"Wah, ternyata Luna sudah pandai menyuap makanannya sendiri, ya? Menggemaskan sekali!" Kiara memekik gemas saat melihat tangan mungil Luna dengan lihai menyuapkan makan siang ke dalam mulut dengan rapi dan tenang. Ini bukanlah basa-basi, tak ada seorang pun yang tak merasa gemas pada balita itu. Ya, mereka berlima akhirnya makan siang bersama, di kafe yang menjadi pilihan Aksa dan Evelyn. "Dia memang sudah mandiri sejak masih berumur tiga tahun, Kiara." Evelyn menjawabnya disela suapannya ke dalam mulut. Ia makan dengan anggun tanpa berantakan sedikit pun. "Oh, begitu." Kiara mengangguk-angguk, lalu tersenyum menggoda ke arah pasangan di depannya. "Dari jauh, kukira kalian pasangan muda dengan satu orang anak, loh. Kalian sangat serasi." "Benarkah? Wah, aku senang sekali mendengarnya. Yah, tidak lama lagi dugaanmu itu memang akan menjadi kebenaran, Kiara." Aksa yang kali ini bicara, bahkan pria itu sampai harus berhenti menyuap makanan. Ia menjadi sangat tertarik dengan topik pembi
"Baiklah, sampai bertemu besok di restoran, Eve. Seseorang sudah menunggumu di sana." Ina mengedikkan kepala, menunjuk seseorang yang berdiri di sisi mobil hitam, tepat di sebelah kanan gerbang universitas tempat mereka belajar. Gadis itu terkekeh merdu sebelum melambaikan tangannya, berbelok ke sebelah kiri, berlawanan arah dengan posisi si pria bertubuh menjulang tinggi itu.Dengan spontan Evelyn menoleh pada arah yang ditunjuk oleh Ina, seketika kedua mata indahnya membeliak saat menemukan satu presensi tak asing. Seorang pria yang sedang ia hindari. "Damian?" secara refleks Evelyn menyebut nama si pria, begitu lirih. Karena ingin menghindar, ia memilih untuk membelokkan langkah dan pura-pura tak melihatnya.Namun, bukan Damian jika dirinya mudah dikelabui. Melihat gelagat Evelyn, pria itu segera bergerak dari tempatnya, kemudian melangkah mendekati posisi wanita itu dengan cepat. "Tunggu, Eve. Kau kira kau akan ke mana?" dan tentu saja Damian berhasil mencekal pergelangan tangan
Langkah kaki panjang itu tampak gontai kala memasuki hunian mewah tempat dirinya tinggal. Wajah tampan itu tak lagi cerah ceria, ia kehilangan cahayanya akhir-akhir ini. Perasaan Damian sedang kacau sekarang, terlebih saat ia kembali mengingat bahwa dirinya gagal membuat Evelyn membatalkan rencana pernikahannya, pun meninggalkan calon suaminya, seperti apa yang ia lakukan pada Kiara."Masih memiliki muka untuk pulang ternyata."Suara dingin yang baru saja terdengar sukses memaku langkah kaki bersepatu pantofel si pria keturunan Jerman. Damian berhenti lalu menoleh ke asal suara, ada Benedict yang duduk di sofa, baru saja mengempaskan sebuah majalah di atas meja kaca dengan kasar. Apakah sesuatu telah terjadi?"Apa maksudmu?""Bukankah harusnya aku yang bertanya begitu?" Benedict, sang ayah justru kembali bertanya. Dari raut wajah yang ayahnya tampakkan, Damian bisa membaca kekesalan yang menumpuk di sana. Dan hal itu cukup membuat Damian malas untuk menanggapinya, terlebih dengan sua
Menghabiskan waktu bersama merupakan hal yang begitu berharga bagi sebuah keluarga, termasuk bagi Evelyn. Ruang keluarga itu diisi oleh semua anggota keluarga yang tinggal serumah; ada Evelyn beserta si kecil Luna yang tidur berbantalkan paha wanita itu, juga Arjuna dan istrinya yang duduk bersisian seraya menikmati camilan keripik kentang.Namun, kumpul bersama hanyalah sekedar kumpul bersama. Meskipun Evelyn sebisa mungkin mencoba untuk masuk ke dalam obrolan mereka, nyatanya pikiran wanita itu justru melanglang buana pada kejadian tadi siang. Ya, pada pertemuannya dengan pria berambut pirang berdarah Jerman. Entah bagaimana, ucapan Damian terus saja berputar di kepalanya, berulang-ulang bagaikan kaset rusak.'Aku pergi, bukan untuk lari. Kita melakukan kesalahan yang sama, harusnya kita menanggungnya bersama, Eve. Aku mencintaimu.'Tanpa sadar Evelyn memejamkan erat kedua matanya, menahan gejolak sesak yang perlahan seakan meremas dadanya. Sudah terlambat. Takdir memang tak pernah
Suara ketukan di pintu yang tiba-tiba terdengar membuyarkan konsentrasi Damian pada barisan kata dan angka dalam monitor laptopnya. Di balik lensa kacamata, pria itu melirik ke arah pintu ruangan. Ada siluet yang tampak pada kaca buram, sepertinya perempuan."Masuk!" Damian berucap cukup lantang, mempersilakan seseorang di depan pintunya untuk masuk ke dalam ruangannya.Dan sosok itu ternyata Sasmitha, wanita yang melahirkan pria itu ke dunia. Meskipun cukup terkejut, namun Damian tetap berusaha bersikap sewajarnya."Mama datang membawakanmu makan siang, Sayang." Wajah yang masih cantik nan elok dipandang itu menciptakan senyuman ceria saat melangkah masuk mendekati sang putra.Sedangkan Damian hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya sebelum kembali menjatuhkan atensi pada layar monitor yang menyala, seakan mengabaikan kehadiran ibunya. "Tumben sekali.""Mama hanya merasa khawatir, anak lelaki Mama satu-satunya tidak pulang ke rumah." Saat mengatakannya, Sasmitha sudah berdiri di de
Kiara berdiri di depan gerbang tinggi itu, dengan syal yang melilit di leher guna melawan hawa dingin. Ada bimbang bercampur pedih pada raut wajah pasinya ketika menatap sepasang ibu dan anak yang tampak tersenyum bahagia di dalam sana. Mereka sedang menyiram bunga di taman kecil di depan hunian nan megah. Mereka ... Evelyn dan Luna.Ya, Kiara memang sengaja mendatangi Evelyn. Ia ingin meminta tolong pada wanita yang dicintai mantan calon suaminya. Sungguh, ia tak terpikirkan nama lain selain wanita itu. Pikirannya buntu, seiring tubuhnya yang melemah akibat patah hati yang ia rasa. Ia sakit dan tubuhnya semakin kurus karena tak berselera makan.Berbekal dengan ingatan ketika beberapa waktu lalu ia sempat membuntuti Damian saat pria itu mengantarkan Evelyn pulang dari kampus, ia datang ke alamat di mana si wanita tinggal. Dan di sinilah ia, berdiri mematung seraya mengumpulkan keyakinan untuk membunyikan lonceng yang di pasang di sisi gerbang, sebab pos satpam di sana tampak kosong."
[Bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.]Pesan itu masuk beberapa menit yang lalu, sukses membuat senyum tipis terukir di bibir merah kecokelatan pria itu. Dadanya bertalu tanpa tahu malu, akan bertemu dengan Evelyn membuatnya merasa begitu bahagia.Yah, meskipun ia memiliki firasat bahwa apa yang akan Evelyn bicarakan dengannya akan berakhir luka. Agaknya hanya akan ada kemustahilan jika Evelyn memberikan kesempatan untuknya.[Wanderlust Coffee Shop pukul 7 malam.]Damian segera mengirim balasan pesan. Baru saja ponsel ia letakkan di atas permukaan meja, bel apartemennya berdenting keras. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengayunkan langkah kakinya menuju pintu. Dan ... pria itu terkejut karena ternyata sang ibu-lah yang berdiri di sana, di balik pintunya. Ada plastik besar yang dijinjing di tangan kiri. Kernyit di dahi itu tak mampu Damian sembunyikan ketika mereka saling menatap. "Untuk apa datang ke sini?""Bukankah harusnya kau berkata, 'silakan masu
Sepasang mata itu memang tertuju pada layar kaca, namun tidak dengan pikirannya. Galau, sebuah rasa yang memenuhi hati Evelyn. Wajah tampan nan frustrasi itu selalu muncul dalam pikiran, seakan tak mau hilang.'Aku akan berusaha mengikuti keinginanmu dan mendoakan pernikahanmu. Semoga kau berbahagia dengan Aksa.'Mata indah itu terpejam, kalimat yang pernah Damian ucapkan waktu itu seakan menancap di sanubari. Perih. Meskipun itu adalah keinginannya, namun ia pula yang merasakan kepedihan. Entahlah, kadang hati dan pikirannya memang tak sejalan."Jadi, bagaimana, Kak?" Pertanyaan Luna menyentak lamunan Evelyn. Wanita beranak satu itu menoleh pada balita yang duduk di sampingnya dengan raut wajah bertanya."Eh? Apa?"Sontak saja wajah menggemaskan itu berubah masam, sejenak berhenti menyuap keripik kentang ke dalam mulut. "Kakak melamun!""Maafkan Kakak. Kakak hanya sedang terpikirkan sesuatu." Evelyn mencoba fokus pada Luna, sedikit membagi senyum simpul. "Kau bilang apa tadi? Bisa k