Share

KEJANGGALAN DI RUMAH

Saat ini Jihan dan Azlin sudah berada di kamar mereka. Sebenarnya Jihan masih terkejut oleh insiden tadi, ketika Azlin melarangnya membuka pintu ruangan tertutup di rumah mereka. 

Dengan wajah penuh kebingungan, dia mencoba memahami alasannya. “Mas, kenapa kamu melarangku membuka pintu itu? Memangnya apa yang ada di dalamnya?”

Azlin tersenyum, lalu menepuk-nepuk bagian sisi tempatnya duduk, meminta Jihan untuk duduk di sampingnya.

“Sayang, pintu itu adalah pintu ke ruangan tempat istirahat bapak. Sejak kecelakaan dua tahun lalu, bapak selalu meluapkan isi hati dan kesedihannya di sana. Dia pasti akan mengurung dirinya di sana.” Azlin menjelaskan sambil memainkan rambut panjang Jihan.

Meski tidak begitu puas dengan jawaban suaminya, Jihan mencoba memahami situasi yang menurutnya cukup rumit ini. Dia melihat ekspresi Azlin yang tampak campur aduk.

Jihan menatap Azlin dengan tatapan yang masih dipenuhi rasa penasaran. “Jadi, bapak kamu selalu mengurung diri di sana? Memangnya apa yang dia lakukan di dalam? Mengapa kalian tidak pernah membukanya?”

Tatapan Azlin berubah serius. “Kami hanya mencoba untuk menghargai keputusan bapak. Dia merasa nyaman dengan itu. Jangankan aku, bahkan ibuku juga tidak pernah masuk ke sana. Itu adalah ruangan pribadinya, tempat dia mencurahkan isi hati dan mungkin mengatasi perasaannya terutama pasca kecelakaan. Jadi, kuharap kamu pun mengerti dengan keinginan bapak.”

Jihan mengangguk paham, meskipun hatinya masih tetap merasa ada yang aneh dalam situasi ini. Dia mulai merasa bahwa ada beberapa hal yang belum dia ketahui tentang keluarga suaminya.

***

Keesokan paginya, Azlin terlihat sudah bersiap untuk berangkat kerja.

“Gantengnya suamiku,” kata jihan sambil merapikan pakaian suaminya.

“Udah ganteng dari lahir kali.” Azlin menjawil dagu istrinya dengan gemas.

“Sakit, Mas.” Jihan tampak merajuk manja pada sang suami.

“Maaf, Sayang. Sini kuobatin, tapi tutup matanya, ya,” pinta Azlin.

Jihan segera menutup kedua matanya. Perlahan Azlin mendekatkan wajah ke arah Jihan. Diam-diam Azlin mengecup dagu Jihan hingga membuat wanita itu tersenyum.

“Ini nya gak dikecup, Mas?" tanya Jihan sambil menunjuk bibir penuh seringai.

Tak banyak bicara, Azlin langsung menyambar bibir tipis Jihan. Kegiatan absurd itu pun selesai, karena Azlin harus berangkat bekerja.

Setelah Azlin pergi, tampak Puri, ibu mertua Jihan, melangkah ke arah teras di mana jihan masih berada di sana pasca melepas kepergian suaminya.

“Ibu mau pergi juga?” tanya Jihan dengan sopan.

“Iya. Jaga rumah ya,” jawab Puri sambil melangkah pergi.

“Baik, Bu.”

Jihan masuk ke dalam rumah. Dia berencana untuk mencuci piring. Saat selesai mencuci piring dan merapikan dapur, seorang perempuan yang tidak dikenal datang menemui Sugiono yang sedang berada di ruang tamu. 

Jihan yang penasaran, mencoba memasang telinga baik-baik. Ruang tamu yang sunyi menjadi saksi saat mereka berbincang.

“Mulai sekarang, kamu gak perlu kerja lagi, ya! Sudah ada menantuku yang bakal kusuruh masak,” kata Pak Sugiono dengan tegas.

‘Masak? Meskipun aku baru beberapa hari tinggal di sini, tapi aku tak pernah melihat perempuan itu memasak di sini. Siapa dia?' batin Jihan.

Jihan memberanikan diri untuk mengintip sedikit. Dia hanya bisa melihat bapak mertuanya, namun perempuan yang bicara dengan Pak Sugiono tak terlihat karena terhalang selendang yang menutupi kepala.

“Ini uang untukmu.” Sugiono dengan bijak menyerahkan sejumlah uang kepada perempuan tersebut sebagai tanda terimakasih atas pekerjaannya.

Dari kejauhan, Jihan yang masih mengintip, merasa kegelisahan mulai merayap di dalam hatinya akibat muncul beberapa pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.

Dalam hati, dia bertanya-tanya, ‘Sejak kapan perempuan itu masak di rumah keluarga ini? Sebelumnya Mas Azlin, pernah memberitahuku, bahwa yang selalu memasak di sini adalah ibunya.’

Jihan terus memperhatikan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Tapi semuanya masih belum jelas baginya. Azlin tak pernah menyinggung soal perempuan lain yang menjadi koki di kediaman mereka.

Perempuan itu tampak berpamitan untuk pergi. Jihan yang takut ketahuan, segera menjauh dari tempat tersebut.

Setelah menyelesaikan urusan rumah, Jihan memutuskan untuk mandi di belakang. Kamar mandinya berada di bagian paling belakang rumah ini. Terpaksa membersihkan tubuh di kawasan buntut rumah, sebab toilet di kamar mengalami mati kran.

Jihan tampak menggantungkan pakaian bersih untuk ganti, lalu melepaskan segala yang ada di tubuh, hingga ia merasa silir.

“Ya Tuhan, airnya seger banget,” gumam Jihan sambil mengguyurkan air ke tubuhnya.

Jihan terus melanjutkan ritualnya, tetapi tiba-tiba pintu toilet itu seakan ada yang menyenggol.

Jihan menoleh. Betapa kagetnya ia, tatkala melihat bola mata yang hadir dari celah pintu yang terbuka.

“Allahuakbar! Siapa itu? Woi!”

Dor! Dor! Dor!

Jihan spontan mengeraskan suara, menggedor pintu, bahkan refleks keluar tanpa bus4na.

Sayang! Sosok pengintip gagal ditemukan.

‘Siapa ya tadi? Aku yakin kalau tadi aku melihat mata seseorang. Rasanya mustahil kalau itu bapak. Dia kan duduk di kursi roda. Dia tidak bisa bergerak begitu cepat,’ batin Jihan. Mata tadi yang memperhatikannya telah menghilang begitu saja.

Jihan merasa sangat aneh dengan kejadian itu dan rasa was-was mulai menghantui pikirannya. Apalagi sejak tadi dia merasa ada yang tak beres dengan rumah suaminya. Jihan lemas seketika.

Saat itu adalah siang hari yang cerah. Sugiono memanggil Jihan dengan suara lembut.

“Jihan, bisa tolong masak untukku?" pinta Pak Sugiono dengan perhatian yang tak luput dari wajah ayu menantunya.

“Bapak mau dimasakin apa?” tanya Jihan dengan sopan, karena bagaimanapun Sugiono adalah bapak mertuanya.

Pak Sugiono tampak berpikir sebentar. “Apa kamu bisa memasak semur ayam kecap?”

Jihan mengangguk. “Bisa, Pak. Biar kumasak sekarang semur ayamnya."

“Bagus! Masak untuk kita semua, ya. Tapi nanti tolong siapkan nasi dan ayamnya sebanyak tiga piring lagi di atas nampan, ya.” Pak Sugiono masih bicara dengan vokal halus.

“Tiga piring lagi, Pak? Untuk siapa?” tanya Jihan dengan heran,

“Sudah, kamu jangan banyak bertanya. Kerjakan saja apa yang kuminta,” kata Pak Sugiono.

“E- eee, iya." Jihan kebingungan.

Selesai bicara, Jihan segera pergi pergi ke dapur lalu memasak. Saat kegiatan itu berlangsung, Jihan merenung tentang semua kejadian di rumah tersebut yang menurutnya aneh.

Dia merasa semakin curiga dan ingin mencari tahu apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Mulai dari ruang rahasia, hingga perempuan yang tadi datang menemui mertuanya.

“Pak, masakannya sudah siap. Aku juga sudah menata makanannya dalam tiga piring sesuai permintaan bapak tadi.” Jihan gegas melapor pada mertuanya.

“Bagus!” Pak Sugiono segera mengacungkan jempolnya.

Jihan melihat bapak mertua menggerakkan kursi roda ke arah kamar yang tidak boleh dibuka itu dengan membawa nampan berisi tiga piring sekaligus. 

Jihan membatin, ‘Bapak bawa tiga piring sekaligus ke bilik itu? Untuk apa? Mana mungkin dia sanggup memakannya sendirian. Apa ada sosok lain di sana?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status