Happy Reading Hujan mengguyur atap kamar Nara malam itu, seolah ikut menekan beban yang menghantam dadanya. USB hitam yang tadi ia putar, kini tergeletak di atas meja. Tapi gema suara dalam video itu masih berputar di kepalanya: suara ayah Rehan, menyebut nama kakaknya, Aria, yang meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan misterius.“Ada yang disembunyikan... dan kamu tahu siapa yang harus bungkam kalau kita nggak mau semua terbongkar.”Kata-kata itu mengguncang dasar-dasar kepercayaan Nara. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana, dan kehilangan kakaknya adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Tapi tak pernah ia duga, kematian itu bisa jadi... **bukan kecelakaan**.Tangannya menekan layar ponsel yang kini menyala kembali. Ia menekan nama: **Bima**.Nada sambung panjang. Lalu suara berat menjawab, “Nara?”“Aku butuh ketemu. Sekarang.”***Di sebuah kafe tua pinggir jalan, mereka duduk berseberangan. Bima masih sama seperti dulu—tenang, penuh rahasia. Ia menatap Nara dengan sorot yang sul
Happy Reading Tiga minggu telah berlalu sejak Nara menyerahkan semua bukti kepada jurnalis investigatif yang bekerja secara independen. Sejak itu, berita tentang skandal Delta Five, manipulasi proyek nasional, hingga dugaan keterlibatan keluarga Rehan dalam kematian Aria tersebar luas. Nama-nama besar runtuh. Investor menarik diri. Dan satu per satu, kebenaran mulai muncul ke permukaan.Namun, di tengah kekacauan itu, Nara memilih diam.Ia meninggalkan kota tanpa kabar. Menonaktifkan semua media sosial, memutus kontak dari semua orang termasuk Rehan dan Bima. Ia butuh waktu. Butuh ruang. Butuh ketenangan untuk bertanya pada dirinya sendiri—**siapa aku sebenarnya jika tidak mencintai Rehan?**Kini, di sebuah desa kecil di pinggiran Bandung, Nara tinggal di rumah kayu sederhana milik bibinya yang sudah lama pensiun. Di sanalah, setiap pagi, ia bangun dengan suara ayam, bukan alarm. Minum kopi tanpa harus membaca notifikasi. Dan berjalan di bawah sinar matahari tanpa takut paparazzi mem
Happy Reading Tiga bulan sejak *Bersuara* resmi diluncurkan sebagai platform advokasi digital, pertumbuhannya melesat seperti meteor. Anggota aktif bertambah hingga tiga ribu orang, terdiri dari mahasiswa hukum, aktivis kampus, content creator, hingga jurnalis independen. Mereka bergerak cepat—membuat konten edukatif, menyebarkan laporan investigatif, dan bahkan turun langsung membantu warga dalam konflik agraria serta kasus pelecehan yang ditutupi kampus.Nara kini bukan sekadar sosok yang bangkit dari luka pribadi. Ia jadi wajah dari gelombang baru: **anak muda yang tidak takut melawan sistem, bahkan jika sistem itu dibungkus kemewahan dan kekuasaan.**Namun, semakin besar nama *Bersuara*, semakin banyak pula mata yang mengawasi.***Pada awal minggu ke-15, Nara mengadakan rapat internal bersama tim inti—kelompok 12 orang dari berbagai kota, semuanya bekerja secara daring.“Dua hari lalu, kita berhasil membantu publikasi kasus pelecehan di salah satu kampus swasta besar di Surabaya
Happy Reading Nara baru saja selesai rapat dengan tim *Bersuara*. Rencana besar yang sedang ia jalankan mulai menunjukkan hasil, namun tetap ada tantangan yang datang silih berganti. Malam itu, ia merasa lelah—lebih dari biasanya. Meski tubuhnya letih, pikirannya masih bergerak cepat, memikirkan bagaimana memperluas gerakan ini agar bisa menjangkau lebih banyak orang lagi. Dia menghirup udara malam yang segar dari balkon, memandang jalanan kota yang mulai sepi, saat tiba-tiba ponselnya berdering. Layar menunjukkan nama yang tidak pernah ia harapkan muncul di tengah malam seperti ini—**Ibu Rehan**. Jantung Nara berdebar keras. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat telepon tersebut. “Selamat malam, Ibu,” suara Nara terdengar sedikit bergetar meski ia berusaha untuk tenang. “Ada apa?” Terdengar isak tangis di ujung telepon, suara Ibu Rehan tercekat. “Nara... Rehan... dia kecelakaan. Dia sekarang di rumah sakit... koma.” Semua suara yang terdengar di sekitarnya seakan b
Happy Reading Lima bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Lima bulan sejak Nara terakhir kali memegang tangan Rehan, berbisik padanya, berharap bahwa keajaiban akan terjadi, bahwa Rehan akan terbangun dan kembali kepadanya. Namun kenyataan jauh lebih kejam daripada harapan yang ia pelihara.Pagi itu, Nara kembali melangkah ke rumah sakit, langkahnya terasa berat, seakan ada beban yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap kali ia melewati lorong rumah sakit, rasa cemasnya seakan semakin menggila. Rehan belum juga sadar, meskipun tim medis terus memberikan harapan bahwa keadaan fisiknya perlahan membaik. Tetapi keadaan mentalnya? Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh siapa pun.Ruang ICU tempat Rehan dirawat masih sama seperti lima bulan yang lalu. Suara mesin yang monoton, selang-selang yang terhubung dengan tubuh Rehan, dan kesunyian yang mencekam. Nara tahu, semakin ia datang ke sini, semakin ia merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak bisa ia putuskan. Apa yang ia
Happy ReadingSetelah kabar bahwa Rehan mungkin akan sadar segera, Nara merasa seperti ada sinar yang menyinari bagian terdalam hatinya, yang selama ini gelap dan penuh keraguan. Namun, sinar itu juga datang dengan bayang-bayang yang semakin panjang, menggoda dirinya untuk berpikir apakah ia siap menghadapi kenyataan jika Rehan benar-benar kembali. Setiap kali ia memasuki rumah sakit, ia merasakan kegelisahan yang tak pernah pergi. Ada harapan, tapi ada juga ketakutan. Selama lima bulan ini, Nara sudah cukup banyak belajar tentang dirinya sendiri, tentang apa yang sebenarnya ia inginkan, dan tentang betapa berbedanya perasaannya terhadap Rehan. Sebelumnya, ia hanya berpikir bahwa ia mencintai Rehan. Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai merasakan sesuatu yang lebih kompleks—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar cinta. Ia merasa terikat, bukan hanya oleh kenangan, tapi juga oleh harapan yang tak terucapkan.Hari itu, seperti biasanya, Nara datang ke rumah sakit setelah
Happy ReadingHari-hari Nara setelah meninggalkan rumah sakit tidak mudah. Di luar, semuanya terlihat baik-baik saja, seolah-olah Nara telah sepenuhnya pulih dari masa lalu yang begitu menyakitkan. Namun, di dalam, ia merasakan sebaliknya. Walaupun ia berhasil mengambil langkah besar dengan meninggalkan Rehan, kenyataan bahwa ia harus terus melangkah sendirian membuat tubuhnya lelah, baik fisik maupun mental.Setiap pagi, Nara bangun dengan perasaan berat. Langkah-langkahnya terasa lebih lambat, pikirannya lebih kosong. Dunia di luar tampak terlalu ramai, penuh dengan suara-suara yang menggema dalam kepalanya. Tugas-tugas yang sebelumnya ia lakukan dengan semangat, kini terasa seperti beban yang tak terangkat. Mengurus *Bersuara*, memimpin gerakan sosial yang kini semakin besar, dan mengelola bisnis fashionnya, semuanya mulai terasa seperti tugas yang menumpuk tanpa akhir.Pada suatu pagi yang cerah, Nara terbangun dengan pusing di kepalanya. Ia mencoba bangun dari tempat tidur, namun
Happy Reading Malam itu, Nara terbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang telah terjadi. Rasa sakit yang ia rasakan bukan hanya karena tubuhnya yang lelah, tetapi juga karena beban yang ada di dalam dirinya. Setiap keputusan yang ia buat, setiap langkah yang ia ambil, terasa seperti beban yang semakin menumpuk. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, dan kadang-kadang, ia merasa seperti kehilangan arah.Namun, keesokan paginya, Nara bangun dengan perasaan yang berbeda. Walaupun tubuhnya masih merasa lelah, ada tekad yang baru tumbuh di dalam dirinya. Ia tahu, ia tidak bisa terus terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu. Ia tidak bisa terus membiarkan rasa cemas dan kesedihan menguasai hidupnya. Waktu untuk berlarut-larut dalam kesedihan sudah selesai.Nara mengatur nafasnya dalam-dalam dan berkomitmen pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjebak dalam kegelapan. "Aku akan lebih kuat. Aku akan kembali bangkit. Tidak ada waktu untuk menyerah," pikirnya.Setelah sarapan ringan, Na
Happy ReadingMatahari bersinar hangat di Zurich siang itu. Setelah berminggu-minggu penuh perjuangan, cemas, dan harapan, kini semuanya terbayar dengan manis. Nara sudah sepenuhnya pulih berkat pengobatan terbaik di Swiss. Wajahnya berseri, matanya bersinar penuh semangat yang baru, dan tawa kecilnya yang khas kembali memenuhi rumah.Hari itu, mereka semua berkumpul di halaman belakang villa kecil yang mereka sewa selama di Swiss. Sebuah perayaan kecil diadakan untuk merayakan kesembuhan Nara, keberhasilan Aiden dan Alea dalam ujian semester mereka, dan rencana besar yang mulai membentuk masa depan keluarga mereka.Alea berlarian kecil di taman, tertawa saat Aiden mengejarnya dalam permainan ringan mereka. Sesekali, Aiden dengan nakalnya mencolek pinggang Alea, membuat gadis itu berteriak geli sambil berusaha melarikan diri.Di bawah pohon apel yang rindang, Nara duduk di kursi rotan sambil menikmati teh hangat. Rehan duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut, se
Happy ReadingPagi yang cerah di Zurich terasa begitu sempurna. Aiden, yang biasanya serius dan terkadang terlihat sangat sibuk dengan pekerjaan dan urusan lainnya, tampak lebih santai hari ini. Setelah menikmati sarapan bersama Alea dan Nara, serta mendengarkan rencana liburan mereka yang semakin menyenangkan, Aiden merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.Nara, yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berbelanja dengan Alea, duduk di kursi ruang tamu, memandangi pemandangan luar jendela yang indah. Rehan, yang sedang mengatur jadwal pertemuannya lewat telepon, terlihat sibuk dengan pekerjaannya, namun tetap mencuri waktu untuk berbicara dengan keluarga.Aiden menatap Nara dan Rehan, dengan niat untuk meminta sesuatu yang cukup besar. Melihat momen yang pas, dia mengambil napas panjang dan akhirnya berkata, "Mami, papi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."Nara yang baru saja selesai memeriksa ponselnya, menoleh dan tersenyum pada Aiden. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan serius,"
Happy ReadingMinggu pertama liburan mereka di Swiss dimulai dengan suasana yang penuh kebahagiaan. Setelah ujian semester selesai dan kabar baik tentang pemulihan Nara yang semakin membaik, Aiden, Alea, Nara, dan Rehan memutuskan untuk menikmati liburan panjang di negeri yang terkenal dengan pegunungannya yang megah dan pemandangan yang menakjubkan ini. Mereka memutuskan untuk menjelajahi keindahan alam Swiss, menikmati kebersamaan mereka setelah melewati banyak tantangan.Pagi itu, mereka tiba di Zurich, kota terbesar di Swiss, dan langsung disambut dengan cuaca yang cerah dan udara segar yang begitu menyegarkan. Rehan, yang selalu merencanakan setiap perjalanan dengan teliti, memesan penginapan di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota, dekat dengan banyak tempat wisata terkenal. Setelah check-in dan beristirahat sejenak, mereka semua berkumpul untuk merencanakan petualangan mereka hari itu."Bagaimana kalau kita mulai dengan jalan-jalan di sekitar Zurich dulu?" Rehan meng
Happy ReadingAiden dan Alea duduk bersama di meja belajar, keduanya sangat fokus pada buku-buku mereka. Meskipun ujian semester sudah semakin dekat, mereka tidak bisa mengabaikan kabar bahagia yang baru saja mereka terima. Nara, yang sempat terbaring lemah di rumah sakit, kini mulai pulih berkat perawatan yang diterima di Swiss. Kabar ini membuat hati mereka sangat lega. Sejak mengetahui kondisi Nara membaik, mereka merasa seolah-olah beban yang ada di pundak mereka sedikit berkurang."Alea, kamu dengar kabar tentang Nara kan?" Aiden memecah keheningan sambil memandang wajah Alea, yang tampak lebih ceria dari biasanya.Alea mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, aku senang sekali mendengar bahwa Mami Nara mulai pulih. Aku bahkan tidak sabar untuk bisa bertemu dengan dia lagi. Mami Nara benar-benar wanita yang kuat, Aiden. Aku percaya dia akan kembali sehat seperti sediakala."Aiden mengangguk, matanya tampak penuh dengan kehangatan. "Aku juga merasa lega mendengarnya. Setelah semua
Happy ReadingSetelah keputusan untuk membawa Nara ke Swiss, perjalanan pengobatan dimulai dengan penuh harapan. Nara, yang sebelumnya sangat terpuruk karena kondisinya, kini merasakan sedikit perubahan positif berkat pengobatan yang intensif dan tepat sasaran. Di bawah pengawasan dokter ahli di salah satu rumah sakit terkemuka di Zurich, setiap hari menjadi langkah kecil menuju kesembuhan.Rehan, yang selama ini setia menemani Nara, merasakan betapa beratnya perasaan sang istri, tetapi ia tidak pernah menunjukkan kelelahan atau keputusasaan. Ia selalu berusaha memberikan dukungan terbaik untuk Nara, bahkan ketika terkadang dirinya sendiri merasakan kelelahan luar biasa. Namun, melihat Nara perlahan mulai pulih membuat hatinya tenang. Proses pemulihan Nara tidak hanya mempengaruhi tubuhnya, tetapi juga hatinya. Sinar kebahagiaan kembali menerangi wajahnya, meski masih ada sisa-sisa kelelahan yang harus dihadapi.Hari-hari di Swiss bagi Rehan dan Nara terasa sangat berbeda. Di tengah k
Happy ReadingHari-hari menjelang ujian semester semakin dekat, dan Aiden serta Alea semakin sibuk mempersiapkan diri. Meskipun banyak hal yang mereka hadapi dalam kehidupan pribadi, mereka tetap berfokus pada tujuan yang lebih besar—menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan. Alea, yang sudah beberapa kali terlibat dalam berbagai olimpiade, tahu betul bahwa persiapan yang matang adalah kunci. Sementara itu, Aiden, meskipun tertekan dengan keadaan keluarganya, tetap berusaha keras untuk belajar dan berfokus pada ujian.Setiap pagi, Aiden selalu menjemput Alea dengan mobil sport kesayangannya. Mobil itu, yang biasanya menjadi simbol kemewahan dan kesuksesan, kini menjadi alat untuk mendekatkan mereka berdua. Aiden tidak hanya mengandalkan mobilnya untuk mengantar Alea, tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih banyak, bertukar pikiran, dan saling mendukung.“Alea, siap untuk belajar?” tanya Aiden sambil tersenyum, mengingatkan Alea tentang hari yang
Happy ReadingMalam itu, setelah seharian penuh menjalani perawatan untuk Nara di rumah sakit, Rehan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal. Nara masih terbaring lemah, meskipun ada sedikit kemajuan. Rehan tahu bahwa mereka harus menghadapinya dengan sabar, meskipun terkadang rasa cemas itu begitu besar. Namun, hari esok adalah hari ujian semester bagi Aiden. Rehan merasa sudah waktunya Aiden untuk kembali pulang dan bersiap-siap. Sebelum berangkat, Rehan mendekati Aiden yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Rehan tahu betul betapa berat beban yang harus dipikul oleh Aiden, tetapi dia juga tahu, sebagai seorang anak, Aiden perlu waktu untuk menenangkan pikirannya."Aiden, pulanglah bersama Alea. Sudah saatnya kamu istirahat," kata Rehan dengan nada lembut, mencoba memberikan ketenangan. "Nara butuh dukungan kita, tapi kamu juga harus fokus pada ujian semester yang semakin dekat. Jangan biarkan perasaanmu menguasai,
Happy ReadingHari demi hari berlalu, namun keadaan Nara tak kunjung membaik. Meskipun telah mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan di Indonesia, kondisi tubuh Nara tetap lemah. Rehan dan Aiden semakin cemas, dan begitu banyak harapan yang terus digantungkan pada kesembuhan Nara. Namun, setiap pagi yang mereka lewati bersama Nara di rumah sakit semakin terasa berat. Nara masih terbaring lemah, tak banyak bergerak, dan wajahnya semakin pucat. Rehan bisa merasakan betapa tubuhnya tak lagi sekuat dulu.Suatu pagi, setelah berbicara dengan tim dokter di rumah sakit, Rehan merasakan ada sesuatu yang harus segera dilakukan. Dia tidak bisa terus berdiam diri menunggu perubahan yang tampaknya tak akan datang. Keputusan ini datang begitu mendalam, begitu mendesak. Dia tidak bisa hanya mengandalkan perawatan di Indonesia yang sepertinya sudah mencapai titik maksimal. "Saya rasa sudah waktunya kita mencari solusi lain," kata Rehan kepada Aiden, suaranya penuh dengan ketegasan dan kes
Happy ReadingSudah hampir seminggu Nara terbaring di rumah sakit, dan keadaan tubuhnya belum juga membaik. Rehan, Aiden, dan Alea tidak pernah meninggalkannya. Mereka bergantian menjaga Nara, selalu berada di sisinya, mendampingi setiap detik yang penuh kekhawatiran. Meski mereka berusaha tetap kuat di hadapan Nara, ada rasa cemas yang tak bisa mereka sembunyikan.Setiap kali Rehan melihat Nara terbaring lemah, hatinya terasa perih. Dia merasa seperti tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan ibunya. Walaupun sudah diberi penjelasan tentang penyakit yang diderita Nara, tetap saja tidak ada yang bisa menenangkan rasa takut di dalam dirinya. Nara adalah sosok yang selalu hadir dalam kehidupannya—wanita yang penuh kasih, yang selalu memberi dukungan. Namun kini, ia harus berjuang melawan kondisi tubuhnya yang semakin lemah.Pagi itu, Rehan berdiri di samping jendela rumah sakit, memandangi langit yang mulai cerah, namun hatinya tetap terasa gelap. Di luar sana, dunia berjalan seper