"Mama serius, besok kita semua akan pergi berlibur?" setelah menutup pintu kamar Luna, Evelyn bertanya pada sang ibunda. Di benaknya penuh tanda tanya, sebab Arini belum pernah membicarakan perihal liburan sebelumnya.
"Kau lupa? Besok hari pernikahan Juna, Sayang. Sepupumu yang di Jakarta itu." Arini menelengkan kepala, menjawab seraya melangkah beriringan bersama putrinya menuju kamarnya di lorong paling ujung. Kamar di rumah mereka memang saling bersebelahan dan berurutan."Oh, astaga!" Evelyn menepuk jidatnya saat mengingat tentang hal yang ibunya katakan, namun senyumannya mengurva lebar. "Jadi, Kak Juna benar akan menikah besok?!""Begitulah. Kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Memikirkan apa, hm?" Arini berdiri di depan pintu kamarnya. Urung membuka pintu, ia justru tampak bersedekap menatap sang putri.Evelyn tersentak mendengar pertanyaan Arini. Ternyata ibunya begitu peka terhadapnya, tetapi untuk jujur pun terlalu sukar bagi wanita itu."... tidak ada." Pada akhirnya hanya itu yang mampu Evelyn katakan."Jangan bohong! Jangan bilang kalau kau masih saja berharap jika pria itu akan datang menemuimu?" ada raut curiga di dalam pandangan tajam Arini."...."Sedangkan Evelyn hanya mampu terdiam, sebab tebakan Arini memang benar adanya. Cahaya di mata wanita itu meredup lalu ia menundukkan kepala. Dibandingkan harus melihat wajah kecewa sang ibu, ia memilih untuk menatap lantai keramik di bawah kakinya.Bukan tanpa alasan Evelyn kembali mengingat Damian akhir-akhir ini. Putri mereka semakin besar sekarang. Dan semakin hari wajah Luna semakin mirip saja dengan ayahnya. Mata Luna yang berwarna biru membuat Evelyn seakan menatap mata Damian setiap kali menatapnya. Yah, meskipun delapan puluh persen sang putri memiliki gen dominan dirinya."Berhentilah mengharapkan sesuatu yang mustahil, Nak. Pria itu bukan seorang yang baik untukmu. Jika dia orang baik, dia tidak akan lari dari tanggung jawab." Tatapan Arini melunak, ia meraih dagu Evelyn sehingga mereka saling bertemu mata. Sebagai seorang ibu, tentu dirinya tidak tega melihat putri tercintanya bersedih begitu."Karena dia tidak tahu jika Eve hamil, Ma." Suara lembut itu teralun lirih. Meski begitu, Arini masih mampu mendengarnya."Apakah selama lebih dari 5 tahun ini dia pernah membalas pesanmu? Atau ... mencoba menghubungimu? Tidak pernah, bukan?" Arini memindai kedua mata sang putri, seakan sedang menelanjangi pemikirannya. Sebagai seorang ibu tentu ia mencoba mengerti tentang apa yang putrinya rasakan. Ia terlalu menyayanginya meskipun jawaban Evelyn masih saja penuh pembelaan terhadap pria tak bertanggungjawab itu."Bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi sejak malam itu." Ada perih yang Evelyn rasa setelah berucap begitu. Ia kembali menundukkan muka. Atas ucapan sang ibunda, membuat ia berpikir bahwa pria itu mungkin saja sudah melupakannya."Kau sudah melangkah sejauh ini, jangan sampai semua yang sudah Mama dan Papa korbankan untukmu dan Luna menjadi sia-sia. Kau masih muda, cobalah buka hatimu untuk pria lain selain dia. Percuma memikirkan seseorang yang bahkan kau sendiri tidak yakin jika dia pun memikirkanmu. Pernahkah kau berpikir jika ternyata sekarang dia sedang berbahagia bersama wanita lain? Kau juga berhak bahagia, Sayang. Lupakan dia."Melupakan, ya?Ah, Evelyn jadi kembali teringat malam itu. Malam yang menjadi malam paling kelam untuknya. Sambil bermandi hujan, ia menyaksikan sendiri bagaimana sang ayah mengendarai motor menuju rumah Damian, untuk meminta pertanggungjawaban. Tongkat baseball sudah ada di tangannya, berniat untuk menghajar pemuda itu.Namun, nasib baik seakan enggan berpihak pada keluarga Evelyn. Ketika sang ayah kembali, lagi-lagi hanya rasa kecewa yang mampu pria baya itu bawa pulang; Damian bersama keluarganya sudah tidak berada di rumahnya, mereka semua sudah pergi ke luar negara. Entah negara mana yang menjadi tujuannya, Evelyn tidak mengetahuinya."... iya, Ma." Evelyn menjawabnya dengan begitu lemah. Ia memilih untuk kembali menuruti kata ibunya, karena dirinya pun mulai lelah mengharapkan sesuatu yang terasa begitu mustahil terjadi. Ia pun paham bahwa apa yang sang ibunda katakan memang hal yang terbaik untuknya, pula untuk putrinya. Ia berhak bahagia, seperti apa kata sang ibu."Sekarang tidurlah. Besok adalah hari yang panjang untuk kita. Juna bilang, dia ingin memperkenalkan dirimu pada salah satu rekannya."Evelyn mendongak secara spontan. Ucapan ibunya membuat dirinya membangun berbagai spekulasi di kepala. Apakah dirinya hendak dijodohkan?***"Kau tidak ingin pulang? Ini sudah lebih dari tengah malam, Damian."Yang ditanya tampak meletakkan gelas ke atas meja, isinya tinggal separuh. Tentu yang Damian minum bukanlah minuman untuk meredakan dahaga, itu adalah minuman beralkohol yang ia harap mampu membuat dirinya merasa tenang. Suara musik yang mengentak terasa berdenging di telinga, namun pria itu cukup menikmatinya."Aku sedang malas." Hanya satu kalimat pendek yang menjawab pertanyaan. Satu embus napas berat terdengar, kemudian Damian menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi."Bertengkar lagi?" Bintang, pria yang duduk bersama Damian kembali menanyai. Pria yang bekerja satu kantor dengannya itu mulai membakar ujung rokok yang terselip di sela bibir. Mereka memang cukup akrab, sehingga sedikit banyak Bintang mengetahui permasalahan di keluarga Damian."Tidak. Hanya sedikit merasa kesal dengan ibuku. Wanita dengan segala kerumitannya. Entah apa sebenarnya maunya? Aku jadi begini pun atas permintaannya."Topik yang Damian ucap nyatanya cukup menarik rasa penasaran Bintang. Pria itu menegakkan posisi duduknya, membuang bara api di ujung rokoknya pada asbak di atas meja. "Apa yang terjadi?""Wanita itu membicarakan hal omong kosong tentangku. Bukankah hal yang kita petik sekarang adalah buah dari hasil yang kita tanam di masa lalu? Lalu, wanita itu dengan entengnya mengatakan bahwa dia merindukan diriku yang dahulu." Kekehan sumbang teralun sebelum Damian kembali menyesap minuman memabukkan miliknya. Tanpa dijelaskan pun sudah sangat tampak bahwa pria berdarah Jerman itu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan sang ibu."Yah, aku memang tidak begitu mengerti bagaimana persisnya permasalahanmu dengan kedua orang tuamu. Namun, sebagai teman baik, aku hanya mengingatkan, bagaimanapun mereka, mereka berdua tetaplah orang tuamu, berkat mereka berdualah kau ada di dunia ini, Damian. Jangan terlalu menaruh benci, atau kau akan menyesal di masa yang akan datang.""Bahkan jika boleh memilih, aku tidak akan ragu memilih untuk tidak dilahirkan dari orang tua seperti mereka." Atas nasihat Bintang, Damian justru berdecih. Ia makin merasa kesal, meskipun ia sadar bahwa ucapan Bintang memang ada benarnya. "Sudahlah, lebih baik kau minum lagi. Aku sudah muak membahas masalah itu. Jangan semakin membuatku pusing kepala!""Hahh ... baiklah. Kau akan mengerti bagaimana rasanya jika nanti sudah menjadi orang tua." Bintang memilih mengalah. Ia kembali menghisap tembakau di sela bibir, kemudian mengembuskan asapnya ke udara."I'm not sure. Bahkan aku sudah berencana untuk tidak memiliki keturunan. Selamanya." Salah satu sudut bibir Damian terangkat sebelum ia meraih sebatang nikotin di dalam kotaknya kemudian menyelipkannya di sela bibir. Pria itu menyalakan pemantik, bersiap membakar ujung rokoknya.Damian hanya belum tahu tentang status dirinya yang sebenarnya.***Tbc...Detik demi detik terangkai, waktu berlalu dengan diiringi senyum merekah setelah mereka berdua bersatu. Setiap buncah bahagia yang tercipta kini telah membuahkan hasil dengan adanya setitik nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahim si wanita. Ya, Evelyn telah hamil untuk yang kedua kalinya, sudah memasuki bulan ke lima.Jika di kehamilan pertama terasa begitu berat, berbeda di kehamilannya kali ini. Jika dahulu ia menangis sedih ketika melihat garis dua di alat tes kehamilannya, kini air matanya diiringi oleh senyuman haru, tentu dilengkapi oleh pelukan hangat suaminya.Jika di kehamilan pertama ia merasa begitu was-was dan merasa begitu berdosa, namun di kehamilan keduanya ini ia merasa begitu bersyukur. Kehamilan ini merupakan anugerah dari Tuhan, sosok mungil itu akan melengkapi kebahagiaan di dalam keluarga kecilnya. Meski hamil dalam kondisi berbeda, namun Evelyn bisa memastikan bahwa cintanya tetap setara untuk mereka berdua; untuk Luna, ataupun si calon adik bayi. Meski tak diut
Tangis tidak selamanya berarti bahwa kesedihan tengah melingkupi seseorang. Namun, sebuah emosi ketika air mata luruh itu juga bisa hadir saat kebahagiaan datang. Tetes demi tetes itu jatuh bercucuran menuruni pipi, tetapi sebuah senyum justru terlukis indah menghiasi paras jelitanya. Ya, Evelyn menyebutnya tangis haru, menangis ketika melihat sosok Arjuna yang pada akhirnya tertangkap oleh pandangan matanya. Kakak tersayangnya itu pada akhirnya datang, padahal sebelumnya ia mengira bahwa pria itu masih belum memaafkan dirinya. Maka, ia segera bergegas memutus jarak, berjalan cepat menuju posisi sang kakak, tentu diikuti suaminya dari belakang."Kak Juna, ku kira kau tidak akan datang." Tanpa izin, Evelyn memeluk tubuh pria berambut gondrong terkuncir rendah itu, sedangkan Damian hanya berdiri di sisinya seraya menyelipkan tangan di saku celana.Arjuna balas memeluk. Ia memejamkan mata dan tersenyum tulus seakan pertengkaran yang lalu tidak pernah terjadi. "Adik tersayangku sedang me
Senyum itu tak pernah sirna menghiasi wajah jelita si mempelai wanita. Sedangkan si pria ber-tuxedo tampak setia berdiri di sisinya sembari terus menggenggam tangannya. Ah, mereka tampak begitu serasi dengan pakaian serba putih. Warna yang melambangkan awal baru, seperti kanvas kosong yang siap mereka lukiskan berbagai warna dalam mengarungi rumah tangga. Hari bahagia itu pada akhirnya telah tiba, tentu kebahagiaan membuncah di hati kedua mempelai. Tangga pelaminan itu telah berhasil mereka jejaki bersama setelah melewati berbagai rintangan yang tidak mudah untuk dilalui. Dan kini mereka telah mencapai puncak, buah dari kesabaran dan perjuangan yang telah mereka usahakan untuk menyatukan hati."Selamat atas pernikahanmu ya, Eve. Aku benar-benar tidak menyangka jika pada akhirnya kau berakhir dengan pria yang kau katakan berkali-kali sebagai sahabatmu ini." Ina, satu-satunya teman dekat si mempelai wanita berdiri di depannya, menyalaminya sembari menempelkan pipi kanan dan kiri. "Ter
"Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilaksanakan bulan depan?" pertanyaan itu terlepas dari mulut Arini Adhitama di tengah perbincangannya dengan Sasmitha Alexander. Ya, calon besannya itu memang sedang datang berkunjung ke rumahnya, tentu saja untuk membahas persiapan acara pernikahan kedua anak mereka."Iya, sesuai kesepakatan di awal. Bertepatan dengan hari ulang tahun Luna juga, bukan?" Sasmitha menjawab seraya meletakkan kembali cangkir teh berbahan keramik putih dengan motif bunga-bunga ke atas meja, tentu saja setelah ia menyesap isinya. Gerakannya tampak begitu anggun nan santai, seakan mereka sudah cukup akrab sebelumnya. "Damian ingin jika bukan hanya dirinya dan Evelyn saja yang berbahagia di hari pernikahan mereka, tapi putri mereka juga. Bukankah dia terlihat sangat mencintai putrinya?" lanjutnya.Namun, raut gundah justru terlukis makin jelas di wajah Arini. "Tapi ... apakah waktunya akan cukup untuk persiapannya? Sedangkan saat ini, baik keluarga saya maupun keluarga
Punggung wanita itu tak pernah luput dari penglihatannya, sedang membelakanginya. Sang ibu sedang menciptakan resep baru, tampak begitu sibuk berkutat di depan kompor. Aroma masakan yang tercium begitu lezat membuat Evelyn betah berlama-lama di sana."Apakah sudah selesai, Ma?" dari posisinya yang sedang duduk di kursi meja makan sambil bertopang dagu, Evelyn bertanya. Ia memang sedang menunggui ibunya memasak."Tunggu beberapa menit lagi." Arini menjawab, tak menoleh sedikit pun ke belakang.Karena sedikit merasa bosan, Evelyn bangkit berdiri kemudian mendekat pada sang ibu, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke dalam panci, kemudian mencium dalam-dalam aroma yang menguar dari sana. Ah, ibunya sedang memasak mie dengan kuah gelap nan kental bertabur berbagai jenis seafood, menu baru yang belum diberi nama. "Wah, aku jadi tidak sabar ingin mencicipi resep baru Mama. Pasti enak!" Senyum manis mengurva, terlukis begitu indah menghiasi wajah Evelyn."Sudah pasti. Siapa dulu kokinya?" san
Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka