Hampir dua puluh menit di dalam kamar, akhirnya pak sugiono keluar dengan tangan penuh nampan berisi piring kosong.
Ia melajukan kursi rodanya dengan mata memindai ke segala arah.
Pria beruban itu meninggalkan kamarnya dengan langkah hati-hati, membiarkan pintu berderit saat ditutup.
Entah apa yang sedang terjadi, yang jelas Jihan merasa perasaannya campur aduk ketika melihat mertuanya keluar dengan wajah sarat ketegangan. Jihanpun tertarik untuk memergoki pria paruh baya itu.
“Sudah selesai makannya, Pak?” suara Jihan mengejutkan Sugiono.
“Eh, kamu. Sudah habis nih, tolong piringnya!”
Sugiono menyodorkan piring kotor, untuk dimasukan kedalam westafle. Jihan memang sudah berniat untuk membantu sang mertua meski tanpa di suruh sekalipun.
Lepas menyimpan piring kotor itu di westafle, Jihan bergegas membuntuti mertuanya yang belum sampai di perbatasan pintu dapur.
“Pak!”
“Ada apa?” Sugiono menoleh dengan menatap Jihan naik turun dan manik matanya terhenti tepat di tengah area inti miliknya. Jihan menahan nafasnya untuk tidak kesal. Ia pun melangkah membuyarkan pandangan mertuanya.
“Nasi sebanyak itu, buat siapa? Kok bisa habis dengan cepat? Tidak mungkin bapak yang menghabiskan sendirian ‘kan?” tanya Jihan meluncur dengan lancar. Jihan hanya ingin menghabiskan rasa penasarannya.
Mata genit Sugiono berubah menajam. Rara sedikit tersentak ditatap olehnya.
Sejenak Sugiono terdiam, lalu menekan suaranya dalam. “Ck, sudahlah. Jangan tanya-tanya soal itu!”
Ia melemparkan pandangannya hendak pergi kembali.
Dengan hati yang berat Jihan menganguk meski dia tak terima jika dirinya harus mengangguk tanpa hal yang pasti. Belum juga Jihan melakukan kegiatannya, derit kursi roda Sugiono terdengar sepi. Jihan kembali menoleh dan melirik ke arah Sugiono hingga dua pasang mata mereka bertemu kembali.
Sugiono memandang Jihan dengan serius, seakan-akan ingin memastikan bahwa pesannya dipahami.
Sugiono berdecak angkuh, dan berkata, "Ingat! Jangan pernah mengadu sama Azlin ataupun Puri soal makanan ini."
“Kenapa, Pak?”
“Kan sudah aku bilang, jangan, ya jangan!” tekannya.
“Ba-baiklah,” jawab Jihan gagu.
Jihan diam sejenak, merenung, mencoba memahami peringatan mertuanya.
“Kamu ngerti kan, apa yang aku ucapkan?!” Sugiono memantapkan ucapannya lagi.
“Iya!” angguk Jihan singkat dengan suara sayunya.
Sambil mengulum angin dalam mulutnya, akhirnya jihan bergerak mendekati westafle yang masih bersisa dengan tiga piring kotor. Hatinya terus menggerutu ragu.
‘Aneh.’ Batin Jihan mulai terusik.
Jihan merasa kebingungan semakin menggelayuti dirinya. Kenapa gelagat mertuanya sangat mencurigakan, sampai-sampai Sugiono mengelak untuk memberikan penjelasan?
Jihan merasa ada yang tidak beres, tapi entah apa yang mengganjal di pikirannya. Namun dalam hatinya, Jihan sadar bahwa ia harus mencari tahu lebih banyak tentang misteri ini.
Jihan menipiskan pandangannya lalu begumam dalam hati, “Aku akan mencari tahu apa yang terjadi. Lihat aja, pokoknya suatu hari nanti mas Azlin harus tahu soal ini.”
***
Usai membersihkan piring di atas wastafel, Jihan pun menyeka tangan di baju area panggulnya. Ia menepis bolak-balik tangannya hingga butiran air mengering.
"Uh, akhirnya beres juga," ucap Jihan menghela nafas dalam.
Semua pekerjaan dan tugasnya hari ini sudah ia anggap selesai, mulai dari menyapu, memasak, membersihkan rumah, dan bahkan mencuci piring hingga wastafel benar-benar kosong.
Merasa cuacanya panas, Jihan berniat untuk membersihkan dirinya. "Kayaknya enak nih kalau mandi siang bolong gini. Mandi ah." Jihan lantas pergi ke kamarnya untuk mempersiapkan baju ganti.
Ditariknya kenop pintu bercat kan warna putih. Dan terbukalah kamar miliknya bersama sang suami.
Kembali Jihan merasa stress saat melihat pemandangan kamar yang tak mengenakan. Baju berserakan, dan beberapa barang tidak tertata pada tempatnya.
"Jadi istri gini banget sih. Semuanya aku yang beresin. Ck, Mas Azlin kenapa nggak nyimpen barang-barang ini pada tempatnya lagi? Padahal aku udah bosan, ngasih tahu dia. Ach, bete banget," keluh Jihan saat itu.
Memang belakangan hari ini, Jihan mengemas semuanya sendirian. Ibu mertuanya yang selalu sibuk arisan, tidak tahu menahu bagaimana pekerjaan rumah menumpuk.
Bertamasya, main, dan banyak lagi alasan ibu mertua untuk keluar rumah. Bahkan ia keluar rumah hanya sekedar untuk ikut mengekor di belakang Azlin, pergi ke toko bunga plastiknya.
Dengan tenaga sisa, Jihan mengemas semua pakaian sampai selesai, meskipun acara beres-beresnya dibumbui dengan keluhan-keluhan.
Ditariknya handuk bersih yang tersampir di atas kapstok kamarnya, lantas Jihan pun melangkah pergi menuju kamar mandi.
"Untung saja keran di kamar mandi ini sudah diperbaiki, jadi aku tidak usah mandi di belakang lagi," gumam Jihan sambil menyisipkan satu persatu baju yang akan ia pakai nanti setelah mandi.
Saat air keran mulai dibuka, sebuah bayangan terlintas dari benak jihan. Kala sebulat mata mengintipnya saat mandi kemarin, sungguh semuanya membuat Jihan trauma.
Jihan pun mengedarkan mata ke seluruh ruang kamar mandi tersebut, sebelum ia terjun mandi.
"Ah, aman." Jihan berkata sendiri seolah menyemangati.
Rasa segar pun mulai mengguyur seluruh tubuhnya. Jihan merasa kulitnya melunak, dan seluruh debu yang menempel di tubuhnya sudah terhempaskan.
Saat kakinya mulai melangkah keluar dari kamar mandi, mata Jihan sontak membola saat melihat sosok pria yang ia curigai, ternyata sudah ada di depan matanya.
Sugiono sudah nangkring tepat di depan pintu kamar mandi sambil mengelus-ngelus kain segitiga pribadi milik Jihan.
Jihan yang sudah memakai baju lengkap dengan baluttana handuk di kepalanya, refleks menjerit dan meraih kacamata pribadinya itu. "Bapak ngapain masuk sini sih? Bapak apakan kut4ng dan B3h4ku?"
Sugiono pun mendongak dan hanya bisa cengengesan. Tak peduli di depan matanya ada wanita yang sedang marah membara.
"Cantik! Kamu beli di mana? Bapak mau membelikan Ibu mertuamu juga, b3h4 persis seperti ini," ujar Sugiono tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Jihan mengendus nafas panas di hidungnya, lalu tak menjawab pertanyaan bapak yang nakal itu. Jihan lebih memilih untuk mendorong kursi roda pak Sugiono keluar dari kamarnya. "Lain kali, Jangan pernah pegang-pegang barang pribadiku ya, pak!"
Dengan kemarahannya, membuat Jihan tak bisa mengontrol diri. Ia yang ingin mencoba menormalkan kembali mood-nya lantas ia pergi untuk keluar rumah dan menenangkan diri tepat di depan teras rumah.
"Astagfirullah, ada-ada aja ulah si bapak. Bikin aku keder aja," rutuk Jihan berjalan ke sana kemari kemari. "Sh, kalau saja dia bukan mertuaku, udah aku jitak tadi," lanjut ucap Jihan gemas.
Setelah dirasa hatinya mulai tenang, Jihan pun kembali masuk ke dalam rumah. Langkahnya tak henti menuju sebuah pintu kamar yang hendak ia lewati. Langkahnya terjeda saat iya mendengarkan suara-suara aneh di balik pintu kamar bapak mertuanya itu.
"Hah?"
Jihan menarik mundur langkahnya dan meletakan telinganya di dasar pintu.
Suara d3sah4n pria terdengar extra, membuat seluruh bulu roma Jihan berdiri tegak.
"Sssh... Shhh... Shhh, k1w ... k1w ... Curukuk."
Wajah seketika memucat setelah mendengarkan penjelasan dari dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut."Bagaimana mungkin saya bisa menginap HIV, Dok?" tanya Sugiono yang masih tak percaya dengan penjelasan dokter tersebut. Suaranya bergetar."Ada beberapa faktor yang memungkinkan seseorang bisa tertular penyakit mematikan ini. Bisa melalui pemakaian obat-obatan terlarang dalam jangka panjang, penggunaan jarum suntik yang digunakan oleh beberapa orang dan yang paling fatal adalah melalui hubungan seks dengan seseorang sudah terjangkit HIV," paper dokter tersebut.Sugiono tampak terdiam mematung setelah mendengarkan pemaparan dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut. Seketika Sugiono teringat dengan Alda, karena hanya dengan perempuan itu sajalah belakangan ini dia melakukan hubungan badan.'Apa jangan-jangan Alda memang pengidap HIV AIDS? Sebelumnya tubuhku baik-baik saja saat berhubungan badan dengan Puri maupun dengan istri-istrinya Azlin,' batin Sugiono yang sebenarnya saat in
Malam telah beranjak semakin larut. Sugiono yang tadi sore sudah tertidur dengan lelap karena kelelahan, seketika terbangun. Dia terbangun karena merasakan ingin buang air kecil."Duh, gelap lagi. Ini jam berapa, ya?" tanya Sugiono pada dirinya sendiriSugiono pun beranjak menuju jendela sambil menyingkap gordennya. "Ternyata ini sudah malam. Pantes aja gelap. Kirain tadi ada pemutusan aliran listrik."Sugiono pun segera menyalakan semua lampu yang ada dalam rumah itu. Setelah itu dia bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk buang air kecil."Aaargh!" Sugiono memekik tertahan saat merasakan perih dan nyeri di sekitar kelelakiannya. "Loh, kok berdarah?"Kedua mata Sugiono terbelalak saat ia melihat air s*ninya berwarna merah. Keanehan di tubuh Sugiono makin hari makin menjadi-jadi, termasuk dengan air s*ninya yang berwarna merah tersebut.Setelah kegiatannya di dalam kamar mandi selesai, Sugiono pun beranjak ke arah ruang tengah. Dia menghempaskan tubuhnya ke arah kursi sambil mengh
Hari kian gelap. Gulungan awan hitam menyelubungi langit-langit.Tubuh Sugiono lelah menanti kedatangan seseorang di halaman depan rumah itu.Angin sesekali menyapa Sugiono dan meneriaki pria malang itu."Aaargh, sialan. Dingin banget sih!" kesal Sugiono menepuk nyamuk hitam yang hinggap bagian pipinya.Meskipun, dia sudah tertimpa kemalangan, tapi egonya masih meninggi. Ia bertindak seperti pemilik dunia."Kalau saja aku ketemu dengan Alda saat ini, aku akan mematahkan seluruh persendiannya. Aku akan kerjain dia sampai mulut anunya berbusa. Dasar manusia murahan. Lihat saja, aku akan melakukan semuanya," sumpah serapah Sugiono mulai meluap-luap.Tapi, power Sugiono kembali melemah saat dia melihat jalanan masih sepi. Wanita yang ia tunggu tak kunjung datang juga. Hati Sugiono terasa terkikis saat itu.Sugiono pun mengeluarkan ponselnya dan melihat dasar layar ponsel itu.Pria berkepala plontos itu lantas menekan nomor Alda di dalam phone booknya dan memijit tombol telpon untuk menyam
Sugiono semakin kaget saat tidak menemukan uang beserta ATM di dalam dompet."Ah, mana dompetku? Atmku? Uangku juga? Astaga, semua hilang? BAGAIMANA INI?" erang Sugiono merasa stres dan gila.Hanya kartu identitas saja yang tersisa di atas laci kamarnya."Ada yang tidak beres. Pasti, tadi ada maling di sinil" Ssugiono menggaruk kepalanya yang plontos botak.Dia meyakini kalau kontrakannya dimasuki garong darat.Sugiono memutar otaknya, dia memikirkan beberapa hal yang ia perbuat sebelumnya. "Alda," celetuk Sugiono saat tiba-tiba mengingat sosok wanita itu.Wajah dan ucapan Alda seakan menari-nari dalam ingatannya. "Ya, aku yakin ini semua ulah si cewek sialan itu," dengus Sugiono berwajah garang.la menghembuskan nafasnya panas. Lalu bangkit dari posisinya yang terpuruk setelah kehilangan segala karunnya.Laki-laki botak itu melenggang ke samping rumah sambil berkacak pinggang."Mana wanita itu?" Sugiono mendengus marah. Hingga kakinya mencapai halaman kontrakan Alda.Rumah hening dan
FLASH BACK ONAlda menangis di bawah titisan hujan.Wanita berdagu lancip itu menangisi kepergian ibu dan ayahnya yang mendadak meninggal secara tragis.Kala itu Alda masih berusia 17 tahun. Seorang teman yang sama-sama tinggal di satu kampung merangkul tangannya.Di bawah langit yang mendung, tubuh mereka basah kuyup terkena air hujan. "Jangan bersedih! Aku juga ditinggal orang tuaku, kok, bahkan sudah setahun lalu. Kamu bisa kerja sama aku. Nanti kita dapat banyak kemewahan dari para klien."Awalnya, Alda tak menghiraukan kata-kata orang di sampingnya, namun sesaat dia mencerna hingga keingintahuan Alda tentang hal yang dialami orang itu, ia pun menoleh."Apa maksud kamu?"Wanita di sampingnya lekas merangkul Alda dengan sebelah tangan kirinya. "Pokoknya, kamu ikut saja. Jangan banyak tanya, yang jelas seluruh kesedihan kamu akan hilang, dan kamu akan hidup bahagia.""Benarkah?"Teman Alda sejak kecil itu, lantas menarik tangannya tak bersyarat.Dilihatlah apartemen kawannya yang be
FLASH BACK ONRumah kontrakan yang kosong di sebelah kediaman Alda tiba-tiba kedatangan seorang lelaki paruh baya berkepala botak.Awalnya, Alda hanya memperhatikan dengan acuh, merasa bahwa kehadiran orang baru itu tidak memiliki berpengaruh besar bagi hidupnya.Namun, hari demi hari kehadiran lelaki itu mulai mencuri perhatian Alda. Pernah sekali- kali ia memergoki pria botak itu sedang mencuri pakaiannya saat ia mencoba mengeringkannya di bawah sinar matahari yang hangat."Apa yang di lakukan bapak itu, ya?" bisik hati Alda, lalu kembali masuk dan bersembunyi di balik pintu tanpa di ketahui oleh Sugiono.Alda yang terkejut, keesokannya ia memanggil teman-temannya untuk memberitahu mereka tentang peristiwa itu."Heh, kalian kenal sama bapak itu nggak sih?" tanya Alda saat dia berkumpul dengan orang- orang yang mengontrak lainnya."Nggak tahu tuh. Sepertinya bapak itu baru ya?" jawab dari wanita lainnya yang ia sebut sebagai teman."Iya bapak itu orang baru di sini," timpal rekan lai
Jihan terengah kesakitan. Nafasnya memburu oksigen sekitar."Lepaskan! Siapa kamu?" cecar Jihan yang kini sudah terjerat dalam ikatan tubuh pria itu.Kedua tangan Jihan dicengkram erat hingga sulit untuk melawan. Sedangkan tubuh mungilnya sudah ditindih oleh badan besar berdada bidang itu.Wajah asing yang menyergap Jihan sangat mencekam. "Diam kamu! Kalu tidak diam, nyawamu akan melayang," ancamnya.Jihan meronta sekuat tenaga. Tak ada cara lain untuk dia melepaskan diri, hingga ia melakukan cara lain semampu tenaganya."Cuihh!"Jihan menyemprotkan salivanya, hingga wajah pria itu terciprat cairan kental dari mulut Jihan."Blegedes! Berani sekali kamu? Kamu mau melawan?""Aku nggak akan diam saja, aku nggak sudi kedatangan tamu kaya binatang seperti kamu!" lawan Jihan menantang pria berbalutkan kaus hitam itu.Mata pria itu semakin tajam, ia menghempas nafas panas, seolah siap melahap mangsanya.Dalam ketegangan, pria asing itu merobek sebelah baju yang ia kenakan. Lantas menggulingk
Saat ini malam sudah semakin larut. Pria berusia 24 tahun itu tampak masih kelelahan setelah dikejar oleh anjing malam."Fiuh! Kakiku rasanya seperti mau lepas dari persendiannya. Andai saja tak ada truk tadi yang melintas dan membunyikan klakson, mungkin aku sudah menjadi korban keganasan anjing-anjing malam itu," gumam Azlin sambil nyekak keringatnya.Saat ini nafasnya bahkan masih ngos-ngosan. Azlin pun bersandar di tembok toko yang berada di pinggiran jalan besar tersebut."Aku harus ke mana lagi?" tanya Azlin pada dirinya sendiri. Bingung, sebab tak punya tempat tinggal.Azlin menatap jalanan yang tampak sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang saat ini melintas. Meski tanpa tujuan Azlin pun tetap melangkah meninggalkan lokasinya berdiri.Saat sedang melangkah, seketika kening Azlin mengernyit. Dia melihat seorang wanita tanpa hijab dengan bajunya yang sudah sangat kotor dan kumal, sedang tidur meringkuk di bawah tiang neon trotoar."Kenapa rasanya aku familiar sekali dengan gela
Pagi yang cerah menyapa Azlin dengan kebingungan di dalam hatinya.Ia berjalan luntang-lantung tak tentu arah. Sampai tibalah lapar yang tak tertahankan membuatnya merenung sejenak di sebuah lorong kecil."Ya tuhan, kemana lagi aku berjalan? Kemana aku harus cari uang?" keluh Azlin menghrmpaskan di pinggir trotoar.Matanya menyapu seluruh tempat itu, memandang dengan cermat keadaan sekitar.Hingga dia memutuskan untuk mengatasi masalahnya dengan mengunjungi pasar setempat.Meskipun langkah ini agak nekat, tapi Azlin yakin dia bisa menemukan cara untuk mengisi perutnya yang kosong.Saat tiba di pasar, dia melihat tumpukan barang-barang yang perlu diangkat oleh penjual. Ide langsung muncul dalam pikirannya."Hemh, apa aku bisa?" Pikir Azlin memutar otaknya.Azlin pun langsung menyambangi tempat seorang pria yang sedang bersusah payah mengangkat banyak barang."Maaf, Bapak. Apa aku bisa kerja pada bapak?" tanya Azlin ragu."Kerja? Maaf-maaf. Pelayan tokoku sudah terlalu padat. Aku juga h