“Anda istimewa pangeran, berbeda seperti kami yang memiliki tubuh avatar. Semenjak Kebijaksanaan Tertinggi menolong kita untuk bersembunyi dari manusia dengan tubuh ini, kita bisa berbaur dengan manusia, tetapi kau berbeda. Kau lahir dari rahim seorang manusia. Makanya itu tubuhmu sekarang sedang berada di antara dua sisi. Kau memilih jalan naga atau jalan manusia,” ujar Bandi menjelaskan tentang apa sejatinya diri mereka.
“Ya, ya, ya. Kau sudah menjelaskannya berkali-kali. Aku campuran manusia dan naga,” ucap Aryanaga yang sudah bosan dinasihati berkali-kali oleh Bandi.
Bandi memang bukan saja sebagai gurunya, tetapi juga sebagai walinya. Dia sangat menghormati orang itu tentunya setelah ayahnya. Meskipun hanya beberapa kali bertemu dengan sang ayah, tetapi Aryanaga tak pernah lupa dengan Primadigda.
Mereka kemudian berjalan membelah hutan, melewati rumput-rumput liar serta tanaman-tanaman tinggi. Beberapa penghuni hutan seperti roh-roh, makhluk-makhluk astral tak kasat mata, serta hewan-hewan yang mendiami kegelapan menyambut mereka. Naga memang makhluk yang paling dihormati di hutan ini. Mereka menjadi penghubung antara Dunia Atas dan Dunia Bawah. Keduanya berhenti saat mendapati dua makhluk dengan tubuhnya yang menyala seperti api.
Kedua makhluk ini berwajah cukup menyeramkan. Kedua matanya menyala, tubuhnya terbakar api, hanya saja api tersebut tidak membakar apapun yang ada di sekitarnya. Tubuhnya tidak begitu jelas, apakah mereka laki-laki atau perempuan karena api menutupinya. Cahaya api itu cukup terang untuk menerangi kegelapan di hutan itu.
“Salam kepada Pangeran,” ucap kedua makhluk tersebut. Mereka adalah dua Banaspati yang menjaga tempat itu. Di belakang Banaspati itu ada sebuah lorong gelap dengan dinding terbuat dari akar-akar pohon raksasa. Jauh di kegelapan sana ada sesuatu yang sangat dilindungi oleh keduanya.
Aryanaga dan Bandi membalas salam mereka dengan menyatukan telapak tangan. Bandi merogoh sakunya, kemudian memberikan dua keping emas kepada keduanya. Setelah menerima dua keping emas tersebut, kedua Banaspati menyingkir. Mereka mempersilakan kedua naga ini masuk ke dalam lorong hutan.
“Aku heran, kenapa ayah tidak mencairkan saja balok es itu?” tanya Aryanaga.
Bandi tidak menjawab. Dia tetap terus berjalan hingga suasana mulai berubah. Hutan menjadi lebih dingin daripada biasanya. Kaki mereka mulai merasakan sesuatu yang lembut seperti kasur busa, kaki mereka juga merasakan dingin yang tidak biasa. Suhu menjadi turun dengan sangat drastis. Aryanaga mendengkus, membuat hidung dan mulutnya mengeluarkan uap air tebal. Keduanya berhenti di depan mulut gua setelah berjalan beberapa puluh meter ke dalam kegelapan.
Aryanaga menoleh ke arah Bandi. Orang tua ini masih terdiam tanpa bicara. Namun, seperti biasa ia akan tetap berada di tempat ia berdiri sementara Aryanaga akan masuk ke dalam mulut gua.
“Aku heran, kenapa kau tak ikut saja masuk ke dalam?” tanya Aryanaga lagi.
“Aku tidak pernah diizinkan oleh ratu untuk masuk ke dalam. Perintah itu masih tetap aku patuhi sampai sekarang,” jawab Bandi.
“Meskipun aku yang memintanya?”
Bandi mengendik. Dia menatap Aryanaga seolah berkata “kau terlalu banyak bicara”. Aryanaga mengangkat bahunya. Setelah itu ia masuk ke dalam mulut gua.
Gua tersebut merupakan hasil bentukan alam secara natural dari lahar Gunung Semeru. Letaknya sangat tersembunyi karena dijaga oleh makhluk-makhluk gaib. Stalagmit dan stalagtit menjadikan gua ini sangat indah, ditambah lagi bebatuan unik warna-warni yang menempel di dinding-dindingnya. Di dalam gua ini hawa dinginnya lebih menusuk daripada di luar, sama sekali bukan tempat untuk menghangatkan diri.
Aryanaga sampai juga di tengah gua. Dia tepat berdiri di depan balok es raksasa. Bukan balok es biasa, karena di dalamnya ada wanita dengan gaun berwarna putih serta mahkota di kepalanya membeku. Matanya terpejam, rambutnya panjang selutut, di kedua lengannya ada gelang emas serta kalung di lehernya. Wajahnya yang cantik tak akan ada satupun wanita di dunia ini yang bisa mengalahkan kencantikannya. Saat menatap balok es tersebut ada perasaan bahagia pada diri pemuda naga ini.
“Ibu, anakmu datang,” ucap Aryanaga.
Dia lalu menyentuhkan telapak tangannya ke balok es tersebut. Dari sana ia bisa merasakan hawa dingin yang kemudian merambat ke telapak tangan, lalu lengannya hingga seluruh tubuhnya. Namun, Aryanaga dengan mudah bisa menyingkirkan hawa dingin tersebut dengan panas yang ada di tubuhnya. Panas itu menjadikan hawa dingin tersebut menjadi netral.
Aryanaga menghela napas. Dia kemudian duduk bersandar di balok es tersebut. Kepalanya disandarkan ke benda dingin itu. Sudah belasan tahun ibunya terkurung di dalam balok es ini atas kehendaknya sendiri. Aryanaga tak mengerti kenapa dan bagaimana semuanya bisa terjadi. Sang putra naga hanya bisa berharap suatu saat ia yang akan mencairkan balok es abadi ini. Ia tak bisa mengharapkan ayahnya lagi, maka dari itulah ia terus berlatih untuk menjadi kuat setiap hari, setiap saat. Agar Dewi Es—sang ibundanya bisa terbebas dari kurungan ini.
“Aku pasti akan membebaskanmu, ibu. Aku berjanji. Napasku api, jiwaku api. Dengan api ini pula siatu saat nanti aku akan mencairkan es abadimu.”
* * *
Malang kota yang sibuk. Sibuk bagi pekerja kantoran, penjual sayur, kuli proyek, dan juga tak kalah sibuknya adalah mahasiswa. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini makin banyak dikunjungi para pendatang dari manapun. Dari luar kota, luar propinsi hingga manca negara. Perkuliahan adalah salah satu cara berbaurnya berbagai komunitas, mulai dari kalangan atas hingga kalangan bawah. Salah satu orang yang berada di antara kesibukan itu adalah Raden Ayu Asri Kusuma Wardhani. Tentu saja nama Raden Ayu di depannya ini bukanlah tanpa sebab, dia memang putra bangsawan. Setidaknya masih ada hubungan dengan orang-orang keraton. Asri berparas cantik, berkulit kuning langsat, rambutnya sebahu, memakai kacamata minus. Dia sangat rajin untuk ukuran mahasiswi seperti dia. Targetny
Sore hari Asri pulang ke kos. Nyaris jantungnya copot saat ada amplop ditempel dengan menggunakan selotip di pintu kamarnya. Asri menoleh kiri kanan, perasaannya tak enak. Dia langsung saja mengambil amplop tersebut lalu masuk ke dalam kamar kosnya. Kamar kosnya berada di lantai dua dengan tangga yang langsung menuju akses ke parkiran. Maka dari itu siapa saja bisa masuk dan langsung mengetuk pintu kamarnya. Apalagi terkadang pagar kos dibuka kalau siang hari. Setelah memastikan pintu dikunci, Asri lalu membuka amplop tersebut. Ada secarik surat di dalamnya dengan tulisan latin yang sangat indah. Langsung saja Asri tahu tulisan siapa itu. Asri membaca cepat, setelah itu ia mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di saku celananya untuk menghubungi seseorang.
“Rumahnya besar. Kira-kira penghuni kosnya banyak nggak?” gumam Asri. “Kayaknya sih enggak. Buktinya sudah dipencet bel nggak ada yang keluar,” jawab Tyas. “Lagian orang bego mana yang buka tempat kos di daerah terpencil seperti ini? Jauh pula dari kampus. Tapi apa boleh buat, aku memang ingin nggak bisa dilacak oleh keluargaku,” ujar Asri. “Iya, tempat ini cocok untuk persembunyian,” kata Tyas setuju dengan pendapat Asri.“
Asri terbangun. Hawa dingin menusuk tulang. Kamarnya masih berantakan karena tadi malam ia sekadar memasukkan saja tanpa menatanya. Dia langsung tidur begitu saja setelah barang-barangnya dimasukkan. Sementara itu Tyas sudah pergi, walaupun tak rela meninggalkan Asri seorang diri. Asri baru tahu kalau hawanya cukup dingin, lebih dingin daripada saat dia masih tinggal di daerah Sumbersari. Untuk sesaat ia nyaris panik saat terbangun di tempat yang asing, tetapi ia langsung sadar kalau dia sudah pindah. Memang bikin kesal. Dia tak ingin keluarganya tahu dia tinggal di mana sekarang. Maka dari itulah keputusannya untuk pindah sudah tepat, meskipun mungkin membuat dia lebih lelah dari biasanya. Asri melihat jam di layar pon
“Bwahahahahahaha,” suara tawa Tyas langsung pecah setelah Asri menceritakan apa yang terjadi. Untungnya mereka berada di tempat sepi sehingga tak ada orang yang melihat. “Aku malu, anjir!” Asri mengerucutkan bibirnya. “Aku lupa kalau ini bukan kosku yang lama. Kan kosku yang lama kos cewek. Kalau pun seharian mondar-mandir nggak pake bra juga nggak masalah, kan tamu cowok hanya diterima di depan, nggak sampai masuk kamar. Lha ini? Aduh, benar-benar memalukan.”“Kalau aku jadi kau, aku nggak mau lagi ketemu ama dia,” ujar Tyas. “Gimana nggak ketemu coba. Itu kamu kan nyaris telenji!”
“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.
3 tahun yang laluKoper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang bin