah keputusannya untuk pindah sudah tepat, meskipun mungkin membuat dia lebih lelah dari biasanya. Asri melihat jam di layar pon
“Bwahahahahahaha,” suara tawa Tyas langsung pecah setelah Asri menceritakan apa yang terjadi. Untungnya mereka berada di tempat sepi sehingga tak ada orang yang melihat. “Aku malu, anjir!” Asri mengerucutkan bibirnya. “Aku lupa kalau ini bukan kosku yang lama. Kan kosku yang lama kos cewek. Kalau pun seharian mondar-mandir nggak pake bra juga nggak masalah, kan tamu cowok hanya diterima di depan, nggak sampai masuk kamar. Lha ini? Aduh, benar-benar memalukan.”“Kalau aku jadi kau, aku nggak mau lagi ketemu ama dia,” ujar Tyas. “Gimana nggak ketemu coba. Itu kamu kan nyaris telenji!”
“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.
3 tahun yang laluKoper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang bin
Malang, sekarangPonsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.“Halo, siapa ya?” sapa Asri.“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.“Hah? Sa