Home / Romansa / RAHASIA TIGA HATI / Bab 6 Keributan Sore Itu

Share

Bab 6 Keributan Sore Itu

last update Last Updated: 2024-03-19 18:33:17

RAHASIA TIGA HATI

- Keributan Sore Itu

Livia terkejut begitu juga dengan Bre. Ia tidak menyangka bertemu wanita yang ingin dicarinya di sana. Niatnya tadi ingin menemui Alan untuk menanyakan keberadaan Livia. Justru bertemu wanita itu yang baru keluar dari rumah Alan.

Bre turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Rasa kaget tadi berubah menjadi tampang curiga di wajah lelaki tampan itu.

"Kenapa Mas di sini?" tanya Livia.

"Kamu kabur ke rumah Alan?" Bukannya menjawab, Bre berbalik tanya. Mereka saling menatap tajam. "Atau Alan yang membawamu kabur?"

"Jangan sembarangan kalau ngomong. Tahu kan apa alasan yang membuatku meninggalkan rumahmu, Mas."

"Aku kan sudah bilang, tunggu aku pulang dulu."

"Mamamu mengusirku. Jangan pura-pura tidak tahu. Nanti kutunjukkan semua pesan yang dikirim mamamu padaku."

Pada saat mereka berdebat, Alan menghampiri. Spontan Bre mengalihkan tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka pada lelaki tampan dengan postur tegap menjulang. "Jangan berdebat di sini, kita bisa bicarakan di dalam rumah," kata Alan dengan suara tenang. Tidak enak jika didengar dan diperhatikan oleh tetangga perumahan.

"Kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Livia ada bersamamu?" Bre menatap tajam Alan. "Kamu sengaja memanfaatkan keadaan untuk membawanya pergi, kan?"

"Kamu salah paham. Ayolah masuk rumah dulu, kita bisa bicara di dalam."

"Nggak usah. Aku mau mengajak istriku pulang," jawab Bre masih dengan nada tak bersahabat.

"Aku bukan istrimu lagi, Mas. Kamu ingat dengan talak yang telah kamu ucapkan, kan?"

"Selagi dalam masa iddah, aku berhak merujukmu."

"Aku nggak akan kembali. Keadaan kita tidak akan pernah berubah. Mas, nggak pernah membela kehormatanku saat dihina keluargamu. Kita cerai saja."

"Livi, please kita bisa bicarakan ini di dalam rumah. Nggak enak kalau masalah pribadi jadi tontonan orang." Alan kembali mengajak mereka bicara di dalam rumah.

"Ya, Mas," jawab Livia. Namun ketika hendak melangkah, tangannya di cekal oleh Bre. "Nggak perlu ke dalam. Aku ingin membawa Livia pulang."

"Lepasin." Livia menyentakkan tangannya hingga terlepas dari cekalan Bre. "Apa sih maumu, Mas. Heran aku dengan pendirianmu. Mas, ingin aku kembali tapi disisi lain Mas juga menyetujui perjodohan dengan Agatha."

"Aku sudah bilang kalau menolaknya."

"Mas, nggak tegas."

"Aku akan bicara dengan mama lagi kalau kamu ikut aku pulang."

Mereka saling tatap dan saling mengintimidasi. Sedangkan Alan membuang pandang ke arah lain. Dia tidak bisa terlalu dalam ikut campur urusan rumah tangga Bre dan Livia. Walaupun ia sangat memahami bagaimana perasaan Livia saat ini. Siapa yang bisa terima kalau ayahnya di hina.

"Mas, pulang saja. Aku nggak akan pernah kembali ke sana. Aku sudah siap bercerai darimu."

"Oh, kamu sudah keenakan tinggal sama mantan kekasih kakakmu di sini, makanya menolak kuajak pulang. Apa yang kalian lakukan selama tiga hari di sini?"

Baik Livia atau pun Alan sangat terkejut dengan ucapan yang bernada tuduhan dari Bre.

"Jangan sembarangan ngomong, Livi tinggal di homestay bukan di rumahku. Kamu bisa cek rumah itu. Livia butuh tempat tinggal sementara, menyiapkan mental untuk memberitahu ayahnya." Alan menunjuk rumah mungil minimalis di hadapannya.

Bre tersenyum sinis. "Jarak kalian tinggal, hanya beberapa meter saja. Nggak akan jadi penghalang untuk laki-laki dan perempuan tidur bersama."

Mendengar tuduhan itu membuat Livia menatap nanar Bre, dia tidak terima dengan tuduhan kotor itu. Sementara Alan yang berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya, masih bersikap tenang. Bukan tak ingin membela diri, tapi percuma bicara dengan lelaki seperti Bre.

"Sembarangan kamu ngomong, Mas," hardik Livia dengan mata melotot tajam dan tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya.

"Alan diam saja, berarti membenarkan ucapanku." Bre menatap Alan. Memancing amarah lelaki itu.

"Meski sekian lama kalian bersama, rupanya kamu nggak mengenali siapa Livi, Bre. Dia bukan perempuan murahan seperti yang ada dipikiranmu. Ternyata Livi memang tidak layak menjadi istri dari lelaki yang tidak tahu bagaimana memperjuangkannya." Setelah diam dengan semua tuduhan, akhirnya Alan meluapkan pembelaannya pada adiknya Selvia.

Bre marah dan melayangkan pukulan ke rahang Alan. Namun laki-laki itu dengan sigap bisa menghindarinya. Bre tidak terima saat pukulannya sia-sia di udara. Lelaki jago karate itu menyerang kembali Alan.

Livia cemas saat perdebatan tadi berujung pada perkelahian dua lelaki yang sama-sama jago bela diri. Serangan Bre yang membabi buta hanya dihindari oleh Alan tanpa melakukan balasan. Muay Thai termasuk bela diri yang paling keras di dunia, sehingga tidak sulit untuk menghindari atau menangkal pukulan Bre.

Wanita itu panik, apalagi dari beberapa rumah para ART yang memperhatikan dari balik pagar tampak ketakutan. Jam segitu para majikan mereka memang belum kembali dari bekerja.

"Hentikan, Mas!" teriak Livia.

Alan menjauh karena memang tidak mau menyerang balik, baginya percuma berkelahi dengan lelaki seperti Bre. Namun Bre yang tidak terima karena menyerang tanpa adanya perlawanan. Bagi Alan, apa yang ia kuasai bukan untuk menunjukkan kalau dirinya hebat dan kuat. Lagipula, jika ia bisa memukul dan melukai Bre, urusan bisa jadi lain kalau lelaki itu bersikap licik dengan melaporkannya ke polisi.

Melihat Bre terus mendesak, Livia yang geram. Dia mencuri kesempatan dan melakukan tendangan ke perut Bre, membuat laki-laki itu mundur ke belakang beberapa langkah.

"Kamu membelanya!" Bre menatap marah sambil memegangi perutnya.

"Iya. Kenapa? Mas, nggak terima!" jawab Livia. Walaupun jika berkelahi pun, ia tidak mungkin menang dari Bre.

Mendengar jawaban Livia, mata Bre merah menahan murka. Livia yang selama ini selalu mengalah padanya, kini terang-terangan membela lelaki lain.

Pada saat itu muncul beberapa bapak-bapak dari ujung gang. Mereka menghampiri karena mendengar ada keributan.

"Ada apa ini?" Seorang bapak bertubuh subur menegur lebih dulu. Menunjukkan rasa terganggu dengan apa yang terjadi.

"Dia membawa lari istri saya, Pak." Bre menunjuk Alan. "Bahkan mereka sudah tinggal serumah."

"Bohong, Pak. Mas Alan tidak membawa kabur saya. Saya yang pergi dari rumah karena saya sama suami sudah bercerai secara agama. Saya juga tidak tinggal serumah dengan Mas Alan. Tiga hari ini saya tinggal di homestay milik Pak Wuri," jawab Livia seraya menatap tajam Bre kemudian beralih pada lelaki bertubuh kerempeng, pemilik homestay.

"Iya. Mbak, ini yang kemarin menemui saya."

"Maaf Bapak-Bapak, kalau kami membuat keributan di sini. Sebenarnya ini hanya kesalahpahaman." Alan berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada pada keempat laki-laki yang berdiri di tengah jalan.

"Kalau masalah pribadi, sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan, Mas Alan," ujar seorang bapak berkaus kuning.

"Ya, Pak. Maaf."

"Kami kenal baik Mas Alan dan almarhum papanya Mas Alan, saya yakin kalau Mas Alan nggak mungkin membawa kabur istri orang. Lagian masih banyak gadis yang ngejar-ngejar Mas Alan. Ngapain bikin masalah dengan membawa kabur istri orang." Pak Wuri membela Alan.

"Makasih, Pak Wuri."

Kemudian Pak Wuri dan bapak komplek lainnya meninggalkan tempat itu.

Bre serasa dikuliti di sana karena mereka lebih jelas mengenal siapa Alan daripada dirinya. Dibenahinya kemeja kemudian menghampiri Livia. "Nggak akan kubiarkan laki-laki manapun memilikimu," ancamnya.

"Jangan mengancamku, Mas. Aku nggak pernah takut sendirian. Kehidupan mengajariku tidak lemah saat dipatahkan."

Tatapan Bre meredup. Jujur saja, bagaimanapun kasarnya kalimat yang keluar dari bibirnya, tapi hatinya telah remuk redam. Kekasarannya hanya untuk menutupi luka dalam dada.

Seketika itu ia merasakan kehilangan arah. Bingung memilih sikap karena sudah terlanjur marah melihat Livia bersama Alan. Untuk merendah minta maaf, ego lebih menguasai dirinya.

"Aku tunggu akta cerai kita."

Bre tidak menanggapi ucapan Livia, ia langsung masuk ke dalam mobilnya setelah menatap sekilas pada Alan.

"Kamu nggak apa-apa?" Alan menghampiri Livia yang tengah menangis tanpa suara.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Sekarang juga aku akan pulang ke rumah ayah. Daripada nanti timbul fitnah di antara kita. Mas Alan, nggak tahu apa-apa malah kena imbasnya."

"Kamu ingin memberitahu Om Syam sekarang?"

Livia mengangguk pelan. "Sekarang atau nanti, ayah tetap bakalan tahu juga."

"Kamu berkemas-kemas dulu, nanti kuantar."

Livia kembali ke homestay dan Alan masuk ke rumahnya.

Selesai berkemas, Livia meraih ponsel dan mengirimkan pesan dari Bu Rika pada Bre. Laki-laki itu tidak menjawab meski pesannya dilihat.

***L***

Pak Rosyam diam mematung setelah Livia menceritakan kemelut rumah tangganya. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Sebenarnya dalam diamnya dia juga tahu bagaimana perlakuan keluarga Bre pada putrinya. Namun masih berharap bahwa rumah tangga mereka akan tetap baik-baik saja.

Setelah keruntuhan bisnisnya, pihak besan kian berubah dan menjaga jarak. Padahal dirinya hanya menjadi korban fitnah. Namun sayang, posisinya sangat lemah untuk melakukan pembelaan. Belum lagi kenangan pahit kehilangan istri dan anaknya waktu itu masih menjadi trauma yang dalam.

"Nggak apa-apa, Nduk. Ikhlaskan saja. Kelak kamu akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik lagi." Pak Rosyam membelai rambut putrinya.

Alan yang masih di sana, diam duduk di sofa. Tadi Livia minta tolong supaya ditemani bicara dengan ayahnya. Sebab jika terjadi apa-apa bisa memberikan pertolongan. Ternyata ayahnya tidak syok seperti yang ia takutkan. Walaupun jelas sekali dari wajahnya kalau dia sangat terpukul.

"Ayah, nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku ikhlas jika pernikahanku selesai sampai di sini. Mereka boleh menghinaku, tapi aku nggak terima jika mereka menghina ayah." Livia memeluk lengan ayahnya.

"Maafkan ayah karena nggak bisa membelamu," ujar Pak Rosyam dengan suara serak.

"Nggak apa-apa. Ada Mas Alan yang membantuku. Yang penting sekarang ayah harus selalu sehat."

Sang ayah manggut-manggut, kemudian melepaskan kacamata dan menghapus air matanya.

"Aku juga minta tolong sama Mas Alan untuk mencarikan pekerjaan."

"Ayah nggak usah lagi pergi ke dokter. Ayah sudah jauh lebih baik sekarang ini, Liv."

"Tapi harus tetap kontrol untuk jantungnya, Ayah."

Pak Rosyam mengangguk pelan.

Setelah keadaan tenang, Alan pamitan. Dia mencium tangan Pak Rosyam lantas melangkah keluar di antar Livia. "Makasih banyak ya, Mas. Aku ngrepotin Mas Alan beberapa hari ini."

"Nggak apa-apa. Kalau ada sesuatu, segera hubungi aku."

"Hu um. Jangan lupa kalau ada lowongan pekerjaan untukku."

"Iya. Nanti aku kabari. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Livia masih berdiri di teras meskipun mobil Alan telah pergi. Akhirnya ia sampai juga di titik ini. Menyandang gelar janda tak lama lagi. Dia tidak akan mengemis untuk diperjuangkan oleh Bre. Laki-laki itu sudah jauh berubah ketimbang pada saat mereka berjuang untuk bisa menikah.

Sejak dulu Bu Rika memang tidak menyukainya. Entah apa alasannya. Mungkin karena dia lebih menyukai Agatha dan berharap perempuan itu yang menjadi menantunya. Atau ada alasan lain, Livia tidak tahu. Namun Alan pernah bilang, keluarga Bre pasti tahu banyak tentang runtuhnya bisnis keluarga Livia.

Agatha bukan wanita baru dalam hidup Bre. Mereka berteman semenjak masih sama-sama SMA. Tapi mereka kuliah di universitas yang berbeda. Bre bilang tidak pernah pacaran dengan gadis itu.

"Mbak Livia, bapak pingsan, Mbak!" teriakan Pak Tamin dari dalam rumah mengangetkan Livia.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (27)
goodnovel comment avatar
Risda Yanti
sedih' sekali nasib mbak Livia,
goodnovel comment avatar
Eka Trimahdalina
semoga dapat pengganti yg lebih setia utk livia
goodnovel comment avatar
Fhyra fira
wanita kuatt
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 209 Alone 4

    Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 208 Alone 3

    "Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 207 Alone 2

    Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 206 Alone 1

    RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 205 Suami Idaman 3

    "Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh

  • RAHASIA TIGA HATI   Bab 204 Suami Idaman 2

    Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status