Tersebutlah seorang bocah ajaib, putra perawan suci bernama Dasimah yang mengandung tanpa berhubungan badan dengan sebarang lelaki. Dasimah diasingkan selama masa mengandungnya yang singkat dan ajaib. Persalinannya lancar, atau demikianlah yang Dasimah yakini. Ia tidak sepenuhnya sadar selama masa persalinannya.
Setelah mengandung selama tak lebih dari tujuh hari, Dasimah menjadi ibu bagi seorang putra yang mengenalkan dirinya sebagai Arya Tarachandra, ia mengaku sebagai putra titisan. Untuk mengetahui bagaimana Dasimah sampai bisa jadi perawan terpilih, kita akan berkunjung ke suatu hari bersejarah dalam hidup Dasimah, Sri Wedari, dan Arya Tarachandra sendiri ....
Hari itu hujan rintik-rintik sedang mengguyur Dukuh Telagasari. Gerimis ini sudah berlangsung sejak pagi, dan tidak kunjung berubah menjadi hujan lebat hingga sore menjelang. Di beranda gubuk mereka, Dasimah sudah tidak bisa lagi menahan diri lebih lama. Tidak ada apa pun di dapur mereka yang bisa dimasak saat ini. Ditolehnya sang ibu, Sri Wedari, yang duduk termenung di atas dingklik.
"Aku akan ke hutan, memetik umbi-umbian untuk kita berdua," ujar Dasimah, bukan meminta izin, tapi berpamitan.
Sri Wedari mendiamkan diri. Hendak dilarangnya Dasimah pergi dalam cuaca hujan begini, dia khawatir mereka berdua tidak akan bisa tidur tenang karena perut kosong malam nanti. Mau diizinkan saja anak gadisnya itu pergi, hatinya pun cemas.
Dasimah sudah sering ke hutan, tapi selalu saat cuaca sedang bagus. Kalau saja hari sedang cerah, Sri Wedari tentu akan mengiyakan tanpa pikir-pikir. Larut dalam bimbangnya, Sri Wedari tidak menyadari ketika Dasimah sudah pun mengambil caping dan berjalan cepat keluar gubuk.
"Jangan lama-lama, Dasimah. Ambil seperlunya saja dan segeralah pulang!" seru Sri Wedari dari dalam gubuk. Entah terdengar oleh putrinya itu, entah tidak.
Dasimah sudah saja masuk ke dalam hutan tak lama setelah meninggalkan gubuk dengan tergesa-gesa. Bakul yang dibawanya mulai diisi dengan pucuk-pucuk muda. Saat wadah itu sudah terisi hampir setengah, dan Dasimah baru saja memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, lamat-lamat dia mendengar suara erangan.
Bukan erang menakutkan, tetapi lebih kepada erang kesakitan. Lemah saja, tapi entah mengapa bisa sampai terdengar ke telinga perawan itu, seolah memang sudah ditakdirkan.
Dasimah sejenak membeku. Ini bukan kali pertama ia masuk hutan seorang diri. Hutan ini sudah bagai rumah kedua baginya. Ia hapal setiap pohon, setiap semak, setiap belukar berduri, dan bahkan kini ia tahu dengan tepat dari mana erang kesakitan itu berasal.
Dasimah membeku bukan karena ketakutan. Ia tidak takut pada hutan. Saat ini Dasimah membeku karena merasa erangan itu memang ditujukan buatnya, seolah memerintahnya untuk datang.
Erang itu terdengar lagi.
"Tidak, aku harus pulang. Tolong jangan halangi ...."
Dasimah berucap sendiri. Dipeluknya bakul lebih erat ke dada dan berjalan menjauh dari sumber erangan yang sudah diketahui arah asalnya itu. Dasimah hanya mampu berjalan sejauh tiga langkah, karena kebaikan di dalam dirinya berkata lain, karena ia tak kuasa melawan perintah tak kasat mata dari erang misterius itu.
'Bagaimana kalau ada seseorang yang benar-benar butuh ditolong?' batin Dasimah. Ia mencoba mengenakkan perasaan sendiri, kalau dirinya memutuskan untuk memeriksa bukan karena perintah tak kasat mata itu, tapi karena hati nurani.
Berpikir kalau bisa jadi di sana ada seseorang yang sedang benar-benar butuh ditolong, Dasimah berbalik dan berjalan cepat menuju telaga yang berjarak belasan tombak dari tempatnya memetik umbi-umbian. Dasimah yakin dari arah telaga di sanalah erang kesakitan itu datang.
Benar saja. Di tepi telaga, diombang-ambingkan dengan lembut oleh riak permukaan air telaga, Dasimah menemukan sesosok tua serba putih menggeletak setengah terapung di celah-celah bebatuan. Rambut dan janggut sosok tua itu panjang menjuntai dan sudah putih seutuhnya. Kini tampak serupa liukan asap putih di dalam air. Begitu pun dengan pakaiannya yang juga putih, mengambang ringan di dalam air telaga nan jernih.
Nasib baik sepertinya masih berpihak pada siapa pun adanya sosok di dalam telaga itu, kepalanya tidak tenggelam penuh ke dalam air, tapi disangga batu-batu kecil yang menghampar di seluruh tepian telaga. Batu-batu itu menyangga wajah si orang tua tetap di atas air, membuatnya tetap bisa bernapas.
Dasimah sejenak kembali membeku. Saat erangan itu keluar lagidari mulut si orang tua, perempuan itu meletakkan bakulnya ke tanah lalu dengan segera menghampiri sosok di tepi telaga.
"Ki, apa yang menimpamu sampai bisa terapung di telaga ini?"
Pertanyaan Dasimah tidak mendapat sebarang jawaban. Tanpa pikir panjang, ia menarik kedua lengan lelaki tua serba putih itu dan menyeretnya lebih ke tepi, keluar dari celah-celah bebatuan. Saat sudah ditolong keluar dari air, sosok tua itu membuka matanya. Dia menyorot Dasimah dengan pandangan teduh.
"Selamatkan negeri ini dari kegelapan, Cah Ayu ...."
Dasimah mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak tahu apa yang diracaukan sosok tua itu. Saat tangan si orang tua mengangsur padanya, saat itulah Dasimah sadar kalau di tangannya si orang tua memegang sebuah cawan bertutup. Cawan itu terbuah dari perak. Ajaib sekali tutupnya tidak tercecer di air.
"Benda apa ini, Ki?" Dasimah bertanya. Sampai tangan orang tua itu sudah terulur tepat ke depannya, ia masih belum berani mengambil benda berupa cawan tersebut.
"Terimalah, Cah Ayu, selamatkan negeri ini dari kegelapan," ulang sosok tua itu.
Meski tidak paham maksud ucapan orang, Dasimah mengulurkan tangan juga untuk menyambut cawan perak itu. Yang Dasimah anehkan, tangannya seolah bergerak sendiri, mendahului perintah otaknya. Tepat ketika kedua tangan Dasimah sudah menangkup cawan perak tersebut, seketika sosok putih yang ditolongnya keluar dari telaga itu berubah menjadi asap putih dengan serta merta.
Dasimah terkesiap. Untuk pertama kalinya sejak mengakrabi hutan ini, Dasimah ketakutan. Kakinya gemetar dan dia jatuh terduduk. Matanya terbelalak menyaksikan bagaimana asap putih yang menjelma dari sosok tua serba putih tadi bergerak meliuk-liuk sebentar di udara sebelum menukik tajam lalu menembus masuk ke dalam cawan perak di dalam tangannya.
Dasimah merasakan sengatan di telapak tangannya. Perempuan muda itu terpekik dan menjatuhkan cawan dari genggaman. Aneh sekali, kali ini tutup cawan itu terbuka begitu menggeletak jatuh di tanah, padahal saat tenggelam di dalam telaga tidak begitu. Dasimah menyaksikan dengan pucat ketika asap panjang yang tadinya masuk ke dalam cawan kini kembali bebas, meliuk-liuk sebentar di udara sebelum menukik turun menuju perutnya.
Sekali lagi Dasimah terpekik sebelum pingsan sepenuhnya, tepat ketika seluruh asap putih dari cawan perak itu masuk ke dalam dirinya.
Andai saja Dasimah bukan perawan suci terpilih, andai saja ia sudah tak lagi suci meski belum dikawini siapa pun, tangannya tidak mungkin tersengat saat memegang cawan perak ketika asap putih itu masuk ke sana. Kalau saja Dasimah bukan lagi perawan, asap itu akan tetap di dalam cawan, menunggu seorang perawan suci menyentuhnya untuk lalu membebaskan asap jelmaan orang tua serba putih itu.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui, Dasimah adalah perawan suci sehingga ia merasakan sengatan saat asap itu masuk ke dalam cawan. Maka ia membuat asap itu bebas dari cawan dan memilih untuk masuk ke dalam tubuhnya.
***
- Berlanjut ke Bab 3 -
"Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere
Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”
Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,
"Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b
Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec