Dia Elden Clay. Laki-laki yang sekarang sedang duduk di bawah payung besar dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di batang hidungnya yang tinggi. Di saat semua staf tengah berjuang melawan teriknya matahari di lokasi shooting itu, El malah dengan nyaman berselonjor, meluruskan kakinya yang panjang di atas kursi santai.
“Air,” perintahnya sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada. Poni pirangnya bergerak-gerak ditiup angin. Tak sampai satu menit, sebotol air mineral muncul begitu saja di depan wajahnya. El menggerak-gerakkan telunjuk di depan wajah penata rias yang menyodorkan botol itu. Gadis muda itu nyengir, paham kalau air yang dimaksud oleh El bukan sekedar air bening biasa.
“Mas Elden mau minum apa? Jus?” tanyanya pelan.
El yang sejak tadi memasang wajah tanpa minat segera duduk, menegakkan punggung, kemudian melepas kacamata hitamnya. “Harlan nggak bilang sama lo kalau gue nggak minum air mineral dalam botol plastik?”
Gadis itu tampak kebingungan beberapa saat. Sebelum El mengatakan hal lain yang mungkin akan membuatnya dipecat, seorang pria berambut hitam dengan kemeja pas badan yang sangat rapi muncul menyelamatkannya. Harlan Aditya.
Harlan menarik tangan El dan meletakkan botol kaca yang masih berembun dalam genggaman El sambil memberi isyarat pada gadis yang baru saja menarik napas lega itu.
“Mau sok jadi pahlawan sampai kapan?” El mencibir sambil mulai meneguk air itu dengan gaya yang sengaja dibuat-buat. Mungkin di mata para penggemarnya, adegan minum air yang baru saja dilakukan El terlihat seperti salah satu scene iklan minuman yang dibintangi El.
Elden mendongak, menempelkan ujung botol itu ke bibirnya yang kemerahan. Menuang isinya perlahan dan menenggaknya satu-satu. Jakunnya bergerak-gerak dan tetesan air itu sedikit tumpah melalui ujung bibirnya. Mengalir membasahi dagu hingga lehernya….
Tapi tidak bagi Harlan.
“Elden Clay.” Harlan menatap El serius.
Menyadari ada nada lain dalam panggilan Harlan, El segera menghentikan aksinya. Selama delapan tahun, Harlan hanya memanggil El dengan nama lengkap kalau ... “Ada sesuatu yang urgent?”
Harlan menarik napas berat dan mengangguk.
El berdecak. “Shooting tambahan?”
Harlan menggeleng.
“Lalu? Gosip lagi?”
“Bukan, El.”
El kelihatan mulai jengah dengan aksi tebak-tebakan yang dibuat Harlan. Ia hampir saja memukulkan botol kaca yang ada di tangannya ke kepala manajernya itu. “Jadi apa?!”
“Barusan ada telepon dari Pak Hadian Munir.”
Alis El bertaut. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar nama Hadian Munir. Pria bertubuh gemuk itu adalah pengacara yang ditunjuk oleh Rumah Cinta sebagai perwakilan mereka. Ini pasti karena perjanjian itu. Perjanjian yang dibuat El belasan tahun lalu sebelum El meninggalkan Rumah Cinta. Perjanjian yang harus ditandatangani oleh setiap penghuni Rumah Cinta untuk ditepati suatu saat nanti.
“Maksud lo....”
Harlan mengangguk mantap dan itu terlihat sedikit menakutkan bagi El. Ini bukan masalah uang atau apa. Ini tentang tanggung jawab yang akan ia pikul di masa depan setelah ia menerimanya. “Waktunya sudah tiba untuk kamu, El. Sekarang giliran kamu yang merawat mereka.”
“Mereka?”
“Ah, maksudku dia.” Harlan meralat ucapannya sendiri.
“Dia?”
“Ya. Namanya Abigail. Perempuan. Limabelas tahun. Mulai besok dia akan tinggal dengan kamu. Di apartemenmu. Berbagi meja makan, kamar mandi, dan ruang televisi dengan kamu....”
El memundurkan tubuh sampai kepalanya membentur sandaran kursi yang ia duduki. Apa yang dikatakan Harlan barusan seperti dialog dalam film horor yang pernah dibintanginya. Diiringi suara menggema dengan efek musik yang mencekam. Dan, sekarang itu berputar-putar persis di dalam kepala El. “B-b-besok?!”
Harlan menarik napas panjang. “Selamat, El. Kamu sudah menjadi ayah,” katanya sambil menepuk pundak El pelan dan tersenyum sumringah.
***
El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb
Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te
Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 
“El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann
Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej
El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El.