Asri terbangun. Hawa dingin menusuk tulang. Kamarnya masih berantakan karena tadi malam ia sekadar memasukkan saja tanpa menatanya. Dia langsung tidur begitu saja setelah barang-barangnya dimasukkan. Sementara itu Tyas sudah pergi, walaupun tak rela meninggalkan Asri seorang diri. Asri baru tahu kalau hawanya cukup dingin, lebih dingin daripada saat dia masih tinggal di daerah Sumbersari.
Untuk sesaat ia nyaris panik saat terbangun di tempat yang asing, tetapi ia langsung sadar kalau dia sudah pindah. Memang bikin kesal. Dia tak ingin keluarganya tahu dia tinggal di mana sekarang. Maka dari itulah keputusannya untuk pindah sudah tepat, meskipun mungkin membuat dia lebih lelah dari biasanya. Asri melihat jam di layar ponselnya yang lupa belum diisi. Dia menggeliat sebelum bangun dari kasurnya, setelah itu ia langsung beres-beres. Baju-baju dikeluarkan dari kopernya, menggantung baju-baju di hanger, setelah itu menata buku di rak, merapikan tempat tidur, menyapu, membersihkan debu-debu di kamarnya, terakhir mandi. Dia sangat bersyukur karena mempunyai kamar mandi di dalam kamar. Amat jarang tempat kos memiliki kamar mandi di dalam.
Asri jadi penasaran dengan Aryanaga. Untuk pemuda seperti dia memiliki tempat kos sebesar ini, pastilah keluarganya bukan dari keluarga biasa. Orang tuanya mungkin konglomerat yang tidak terendus. Di Malang memang banyak orang-orang kaya yang tidak terendus kekayaannya. Dari yang cuma berbisnis cuci sepatu hingga produksi pengepakan makanan ringan saja ada yang memiliki rumah puluhan. Bisa jadi Aryanaga salah satunya. Menurut gadis ini Aryanaga cukuplah tampan, ia masih ingat bagaimana sinar matahari membuat cowok itu seperti bersinar.
Tiba-tiba pintu diketuk. “Permisi, maaf mengganggu!” terdengar suara Aryanaga di luar kamar.
Asri berjingkat. Ia baru saja mandi dan belum berpakaian. Panik, ia pun mengambil pakaian seadanya. Kaos dan hotpants tanpa daleman. Bisa dibayangkan bagaimana seksinya Asri dengan pakaian seperti itu.
“I-iya, ada apa?” tanya Asri, ia lalu membuka pintu.
Aryanaga terperangah melihat cewek di hadapannya. Ia langsung membuang muka. “Eh, maaf. Pak RT butuh KTP untuk penghuni baru, nanti kalau kau sudah fotokopi serahkan ke aku.”
“Oh, iya. Itu aja?” tanya Asri yang mencoba mencari mata Aryanaga.
“Itu saja, kecuali kalau kamu kebingunan pergi ke kampus,” jawab Aryanaga yang masih melihat ke arah lain.
Asri merasa aneh. Dia lalu melihat dirinya. Baiklah, ia tahu apa yang membuat Aryanaga membuang mukanya. Ia terlalu seksi bahkan payudaranya nyaris terlihat jelas. Ia langsung menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian tubuhnya yang tercetak.
“Maaf, aku tak sengaja,” ucap Aryanaga. “Kalau kamu butuh sesuatu bisa menghubungiku. Nomor teleponku sama seperti nomor telepon di papan di pagar itu.”
Wajah Asri memerah. Ia mundur beberapa langkah. Aryanga segera meninggalkan tempat tersebut. Asri menutup pintau kamar. Sudah pasti dia sangat malu dengan peristiwa tadi. Sebenarnya bisa saja ia tidak membuka pintu dan berbicara dari balik pintu saja, daripada menemui cowok dengan pakaian seperti itu. Asri lupa kalau si pemilik adalah cowok tulen, biasanya karena dulu ia tinggal di kos cewek berpakaian tanpa daleman sudah biasa karena yang melihat juga sama-sama cewek. Tapi Ya Tuhan! Ini cowok, cakep, tajir dan perawakannya sok cool. Rasanya Asri ingin menenggelamkan wajahnya ke kawah Gunung Bromo.
* * *
Asri tak mungkin berjalan kaki untuk pergi ke kampus. Dia memilih untuk naik angkot, biarpun angkot sudah mulai tergerus dengan adanya ojek online ataupun taksi online, tapi bagi mahasiswa dan pelajar, angkot masih dibutuhkan. Akibat tempat kosnya jauh, maka dia butuh waktu lebih lama untuk sampai ke kampus. Di kampus ia sudah bertemu dengan Tyas di depan ruang kuliah.
“Hei, As?” sapa Tyas.
“Eh, hai,” sahut Asri. Dia hari ini memakai kemeja kotak-kotak warna biru putih lengan panjang yang digulung sesiku. Meskipun memakai baju yang kelihatannya norak, tetapi dia masih bisa menampakkan pesonanya. Hal itu kadang membuat perempuan lain yang melihatnya merasa iri. Asri memang punya daya tarik sendiri. Terlebih semenjak ia masuk kampus sudah banyak sekali cowok-cowok yang sekedar say hi atau menanyakan kabar.
“Gimana tempat kosnya?” tanya Tyas.
“Bagus kok. Nyaman, aku langsung tidur setelah masukin barang kemarin, trus hawanya dingiiiin banget,” jawab Asri.
“Iyalah, deket ama Batu,” jawab Tyas.
“Kau pindah kos?” celetuk Icus.
“Ih, Icus. Nimbrung aja,” gerutu Tyas. Dia tak suka cowok itu ikut nimbrung setiap pembicaraan.
“Tapi aku heran, apa Aryanaga itu anak baru ya? Baru lihat aku kemarin dia ikut perkuliahan,” ucap Asri.
“Sama, aku juga heran kok kelihatannya dia tak pernah ikut perkuliahan kita. Apa dia dari anak fakultas lain?” Tyas ikut bertanya-tanya.
“Kalian ngomongin siapa?” tanya Icus.
“Kamu pernah tahu anak yang namanya Aryanaga?” tanya Asri ke Icus.
“Aryanaga? Maksudmu cowok rambut jabrik yang suka ikut kuliah?” tanya Icus memastikan.
“Kamu tahu?”
Icus mengangguk.
“Wah, kenapa nggak bilang?” kata Tyas.
“Kalian nggak tanya,” jawab Icus. “Dia mahasiswa lama kok, hanya saja pernah cuti. Trus sekarang masuk lagi. Dia anak yang unik.”
“Unik gimana?” tanya Tyas penasaran.
“Uniknya, dia itu sering masuk ke kelas-kelas perkuliahan yang bukan jurusannya. Dan dia sangat menguasai setiap perkuliahan yang dia ikuti. Sering juga bantu anak-anak yang kesulitan, meskipun dia tak begitu populer sih karena sering menyendiri,” jelas Icus. “Kenapa kalian penasaran?”
“Dia kemarin baru buka tempat kos di rumahnya,” jelas Tyas.
“Serius? Wah, baru tahu. Soalnya dia orangnya tertutup sih.”
Mendengar penjelasan Icus, Asri merasa kalau Aryanaga ini menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Asri melemparkan pandangannya ke arah lain, di saat itulah pemuda yang mereka bicarakan berjalan dari kejauhan menenteng ransel di punggungnya. Kedua mata Asri dan Aryanaga kembali bertemu. Tiba-tiba wajah Asri bersemu merah kalau mengingat kejadian tadi pagi. Ia segera bergegas masuk ke dalam kelas.
“Eh, Asri! Tunggu!” seru Tyas. Icus pun mengikuti mereka.
Selama perkuliahan berlangsung Asri mencuri-curi pandang ke Aryanaga. Setiap kali ia melihat cowok itu, kembali peristiwa memalukan tadi pagi tercetak di benaknya. Dia benar-benar ingin menenggelamkan wajahnya ke kuah bakso nanti siang.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Tyas.
“Nggak apa-apa, cuma teringat peristiwa memalukan,” jawab Asri.
“Peristiwa memalukan apa?” Tyas penasaran.
“Ntar deh aku ceritain,” jawab Asri.
* * *
“Bwahahahahahaha,” suara tawa Tyas langsung pecah setelah Asri menceritakan apa yang terjadi. Untungnya mereka berada di tempat sepi sehingga tak ada orang yang melihat. “Aku malu, anjir!” Asri mengerucutkan bibirnya. “Aku lupa kalau ini bukan kosku yang lama. Kan kosku yang lama kos cewek. Kalau pun seharian mondar-mandir nggak pake bra juga nggak masalah, kan tamu cowok hanya diterima di depan, nggak sampai masuk kamar. Lha ini? Aduh, benar-benar memalukan.”“Kalau aku jadi kau, aku nggak mau lagi ketemu ama dia,” ujar Tyas. “Gimana nggak ketemu coba. Itu kamu kan nyaris telenji!”
“Wong edan, nyari di mana?” tanya Tyas saat Asri membujuknya untuk mencarikan tempat kos baru. “Tempat kosmu itu sudah cukup bagus loh, bahkan letaknya nggak mudah dilacak orang. Baru juga satu malam kamu nginep situ.”Asri sedari tadi menutupi wajah dengan kedua lengannya. Mereka sedang berada di salah satu gazebo yang ada di area kampus. “Aku kan cuma penasaran saja tadi. Soalnya aku itu paling gatel kalau lihat ada cowok mau baca buku, semacam seksi gitu,” ujar Asri jujur.“Sompret! Kadang aku nggak ngerti sih jalan pikiranmu,” ucap Tyas sambil memutar bola matanya.
Jam 00.00 Asri baru keluar dari kantor. Shift sore, pulang tengah malam. Ini adalah rutinitas dia sehari-hari. Mau bagaimana lagi, kalau dia tidak bekerja seperti ini ia tidak akan survive. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya ini bisa dia gunakan untuk membayar perkuliahan, juga untuk makan dia sehari-hari. Asri sudah pantang meminta bantuan keluarganya meskipun harta keluarganya tidak akan habis hingga tujuh turunan maupun tujuh tanjakan. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya kalau ia bisa mandiri tanpa bantuan mereka. Asri masih berada di teras kantornya, duduk di bangku menunggu jemputan taksi online. Dari layar ponselnya, posisi kendaraan tersebut terlihat merambat cukup pelan tapi pasti. Lima menit lagi mobil itu sampai di kantornya.
3 tahun yang laluKoper besar berisi pakaian sudah disiapkan Asri. Dia bertekad untuk pergi. Satu hal yang pasti ia akan merindukan kamar ini. Kamar yang menemaninya dari kecil sampai dewasa. Ia juga akan rindu dengan sobat kecilnya yang berada di dalam kotak kaca. Seekor tokek atau bunglon atau mungkin iguana, Asri tak bisa memastikannya. Namun, yang pasti hewan tersebut sudh jinak, karena dipelihara selama beberapa bulan. Setiap hari dia memberinya makan dan rasa sayang mulai tumbuh di hati Asri. Dia beri nama hewan kecil itu Damar.Perjuampaannya dengan Damar memang unik. Saat itu sedang ada kegiatan naik gunung di Lereng Gunung Lawu. Dia menemukan reptil ini nyaris terluka di sekujur tubuhnya. Asri menolong reptil itu tanpa takut, sedangkan teman-teman yang lainnya merasa jijik. Dia langsung tertarik dengan hewan itu, selain bentuknya yang unik, Asri juga memang penyayang bin
Malang, sekarangPonsel Asri berbunyi, ia terbangun. Matanya masih setengah terbuka sambil ia meraih-raih ponselnya yang ada di ranjang. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Asri mengernyit. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Dia terlambat bangun.“Halo, siapa ya?” sapa Asri.“Aku Aryanaga,” jawab suara di teleponnya.Asri terkejut. Dia menatap layar ponselnya. Dari mana cowok itu tahu nomor teleponnya. “Kok kamu tahu nomor teleponku?”“Dari aplikasi taksi online,” jawab Aryanaga. “Aku kemarin belum minta nomor teleponmu. Jadinya kebetulan aku lihat di aplikasi ada nomormu.”“Ehm... begitu,” ucap Asri sambil menggeliat.“Mau sarapan gratis?” tawar Aryanaga.“Hah? Sa
Gunung Lawu, beberapa tahun yang laluMimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap d
Kota Malang, sekarangAryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah men
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p