Share

She Is Abigail

Apa ini? Kenapa El merasa hidupnya akan segera berubah dalam satu hari? Ia masih sangat muda dan sekarang ... seseorang harus menjadi anaknya?

            El hampir saja membuat Harlan menabrakkan van yang mereka kendarai ke pembatas jalan dalam perjalanan ke kantor ‘Hadian Munir and Partner’ tadi. El mengomel tanpa henti, mengacak-acak rambut sampai kunciran di belakang kepalanya terlepas, menghempas-hempaskan tubuhnya ke jok, dan menarik kerah kemeja Harlan hingga membuat dua kancingnya terlepas.

            “El! Bisa tenang sebentar enggak sih?”

            El menggeram. “Tenang gimana? Sebentar lagi gue bakal punya peliharaan! Lo tahu kan, gue bahkan nggak pernah ngelihat seekor anak nyamuk pun di apartemen. Dan sekarang gue harus ngurusin anak manusia? Limabelas tahun dan dia perempuan!”

            Harlan memperbaiki kemejanya yang sudah tak keruan sambil mulai konsentrasi lagi ke jalanan. Ia tahu ia hanya seorang manajer. Tapi, mati muda karena kecelakaan lalu lintas sama sekali bukan impiannya. “Itu kan udah konsekuensi! Kamu sendiri yang bilang kalau semua anak yang ada di Rumah Cinta itu bersaudara. Semua saling bantu. Kamu sekarang udah mapan dan sekarang saatnya kamu yang membantu mereka.”

            El membuang muka keluar jendela. “Tapi nggak harus tinggal di apartemen gue, kan?”

            “Semua itu sudah tertulis di atas kertas dan kamu sendiri yang menandatanganinya dulu.”

            “Itu dulu. Waktu gue adalah seorang anak yang nggak punya siapa-siapa di Rumah Cinta. Sebelum gue tahu kalau gue bakal jadi artis dan terkenal kayak sekarang!”

            Harlan menoleh sedikit sinis. Tidak menyangka El akan mengatakan hal-hal seperti itu tentang rumah yang pernah ditinggalinya dulu. “Jangan bilang kamu udah lupa tentang masa lalu kamu….”

            El mengatupkan giginya rapat-rapat. “Masalahnya bukan itu, Lan! Gue bisa menambah jumlah donasi ke Rumah Cinta, atau memberikan beasiswa untuk anak-anak itu. Tapi kalau mereka harus tinggal sama gue....”

            “Sebenernya yang kamu takutkan apa sih?”

            El menarik napas berat sambil memandangi Harlan serius. “Gimana kalau anak itu ternyata fans berat gue? Terus dia ngikutin gue ke mana pun. Ngintipin gue mandi, ngerekam video, terus di-upload ke YouTube? Gimana kalau semua masalah pribadi gue tersebar gara-gara anak itu? Dia masih limabelas tahun dan gue tahu gimana psikologis mereka!” Jelas El berapi-api. “Lo nggak inget anak SMA yang nekat masuk ke apartemen gue setahun lalu? Anak SMP yang nyelinap masuk ke mobil waktu gue mau fansign?”

            Perlahan, Harlan melunak. Kenapa sejak tadi ia sama sekali tidak memikirkan itu, ya? Untuk sampai ke tempatnya sekarang, Harlan tahu persis apa yang sudah dilewati laki-laki itu. Mulai menjadi staf rendahan, figuran, bahkan jongos di lokasi shooting. Semua pernah dilakukan El. Setelah ia seterkenal ini, El masih harus menghadapi masalah lain. Mulai dari fans yang kadang-kadang tidak paham situasi, kondisi, serta mengganggu privasi El sampai gosip miring yang tidak pernah berhenti menerpa. Wajar saja kalau sekarang bocah itu merasa panik. “Sekarang kamu tenang dulu, El.”

            “Tenang gimana? Tenang dan menganggap kalau anak perempuan labil berusia limabelas tahun itu adalah seekor kucing persia imut yang memakai gaun pink berenda-renda?”

            “Kita bicara dengan Pak Hadian Munir dulu, El.” Sahut Harlan tenang. Di saat-saat seperti ini, hanya kelemah-lembutan yang bisa menenangkan El. “Dan…”

            Tatapan setengah ketakutan yang dilemparkan Harlan padanya tadi langsung dibalas pelototan oleh El. “ Dan apa?”

            Harlan terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya. “Menyamakan manusia dengan hewan peliharaan itu ... aku rasa sedikit ... tidak sopan.”

            Sebelum El menarik kerah kemeja Harlan lagi, Harlan segera menginjak rem. Mendadak. Membuat tubuh El yang tidak dilindungi seatbelt terlempar ke depan dan membentur dashboard.

v

            Melalui kaca bening yang membatasi ruangan pengacara dengan ruang tunggu, El memindai sosok yang sedang duduk bersandar di sofa kulit. Seorang gadis yang diperkirakan El hanya setinggi dadanya itu sedang duduk dengan mata terpejam, telinga ditempeli headset, dan kepala yang setengah mendongak. Rambutnya lurus, hitam, dan panjangnya sebahu. Wajahnya tirus dan pucat. Dalam sekali lihat, El bisa menyimpulkan, anak itu seperti vampir.

            “Dia?” El menoleh pada laki-laki yang seluruh helai rambutnya sudah memutih itu.

            Hadian Munir tersenyum kemudian meletakkan selembar kertas dan foto di atas mejanya. Tepat di belakang papan nama kristal bertuliskan ‘HADIAN MUNIR, SH’ yang terlihat mengilap luar biasa. “Ya. Namanya Abigail.”

            El menutup tirai pembatas yang sejak tadi digenggamnya kuat-kuat dan merapatkannya kembali. “Kenapa harus saya, Pak?”

            “Loh? Bukannya kamu sudah tahu kalau suatu saat pasti akan ada seseorang yang akan kamu urus?”

            Bahu El langsung jatuh. Kedua mata hazel-nya menatap Hadian Munir putus asa. Tadinya, El ingin mengatakan semua yang ada dalam kepalanya untuk membuat Hadian Munir mengembalikan anak itu ke Rumah Cinta, tapi saat ia menemukan selembar foto itu di depan mata, El langsung terdiam. Sesuatu yang sudah dijahitnya rapi di dalam ingatan kembali robek karenanya.

            Foto yang berusia puluhan tahun itu tampak pudar sekali dengan bekas lipatan yang kentara, nyaris membuatnya terbelah menjadi tiga bagian. Foto yang diambil di depan papan besar bertuliskan ‘Rumah Cinta’ dengan sebelas anak dan seorang wanita bersanggul dengan blus bunga-bunga yang tersenyum lebar.

            Di antara semua anak yang tersenyum dan saling berangkulan itu ada satu sosok yang langsung mengunci mata El. Bukan karena anak laki-laki yang sedang berdiri di pojok itu terlihat berbeda dengan tubuh jangkung dan rambut pirangnya.  Bukan juga karena wajah anak itu terlihat muram dengan sepasang mata yang menatap kosong. Tapi, karena anak itu adalah dirinya. Elden Alexander Clay, puluhan tahun yang lalu. Bocah yang terlahir dari rahim seorang TKW yang baru kembali dari luar negeri, wanita yang kemudian memilih untuk menelantarkannya. Bocah yang ditemukan di pinggir jalan dengan wajah penuh memar dan dua tulang rusuk yang patah. Bocah yang menemukan kembali hidupnya di rumah itu. Rumah Cinta. Rumah kecil dengan seorang ibu yang merawat mereka seperti anak-anaknya sendiri. Rumah yang pernah membuat El bertekad untuk tidak membiarkan anak-anak lain terluka sepertinya.

Elden mendesah berat. Merasa semua ingatan itu menusuk hatinya dan membuat kepalanya yang tadi panas perlahan mendingin.

            “Elden?”

            El tersentak dan kedua tangannya bergerak cepat meletakkan kembali foto itu ke atas meja. Hadian Munir pasti sengaja membawa foto itu ke depan muka El. Hadian Munir pasti sudah berencana membuat El luluh dengan membongkar kembali ingatan masa lalu El melalui foto itu. Kalau memang begitu, Hadian Munir berhasil. Walau belum sepenuhnya luluh, El akhirnya duduk dengan sukarela di atas kursi yang sejak tadi disediakan untuknya.

            Hadian Munir mengangguk-angguk sambil tersenyum, membuat ujung kumisnya yang putih terangkat. “Bayu bilang kamu itu anak kesayangannya. Makanya, dia memercayakan Abigail kepadamu.”

            El tertawa kecut. Ini bukan tentang alasan El terhadap orang lain. Ini tentang El. Tentang janji yang sudah dibuat El pada dirinya sendiri. El kemudian menarik kertas yang tadi diletakkan Hadian Munir di sebelah foto itu. Kemudian tanpa membacanya sama sekali, El menandatanganinya.

            El memang belum bisa menerima anak itu. El juga tidak berjanji akan menjadi seorang ayah angkat yang baik baginya. Saat ini, yang dipikirkan El hanyalah bagaimana ia bisa menerima semua kenyataan ini dengan baik.

            Setelah selembar kertas itu kembali ke tangan Hadian Munir, El bergegas melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Beberapa detik sebelum ia benar-benar berada di depan Abigail, El memantrai dirinya sendiri. “Semua akan baik-baik saja, El.”

v

            “Halo, Abigail,” sapa El tanpa minat. El bahkan tidak menatap wajah gadis di depannya itu sama sekali. El mengangkat dagu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket sambil mempersiapkan mental seandainya gadis itu langsung berteriak histeris saat melihatnya nanti. Ia yakin Hadian Munir belum mengatakan pada bocah itu kalau ayah angkatnya adalah seorang superstar. Ia yakin Abigail akan….

            Mengangkat kepalanya, menegakkan leher, kemudian melepaskan headset dari telinga, lalu mendongak menatap El selama beberapa detik saja.

            Bukan. Seharusnya bukan begitu. Seharusnya gadis-gadis seusia dia berteriak, meminta tanda tangan, bahkan mencium El dengan paksa. Seharusnya dia tak menatap El sesingkat itu. Tapi, itulah yang dilakukan Abigail. Gadis itu mengerjap dengan wajah datar. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kalau laki-laki jangkung berambut pirang dengan kunciran kecil yang mencuat di belakang kepalanya itu memang Elden Clay. Abigail membuang muka.

            “Lebih aneh dari yang di foto,” gumamnya pelan. Sepotong kalimat yang keluar dari bibir gadis itu sukses membuat mulut El ternganga lebar dengan dagu yang hampir terjatuh.

            Abigail. Limabelas tahun. Bocah perempuan dengan wajah sepucat vampir.

            Dia bilang apa barusan?

            Elden Clay aneh?

Detik itu juga El berpikir, seharusnya ia tidak semudah itu memberikan tanda tangan pada Hadian Munir.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status