Home / Rumah Tangga / Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya / Kenyataan yang Menyakiti Seorang Ibu

Share

Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya
Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya
Author: Intan Resa

Kenyataan yang Menyakiti Seorang Ibu

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2022-12-28 10:02:25

Niat hati memberikan kejutan, tapi akulah yang harus terkejut setengah mati saat melihat kondisi putriku yang mengenaskan di rumah mewah suaminya.

 

Sejak Alina menikah, terhitung aku datang ke rumah suaminya. Lima bulan lalu, Alina mengabarkan kalau cucu pertamaku sudah lahir. Tapi sayangnya aku tak bisa langsung menjenguk, meskipun rasa rindu itu begitu menyiksa. Sesekali kami bertukar kabar melalui telpon. Itupun tak bisa lama karena aku harus membantu mengurus anak dari Raka dan menantuku, Sri. Cucu yang kunantikan sejak tiga tahun terpaksa lahir prematur karea suatu hal. Untung saja menantu dan cucuku selamat dan kini sudah sehat. Namun, tiga bulan terakhir, aku tak pernah menelpon lagi dengan Alina. Apa dia marah karena aku tak langsung menjenguknya?

 

Setelah perjalanan sekitar 12 jam, aku turun tepat di depan rumah menantuku yang mewah. Aku memencet bel yang terletak di sisi pagar. Lumayan lama hingga seseorang datang membukakan pintu. Seorang perempuan cantik, montok dan mengenakan pakaian yang ngepas di badannya. Mata tuaku merasa risih melihat penampilannya.

 

“Cari siapa, ya?” tanyanya, menatapku dari atas sampai bawah.

 

Aku jadi ragu, apakah Delon dan Alina sudah pindah dari rumah ini?

 

“Apa benar ini rumah Delon?”

 

“Iya, ini rumah Mas Delon. Ibu ini siapa, ya?”

 

Mas? Dia memanggil menantuku dengan sebutan mas? Setahuku Delon anak tunggal dan dia tak punya adik perempuan. Lalu siapa perempuan ini?

 

“Delonnya ada? Saya ini bibinya dari kampung.”

 

Terpaksa berbohong karena aku melihat gelagat tidak beres. Jika langsung jujur, aku takut kalau dia langsung mengusirku.

 

“Oh, Mas Delon gak pernah cerita kalau dia punya bibi. Mari masuk, Bi,” ujarnya ramah. Sedikit lebih lembut dari pertama kali dia melihatku tadi.

 

Perempuan berkulit putih itu membantu mebawa tas pakaianku. Sementara aku membawa beberapa dodol dan salak, penganan khas yang kubeli di Palsabolas. Aku memasuki rumah bercat putih itu dengan perasan tak menentu. Semua begitu hening, padahal ini sudah pukul 8 pagi. Apa putriku belum bangun jam segini?

 

“Silakan duduk, Bi. Aku panggilkan Mas Delon dulu.”

 

Aku mremas tangan dengan kuat saat melihat perempuan berlipstik merah menyala itu masuk ke kamar utama sambil memanggil nama menantuku. Bagaiman bisa dia masuk sembarangan ke kamar anak dan menantuku? Tidak sopan sekali.

 

Aku membalikkan badan, membelakangi arah pintu kamar itu. Menarik napas panjang dan membuanganya dengan kasar. Perasaanku mulai tak enak.

 

“Bibi siapa sih, Yang? Aku gak punya bibi deh. Kamu ini jangan sembarangan ngajak orang masuk. Bisa saja kan, komplotan perampok yang mau lihat-lihat suasana rumah ini.”

 

Aku meneguk ludah mendengar suara menantuku. Kubalikkan badan dan menatap tajam lelaki berusia 25 tahun itu, wajahnya langsung tegang.

 

“I-ibu.”

 

Suaranya tercekat, melepaskan tangan perempuan berambut sebahu yang bergelayut di lengannya.

 

“Kok ibu sih, Mas? Dia itu siapa sih?”

 

“Diam kamu, Maya. Sana ke belakang!” desis Delon. Dia langsung menghampiriku dan hendak meraih tangan ini, tapi kuabaikan.

 

“Dimana Alina?” sergahku.

 

“Di-dia.”

 

Ah, kenapa menantuku kaku seperti ini? Aku jadi semakin curiga kalau dia menyembunyikan sesuatu. Aku beranjak ke kamar dimana Delon tadi berada, tapi tidak ada putriku.

 

“I-Ibu, Alina tidak ada di sini.”

 

“Lalu dimana dia?”

 

“Alina mengkhianatiku, Bu. Setelah anak kami lahir, dia pergi dengan selingkuhannya. Dia belum siap punya anak.”

 

Omong kosong. Jelas-jelas Alina senang saat mengatakan anaknya lahir.

 

“Jangan bohong kamu! Putriku tak mungkin seperti itu.”

 

“Tapi itulah kenyataannya, Bu.”

 

“Lalu kenapa kamu tak cerita kalau Alina tak tinggal di rumah ini lagi, hah?” Aku meninggikan suara mendengar jawaban menantuku yang ikut melukai perasaan ini.

 

“A-aku hanya ingin menjaga perasan Ibu.”

 

Aku menggelengkan kepala, tidak percaya sama sekali dengan kata-kata menantuku, apalagi melihat perempuan tadi bergelayut manja di lengannya. Aku berjalan cepat ke kamar utama, tapi tidak ada orang. Kamar sebelah juga tidak ada, hanya ada cucuku di sana yang sedang tertidur pulas. Aku berkeliling lagi dan mencari Alina ke seluruh sudut rumah yang luas ini.”

 

“Tidak ada dia di sini, Bu.” Delon mencegahku saat mau membuka kamar dekat dapur. Biasanya itu kamar pembantu rumah tangga mereka.

 

“Kalau memang tidak ada dan semua ucapanmu benar, jangan menghalangi Ibu,” bentakku. Kuputar kunci dan menekan gagang pintu. Begitu terbuka, aroma tak sedap langsung menyeruak.

 

Aku menghidupkan senter ponsel dan mencari saklar lampu kamar itu. Cahaya lampu remang-remang, tapi aku bisa melihat kondisi kamar yang mirip sarang tikus. Banyak sampah dimana-mana, tapi tak terlihat Alina.

 

“Alina! kamu dimana, Nak!” seruku. Ah, aku tak berharap kalau dia ada di kamar ini. Tapi dimana kamu, Nak?

 

“Sudah kubilang, dia tidak ada di sini, Bu. Ayolah ke depan. Kamar ini belum sempat dibersihkan.” Delon menyentuh punggungku dan sedikit mendorong.

 

Tapi kenapa kamar itu bisa kotor sekali? Pasti ada yang tak beres. Tapi apa?

 

“Buuu ...!”

 

Suara lemah seorang perempuan membuatku menahan langkah. Aku kembali masuk kamar dan mencari sudut ruangan dan sendi-sendiku langsung lemas melihat seorang perempuan duduk bersandar di belakang pintu. Pantas saja aku tak melihatnya tadi. Rambut perempuan berbadan kurus kerempeng itu acak-acakan, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia pernah menghuni rahimku selama kurang lebih 9 bulan.

 

“Alina, Sayang. Kenapa kamu bisa begini, Nak?” Aku meraung-raung disertai bulir mata yang meluncur bebas. Kukira akan memberikan Alina kejutan, tapi akulah yang terkejut melihat kondisinya yang miris.

 

“A-ku la-par, Bu.”

 

Suaranay terbata-bata, seperti tak punya tenaga. Aku mengusap wajah dengan kasar, memapah putriku dengan sekuat tenaga. Kakinya yang kurus seolah tak punya tenaga untuk berdiri.

 

Aku tak meminta bantuan Delon yang kelihatan pucat. Meskipun aku tak muda lagi, tapi karena tubuh Alina sangat kurus, aku berhasil membawanya keluar dari kamar pengap itu. Kuambil air dari dapur, mencuci wajahnya saja, lalu memberikan minum. Dengan tergesa membuka mengambil kue bolu yang kubuat tadi malam, menyuapkannya ke mulut putriku yang bergetar.

 

Darahku mendidih. Siapa pun yang membuat putriku seperti ini, dia akan mendapat balasannya.

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
nurdianis
ada yang ndak beres ni
goodnovel comment avatar
Mhd
Hi yang cantik
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ending

    Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Gadis yang Dikenalkan Mama

    Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Mama Mau Menjodohkanku

    Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ide Gila Mama

    *Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Belum Siap Kecewa Lagi

    Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Pergilah dari Hidupku

    “Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status