LOGINSurya menyeringai dingin. "Permaisuri benar-benar mengira dirinya sudah berkuasa atas segalanya.""Apa Pangeran sudah mendapat kabar baru?" tanya Abimana.Surya melangkah ke meja, membuka gulungan peta kasar ibu kota yang terbentang di atasnya. "Kaisar dan Putra Mahkota kini ditahan di Istana Ungu, dijaga ketat oleh orang kepercayaan Permaisuri. Separuh dari para pejabat istana sudah berada di bawah kendalinya, sementara separuh lainnya masih dibutakan oleh kebohongan."Abimana menatap peta itu dengan saksama, pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar. "Kita harus menemukan cara untuk menyelamatkan Kaisar dan Putra Mahkota, sekaligus mengungkapkan rencana jahat Permaisuri. Tapi dengan kekuatan kita saat ini ....""Nggak perlu banyak orang." Suara Surya terdengar dalam dan tegas, membuat hati Abimana bergetar."Maksud Pangeran ... masuk ke istana sendirian?"Surya mengangguk pelan. "Aku sudah memerintahkan orang untuk menyelidiki jadwal pergantian penjaga di pasukan istana. Akan ad
Sementara itu, di ibu kota.Abimana berbaur di antara rombongan pedagang yang perlahan bergerak menuju gerbang kota.Punggungnya sedikit membungkuk. Dia sengaja meniru postur letih khas pedagang yang telah lama mengembara. Dia menurunkan capingnya , sementara matanya meneliti sekeliling.Jumlah penjaga di gerbang kota kini setidaknya tiga kali lipat lebih banyak dari biasanya. Setiap orang yang hendak masuk diperiksa dengan teliti, bahkan barang dagangan pun dibongkar satu per satu.Meskipun mereka sudah memperkirakan hal itu sebelumnya, Surya tetap memutuskan untuk berpisah dengannya, memasuki kota lebih awal pada malam sebelumnya. Meskipun demikian, Abimana tetap merasa tegang."Dari mana asalmu? Apa pekerjaanmu?" Salah satu penjaga yang berwajah bengis menghentikannya, menatapnya dari atas ke bawah dengan mata besar.Abimana tersenyum sopan. Suaranya dibuat serak dan rendah, disertai logat khas daerah selatan. "Tuan, aku datang dari arah selatan. Aku menjual sutra dan teh dalam skal
Andini berpikir bahwa Bilal mungkin hendak membawanya ke Paviliun Pustaka, jadi dia langsung menyahut dan buru-buru keluar dari kamar.Bilal sudah menunggunya tidak jauh dari sana. Begitu melihat Andini mendekat, dia pun memimpin jalan menuju ke dalam lembah.Lembah Raja Obat memang tersembunyi di antara pegunungan. Setiap perbatasan antara satu gunung dengan gunung lainnya pun sangat terjal.Paviliun Pustaka itu terletak di antara dua gunung di sisi barat. Tak heran selama lebih dari sepuluh hari berada di Lembah Raja Obat, Andini sama sekali belum menemukan tempat ini.Andini sama sekali tidak menyangka Paviliun Pustaka ternyata begitu megah dan luas. Ketika mendongak, tebing setinggi ribuan meter itu tampak seperti dibelah paksa hingga membentuk celah besar yang menyeramkan.Sembilan atap melengkung dan menjulang seperti cakar baja hitam, menembus keluar dari dinding batu gunung.Di sisi kiri tebing, terdapat tangga yang dipahat langsung dari batu karang. Lebarnya tak lebih dari sat
Andini menaikkan alis. "Di Paviliun Pustaka ada cara untuk menetralisasi racun itu?""Tentu saja ada," jawab Bilal."Kamu nggak sedang menipuku, 'kan?" tanya Andini lagi.Bilal langsung mengerutkan alis. "Apa aku tampak seperti orang yang suka berbohong?"Bagaimanapun, dia memang tidak pernah mengatakan secara jelas bahwa di ruang bacanya ada cara menyembuhkan racun itu.Andini hanya menggeleng pelan, tampak tak berdaya, lalu kembali bertanya, "Kalau ternyata di Paviliun Pustaka nggak ada cara untuk menetralisasi racun itu, bagaimana?"Bilal menepuk dadanya dan menjawab dengan lantang, "Kalau begitu, kepalaku ini boleh kamu penggal dan dijadikan bangku untuk duduk!"Andini terdiam, tidak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia lalu menyobek sepotong roti kering dan memasukkannya ke mulut sambil bergumam, "Yang kamu kasih cuma hal-hal yang nggak berguna."Mendengar itu, Bilal hampir saja melompat karena marah. "Dasar gadis kurang ajar! Apa katamu barusan?"Andini terkekeh-kekeh. "Aku nggak
Cahaya bulan menembus celah dedaunan yang lebat, menebarkan kilau yang berpendar di tanah.Andini menunjuk ke arah kabut beracun di kejauhan dan berkata, "Kabut itu beracun, tapi singa suci bisa hidup di dalamnya sepanjang tahun. Aku pikir itu bukan karena mereka menyukai kabut itu, tapi karena mereka nggak punya tempat lain untuk ditinggali.""Lalu aku perhatikan, di Gunung Kinul ini buah berma tumbuh di mana-mana. Hanya di tempat yang diselimuti kabut beracun saja nggak ada. Jadi aku berpikir, mungkin buah itu ada gunanya. Aku pun memetik beberapa dan mencobanya.""Mencoba?" Bilal menatap Andini dengan mata membelalak. "Bagaimana kalau ternyata nggak berhasil?"Bagaimana kalau singa suci itu sama sekali tidak takut dengan buah itu?Andini hanya tersenyum. "Tapi nyatanya berhasil, 'kan?"Bilal terdiam, tak bisa membantah. Dia hanya menggeleng, dalam hati merasa bahwa watak Andini benar-benar mirip dengan Wulan. Nekat, keras kepala, tetapi juga cerdas.Saat dia masih berpikir, Andini t
Di sisi lain, Bilal sedang berhadapan dengan tiga ekor singa suci yang setiap saat bisa kembali menyerang. Situasinya benar-benar tidak berdaya.Bukan berarti dia belum pernah masuk ke Gunung Kinul atau belum pernah bertemu dengan makhluk buas itu, tetapi sebelumnya setiap kali dia dan Bahlil datang ke sana, mereka paling-paling hanya akan bertemu dengan singa jantan itu. Siapa sangka ternyata masih ada dua ekor singa betina!Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengantar Bahlil keluar dari tempat itu. Namun, kini ketiga singa suci itu tampak sangat membencinya. Serangan mereka bergantian, cepat dan mematikan, seolah-olah ingin menguras habis sisa tenaganya hingga tewas di tempat.Waktu berlalu perlahan. Senja mulai turun dan kabut beracun pekat menggulung di antara pepohonan, seperti selembar kain hitam tebal yang menutupi seluruh hutan, membawa keheningan yang mencekam.Andini menggenggam erat buntalan di pelukannya sambil berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan peta. Daun-dau






