Share

She Is Abigail

Penulis: Dita Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-22 23:11:16

Apa ini? Kenapa El merasa hidupnya akan segera berubah dalam satu hari? Ia masih sangat muda dan sekarang ... seseorang harus menjadi anaknya?

            El hampir saja membuat Harlan menabrakkan van yang mereka kendarai ke pembatas jalan dalam perjalanan ke kantor ‘Hadian Munir and Partner’ tadi. El mengomel tanpa henti, mengacak-acak rambut sampai kunciran di belakang kepalanya terlepas, menghempas-hempaskan tubuhnya ke jok, dan menarik kerah kemeja Harlan hingga membuat dua kancingnya terlepas.

            “El! Bisa tenang sebentar enggak sih?”

            El menggeram. “Tenang gimana? Sebentar lagi gue bakal punya peliharaan! Lo tahu kan, gue bahkan nggak pernah ngelihat seekor anak nyamuk pun di apartemen. Dan sekarang gue harus ngurusin anak manusia? Limabelas tahun dan dia perempuan!”

            Harlan memperbaiki kemejanya yang sudah tak keruan sambil mulai konsentrasi lagi ke jalanan. Ia tahu ia hanya seorang manajer. Tapi, mati muda karena kecelakaan lalu lintas sama sekali bukan impiannya. “Itu kan udah konsekuensi! Kamu sendiri yang bilang kalau semua anak yang ada di Rumah Cinta itu bersaudara. Semua saling bantu. Kamu sekarang udah mapan dan sekarang saatnya kamu yang membantu mereka.”

            El membuang muka keluar jendela. “Tapi nggak harus tinggal di apartemen gue, kan?”

            “Semua itu sudah tertulis di atas kertas dan kamu sendiri yang menandatanganinya dulu.”

            “Itu dulu. Waktu gue adalah seorang anak yang nggak punya siapa-siapa di Rumah Cinta. Sebelum gue tahu kalau gue bakal jadi artis dan terkenal kayak sekarang!”

            Harlan menoleh sedikit sinis. Tidak menyangka El akan mengatakan hal-hal seperti itu tentang rumah yang pernah ditinggalinya dulu. “Jangan bilang kamu udah lupa tentang masa lalu kamu….”

            El mengatupkan giginya rapat-rapat. “Masalahnya bukan itu, Lan! Gue bisa menambah jumlah donasi ke Rumah Cinta, atau memberikan beasiswa untuk anak-anak itu. Tapi kalau mereka harus tinggal sama gue....”

            “Sebenernya yang kamu takutkan apa sih?”

            El menarik napas berat sambil memandangi Harlan serius. “Gimana kalau anak itu ternyata fans berat gue? Terus dia ngikutin gue ke mana pun. Ngintipin gue mandi, ngerekam video, terus di-upload ke YouTube? Gimana kalau semua masalah pribadi gue tersebar gara-gara anak itu? Dia masih limabelas tahun dan gue tahu gimana psikologis mereka!” Jelas El berapi-api. “Lo nggak inget anak SMA yang nekat masuk ke apartemen gue setahun lalu? Anak SMP yang nyelinap masuk ke mobil waktu gue mau fansign?”

            Perlahan, Harlan melunak. Kenapa sejak tadi ia sama sekali tidak memikirkan itu, ya? Untuk sampai ke tempatnya sekarang, Harlan tahu persis apa yang sudah dilewati laki-laki itu. Mulai menjadi staf rendahan, figuran, bahkan jongos di lokasi shooting. Semua pernah dilakukan El. Setelah ia seterkenal ini, El masih harus menghadapi masalah lain. Mulai dari fans yang kadang-kadang tidak paham situasi, kondisi, serta mengganggu privasi El sampai gosip miring yang tidak pernah berhenti menerpa. Wajar saja kalau sekarang bocah itu merasa panik. “Sekarang kamu tenang dulu, El.”

            “Tenang gimana? Tenang dan menganggap kalau anak perempuan labil berusia limabelas tahun itu adalah seekor kucing persia imut yang memakai gaun pink berenda-renda?”

            “Kita bicara dengan Pak Hadian Munir dulu, El.” Sahut Harlan tenang. Di saat-saat seperti ini, hanya kelemah-lembutan yang bisa menenangkan El. “Dan…”

            Tatapan setengah ketakutan yang dilemparkan Harlan padanya tadi langsung dibalas pelototan oleh El. “ Dan apa?”

            Harlan terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya. “Menyamakan manusia dengan hewan peliharaan itu ... aku rasa sedikit ... tidak sopan.”

            Sebelum El menarik kerah kemeja Harlan lagi, Harlan segera menginjak rem. Mendadak. Membuat tubuh El yang tidak dilindungi seatbelt terlempar ke depan dan membentur dashboard.

v

            Melalui kaca bening yang membatasi ruangan pengacara dengan ruang tunggu, El memindai sosok yang sedang duduk bersandar di sofa kulit. Seorang gadis yang diperkirakan El hanya setinggi dadanya itu sedang duduk dengan mata terpejam, telinga ditempeli headset, dan kepala yang setengah mendongak. Rambutnya lurus, hitam, dan panjangnya sebahu. Wajahnya tirus dan pucat. Dalam sekali lihat, El bisa menyimpulkan, anak itu seperti vampir.

            “Dia?” El menoleh pada laki-laki yang seluruh helai rambutnya sudah memutih itu.

            Hadian Munir tersenyum kemudian meletakkan selembar kertas dan foto di atas mejanya. Tepat di belakang papan nama kristal bertuliskan ‘HADIAN MUNIR, SH’ yang terlihat mengilap luar biasa. “Ya. Namanya Abigail.”

            El menutup tirai pembatas yang sejak tadi digenggamnya kuat-kuat dan merapatkannya kembali. “Kenapa harus saya, Pak?”

            “Loh? Bukannya kamu sudah tahu kalau suatu saat pasti akan ada seseorang yang akan kamu urus?”

            Bahu El langsung jatuh. Kedua mata hazel-nya menatap Hadian Munir putus asa. Tadinya, El ingin mengatakan semua yang ada dalam kepalanya untuk membuat Hadian Munir mengembalikan anak itu ke Rumah Cinta, tapi saat ia menemukan selembar foto itu di depan mata, El langsung terdiam. Sesuatu yang sudah dijahitnya rapi di dalam ingatan kembali robek karenanya.

            Foto yang berusia puluhan tahun itu tampak pudar sekali dengan bekas lipatan yang kentara, nyaris membuatnya terbelah menjadi tiga bagian. Foto yang diambil di depan papan besar bertuliskan ‘Rumah Cinta’ dengan sebelas anak dan seorang wanita bersanggul dengan blus bunga-bunga yang tersenyum lebar.

            Di antara semua anak yang tersenyum dan saling berangkulan itu ada satu sosok yang langsung mengunci mata El. Bukan karena anak laki-laki yang sedang berdiri di pojok itu terlihat berbeda dengan tubuh jangkung dan rambut pirangnya.  Bukan juga karena wajah anak itu terlihat muram dengan sepasang mata yang menatap kosong. Tapi, karena anak itu adalah dirinya. Elden Alexander Clay, puluhan tahun yang lalu. Bocah yang terlahir dari rahim seorang TKW yang baru kembali dari luar negeri, wanita yang kemudian memilih untuk menelantarkannya. Bocah yang ditemukan di pinggir jalan dengan wajah penuh memar dan dua tulang rusuk yang patah. Bocah yang menemukan kembali hidupnya di rumah itu. Rumah Cinta. Rumah kecil dengan seorang ibu yang merawat mereka seperti anak-anaknya sendiri. Rumah yang pernah membuat El bertekad untuk tidak membiarkan anak-anak lain terluka sepertinya.

Elden mendesah berat. Merasa semua ingatan itu menusuk hatinya dan membuat kepalanya yang tadi panas perlahan mendingin.

            “Elden?”

            El tersentak dan kedua tangannya bergerak cepat meletakkan kembali foto itu ke atas meja. Hadian Munir pasti sengaja membawa foto itu ke depan muka El. Hadian Munir pasti sudah berencana membuat El luluh dengan membongkar kembali ingatan masa lalu El melalui foto itu. Kalau memang begitu, Hadian Munir berhasil. Walau belum sepenuhnya luluh, El akhirnya duduk dengan sukarela di atas kursi yang sejak tadi disediakan untuknya.

            Hadian Munir mengangguk-angguk sambil tersenyum, membuat ujung kumisnya yang putih terangkat. “Bayu bilang kamu itu anak kesayangannya. Makanya, dia memercayakan Abigail kepadamu.”

            El tertawa kecut. Ini bukan tentang alasan El terhadap orang lain. Ini tentang El. Tentang janji yang sudah dibuat El pada dirinya sendiri. El kemudian menarik kertas yang tadi diletakkan Hadian Munir di sebelah foto itu. Kemudian tanpa membacanya sama sekali, El menandatanganinya.

            El memang belum bisa menerima anak itu. El juga tidak berjanji akan menjadi seorang ayah angkat yang baik baginya. Saat ini, yang dipikirkan El hanyalah bagaimana ia bisa menerima semua kenyataan ini dengan baik.

            Setelah selembar kertas itu kembali ke tangan Hadian Munir, El bergegas melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Beberapa detik sebelum ia benar-benar berada di depan Abigail, El memantrai dirinya sendiri. “Semua akan baik-baik saja, El.”

v

            “Halo, Abigail,” sapa El tanpa minat. El bahkan tidak menatap wajah gadis di depannya itu sama sekali. El mengangkat dagu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket sambil mempersiapkan mental seandainya gadis itu langsung berteriak histeris saat melihatnya nanti. Ia yakin Hadian Munir belum mengatakan pada bocah itu kalau ayah angkatnya adalah seorang superstar. Ia yakin Abigail akan….

            Mengangkat kepalanya, menegakkan leher, kemudian melepaskan headset dari telinga, lalu mendongak menatap El selama beberapa detik saja.

            Bukan. Seharusnya bukan begitu. Seharusnya gadis-gadis seusia dia berteriak, meminta tanda tangan, bahkan mencium El dengan paksa. Seharusnya dia tak menatap El sesingkat itu. Tapi, itulah yang dilakukan Abigail. Gadis itu mengerjap dengan wajah datar. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kalau laki-laki jangkung berambut pirang dengan kunciran kecil yang mencuat di belakang kepalanya itu memang Elden Clay. Abigail membuang muka.

            “Lebih aneh dari yang di foto,” gumamnya pelan. Sepotong kalimat yang keluar dari bibir gadis itu sukses membuat mulut El ternganga lebar dengan dagu yang hampir terjatuh.

            Abigail. Limabelas tahun. Bocah perempuan dengan wajah sepucat vampir.

            Dia bilang apa barusan?

            Elden Clay aneh?

Detik itu juga El berpikir, seharusnya ia tidak semudah itu memberikan tanda tangan pada Hadian Munir.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Putri Rahasia Sang Idola   Epilog

    El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb

  • Putri Rahasia Sang Idola   The End for The New Beginning

    Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te

  • Putri Rahasia Sang Idola   Bring That Memories Back

    Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 

  • Putri Rahasia Sang Idola   It Hurts, So Bad

    “El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann

  • Putri Rahasia Sang Idola   Another Page of Destiny Has Been Unveiled

    Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej

  • Putri Rahasia Sang Idola   The Truth Is Always Hurt

    El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El. 

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status