เข้าสู่ระบบEnes pergi ke dapur dan menyiapkan dua porsi daging serta satu porsi sayur untuk Andini. Saat membawa makanan ke depan pintu kamar Andini, dia secara refleks menarik napas dalam-dalam. Meskipun terpaksa, memang terasa agak tidak pantas mengunci Andini seperti itu. Oleh karena itu, nada bicaranya pun tiba-tiba menjadi jauh lebih lembut."Andin, Kak Enes sudah buatkan makanan, cobalah dulu," kata Enes.Namun, tidak ada reaksi dari dalam kamar itu.Enes mengira Andini pasti sedang marah, sehingga dia mengosongkan satu tangan untuk membuka pintu. Dia melihat Andini sedang duduk di depan meja dengan secangkir teh di tangannya dan ekspresi datar, tetapi Andini tidak meliriknya sedikit pun. Melihat itu, Andini jelas sekali sedang marah.Dia yang memang merasa bersalah pun hanya bisa tersenyum. "Bahkan kakak iparmu pun memuji masakan Kak Enes. Ayo, coba dulu."Saat mengatakan itu, Enes melangkah masuk ke dalam ruangan.Namun, tak diduga, debu dari balok kayu tua di atas kepala Enes tiba-tiba b
Mengetahui Enes sedang mengkhawatirkannya, Andini tersenyum makin cerah. "Kak Enes, tenang saja, sekarang aku adalah Kepala Lembah dari Lembah Raja Obat."Mendengar perkataan itu, Enes sempat mengira dia sudah salah dengar. Dia menatap lurus ke arah Andini cukup lama, lalu bertanya, "Kamu ... bilang apa? Kepala Lembah dari Lembah Raja Obat?""Ya."Andini menganggukkan kepalanya. "Sekarang aku ini sudah hebat. Ilmu pengobatanku hebat, kemampuanku menawarkan racun juga hebat. Kalau aku pergi ke Negara Tarbo, aku pasti bisa membantu Kak Rangga."Setelah menatap Andini seperti itu cukup lama, Enes baru akhirnya mengerti maksud Andini. Namun, dia langsung mengibaskan tangannya dan berkata, "Nggak boleh, nggak boleh pergi."Namun, Andini tetap bersikeras. "Kak Enes!"Enes mengernyitkan alisnya. "Nggak ada diskusi. Meskipun ilmu pengobatan dan kemampuan menawarkan racunmu hebat, tapi apa gunanya? Kalau Keluarga Gutawa menangkapmu, kamu pernah pikir apa yang akan terjadi? Mereka ingin kamu men
Surya sebenarnya tidak mendengar terlalu banyak tentang perkataan Ikhsanun. Dia merasa orang-orang Keluarga Gutawa tidak bisa dipercaya, termasuk Ikhsanun. Bagaimanapun juga, saat itu Rangga pergi bersama orang-orang Keluarga Gutawa, tetapi sekarang semua kesalahan malah dialihkan ke Pangeran Kedua. Apa saja yang sudah terjadi di balik layar, semuanya masih penuh tanda tanya.Kedua mayat yang berada di dalam ruangan sudah dibawa pergi dan bekas darah pun sudah dibersihkan, tetapi udaranya masih dipenuhi bau amis yang samar-samar. Sedikit demi sedikit, semua itu menekan dan mengusik saraf Surya.Surya menahan tatapannya yang dingin, lalu menoleh ke arah Ikhsanun dan berkata, "Tuan Ikhsanun, istirahatlah yang baik. Malam ini, para pembunuh itu seharusnya nggak akan datang lagi."Ikhsanun menganggukkan kepala saat mendengar perkataan itu, lalu kembali berterima kasih. "Terima kasih untuk malam ini, Pangeran Surya."Surya tersenyum, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya sendiri.Keesokan h
Surya berpikir malam ini sepertinya tidak akan tenang.Saat larut malam tiba, pos pemberhentian itu tenggelam dalam keheningan.Surya berbaring di atas ranjang dengan tanpa melepaskan pakaiannya dan sebuah belati yang telah terhunus berada di samping tangannya. Cahaya bulan menembus kisi-kisi jendela dan meninggalkan bayangan samar-samar di lantai.Saat tiba-tiba terdengar suara genting yang diinjak seseorang dengan pelan dari atap, mata Surya langsung terbuka. Dia menahan napas, lalu bangkit dari ranjang dengan pelan. Pada saat itu, terdengar suara benturan dari kamar sebelah tempat Ikhsanun menginap dan diikuti suara bertarung. Tanpa ragu sedikit pun, dia keluar dari kamar dan langsung menendang pintu kamar Ikhsanun hingga terbuka.Di dalam kamar, tiga pria berpakaian hitam sedang mengepung Ikhsanun. Salah satu pedang panjang mereka telah merobek lengan bajunya dan darah menetes dari lengannya ke lantai.Melihat itu, Surya segera memelesat masuk dan menusuk ke arah pembunuh yang pali
Setengah bulan kemudian.Musim hujan di Negara Tarbo datang lebih awal dibandingkan Negara Darsa. Semalam turun hujan lebat di Kota Yuzo sampai butir-butir air hujan turun sepanjang malam, seolah-olah ingin menutupi seluruh kota dengan air hujan.Surya berdiri di depan jendela penginapan sambil memegang erat surat kiriman burung yang baru saja diterimanya. Dia sangat mengenal tulisan di atas kertas, itu adalah tulisan dari Enes. Jemarinya mengusap tepi kertas surat itu untuk memastikan tanda rahasia yang nyaris tak terlihat itu. Sepertinya, Enes memang benar-benar selamat.Saat itu, terdengar suara langkah kaki di belakang Surya. Ternyata yang melangkah masuk itu adalah Ikhsanun dengan jubah sutra biru dan token besi hitam di pinggangnya yang bergoyang dengan lembut. "Pangeran Surya, sekarang kamu sudah boleh tenang mengikutiku ke ibu kota."Surya membakar surat itu di atas nyala lilin, lalu menyaksikan kertas itu berubah menjadi abu. "Ternyata Tuan Ikhsanun benar-benar menepati janji.
Tatapan Surya berkilat tajam. Ternyata tempat persembunyian Enes pun sudah diketahui pihak lawan. Keluarga Gutawa memang tidak bisa diremehkan."Kalau begitu, untuk apa Tuan Ikhsanun muncul hari ini?" Suara Surya terdengar lebih tenang, tetapi masih mengandung kewaspadaan.Ikhsanun menggulung kembali kain sutra itu dan menyimpannya ke dalam lengan bajunya. "Untuk mengantar Pangeran ke ibu kota.""Oh?" Surya menaikkan alis. "Sebagai tahanan?""Sebagai tamu," koreksi Ikhsanun. "Kepala keluarga kami ingin bertemu denganmu."Baru saja kalimat itu dilontarkan, Enes langsung berseru, "Kak, jangan pergi!"Keluarga Gutawa berkuasa mutlak di Negara Tarbo. Jika Surya mengikuti Ikhsanun ke ibu kota, bukankah itu sama saja dengan masuk ke sarang harimau?Namun, Surya harus pergi. Karena semua saudaranya kini berada di tangan Keluarga Gutawa. Sekalipun yang menantinya di ibu kota Negara Tarbo adalah jurang api, dia tetap harus ke sana.Surya menatap Ikhsanun dengan tenang dan berkata dengan suara b







