Beranda / Pendekar / RAJA TANPA TAKHTA / Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

Share

Bab 6: Guru Pertama Mukhayyam

Penulis: mahmud23
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 10:27:31

Langit Desa Cindua berwarna abu-abu cerah pagi itu. Hembusan angin membawa aroma daun basah, menyegarkan udara desa yang tenang. Mukhayyam Hafiz melangkah dengan langkah mantap, membawa peta kuno yang dilipat rapi di saku bajunya. Ia berjalan menuju rumah Pak Bilal, pria tua yang kini menjadi tempatnya bertanya tentang misteri kitab dan peta yang ia temukan.

Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Pak Bilal berdiri di depan rumahnya, seperti menunggu kedatangan Mukhayyam. Wajahnya serius, tetapi ada percikan kegembiraan di matanya.

“Mukhayyam,” panggilnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Hari ini adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Sudah siap?”

Mukhayyam mengangguk. “Aku siap, Pak Bilal. Apa yang harus aku lakukan?”

Pak Bilal memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. “Kau sudah mempelajari dasar-dasarnya—kesabaran dan cara membaca peta itu dengan pikiran. Tapi perjalanan ini bukan tentang kau sendirian. Kau membutuhkan pembimbing, seseorang yang akan mengajarkanmu ilmu yang lebih mendalam. Aku hanya gerbang menuju jalanmu. Guru pertamamu yang sejati sedang menunggumu.”

Mukhayyam terkejut. “Guru pertama? Aku pikir… Anda yang akan menjadi pembimbingku, Pak Bilal.”

Pak Bilal tertawa kecil, suaranya serak tetapi hangat. “Aku terlalu tua untuk tugas seperti itu. Guru pertamamu adalah seseorang yang sangat menguasai seni beladiri. Ia tidak hanya akan mengajarkan cara bertarung, tetapi juga cara berpikir, cara mengendalikan dirimu.”

Pak Bilal melangkah masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan sebuah tongkat kayu berukir yang terlihat tua, tetapi kokoh. Tongkat itu ia berikan kepada Mukhayyam.

“Bawalah ini sebagai tanda bahwa kau telah melewati ujianku,” katanya. “Dan gunakan ini sebagai bukti bahwa kau adalah murid yang layak diterima oleh guru pertamamu.”

---

Mukhayyam mengikuti arahan Pak Bilal, berjalan kaki menuju lembah di sisi barat Desa Cindua. Perjalanan itu tidak mudah—jalan setapak yang ia lalui licin karena hujan semalam, dan pepohonan yang rimbun menutupi pandangan ke depan. Namun, di kejauhan, ia mulai mendengar suara aliran sungai, pertanda bahwa ia mendekati tempat yang dimaksud oleh Pak Bilal.

Setelah beberapa jam, ia sampai di sebuah gubuk sederhana di tepi sungai. Seorang pria bertubuh tinggi dan berotot berdiri di depan gubuk itu, mengenakan pakaian sederhana dan membawa pedang kayu di tangannya. Wajahnya tegas, dengan mata yang tajam seperti elang.

“Kau siapa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Mukhayyam membungkuk hormat, seperti yang diajarkan Pak Bilal. “Namaku Mukhayyam Hafiz. Pak Bilal mengirimku ke sini. Katanya Anda adalah guru pertama yang akan membimbingku.”

Pria itu mengangkat alisnya, terlihat tidak terkesan. “Bukti?”

Mukhayyam mengeluarkan tongkat kayu yang diberikan oleh Pak Bilal dan menyerahkannya. Pria itu memeriksanya dengan teliti sebelum akhirnya tersenyum tipis.

“Tongkat ini adalah tanda bahwa Pak Bilal mempercayaimu. Tapi aku tidak,” katanya dingin. “Jika kau ingin menjadi muridku, kau harus membuktikan bahwa kau layak.”

Mukhayyam mengerutkan dahi. “Bagaimana caranya, Tuan?”

Pria itu menunjuk sungai yang mengalir deras di sebelah gubuknya. “Di dasar sungai itu ada batu kecil berwarna hitam dengan ukiran unik. Kau harus menemukannya dan membawanya kepadaku sebelum matahari terbenam. Jika kau gagal, kau tidak layak menjadi muridku.”

---

Mukhayyam berdiri di tepi sungai, memandangi arus deras yang penuh bebatuan. Tugas ini tampak mustahil, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia menanggalkan sandalnya, mengencangkan ikat pinggangnya, dan melangkah masuk ke dalam air.

“Arusnya kuat sekali,” gumamnya sambil berusaha menjaga keseimbangan.

Setiap langkah terasa seperti pertarungan melawan kekuatan alam. Air yang dingin menusuk kulitnya, dan bebatuan licin di bawah membuat setiap langkah menjadi ujian. Namun, Mukhayyam tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari ujiannya, bagian dari proses untuk membuktikan dirinya.

---

Di tepi sungai, pria itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Gurutta Harun—memperhatikan dari kejauhan. Ia terlihat tenang, tetapi matanya mengawasi setiap gerakan Mukhayyam dengan cermat.

“Anak muda ini keras kepala,” gumam Gurutta Harun pada dirinya sendiri. “Tapi apakah ia memiliki tekad yang cukup untuk menghadapi apa yang ada di depannya?”

---

Setelah berjam-jam mencari, Mukhayyam akhirnya melihat sesuatu yang berbeda di dasar sungai—sebuah batu hitam kecil dengan ukiran aneh, seperti simbol kuno. Ia menarik napas panjang dan menyelam untuk meraihnya. Saat tangannya menggenggam batu itu, ia merasakan seolah-olah ada energi yang mengalir melalui tubuhnya.

Dengan susah payah, ia kembali ke permukaan dan menyeret dirinya ke tepi sungai. Tubuhnya gemetar karena kelelahan, tetapi ia merasa puas.

“Ini, Tuan,” katanya sambil menyerahkan batu itu kepada Gurutta Harun.

Gurutta Harun mengambil batu itu dan memeriksanya dengan teliti. Kemudian, untuk pertama kalinya, ia tersenyum lebar. “Kau berhasil, Mukhayyam. Kau telah membuktikan bahwa kau memiliki tekad dan keberanian. Mulai hari ini, kau adalah muridku.”

---

Malam itu, Mukhayyam duduk bersama Gurutta Harun di depan api unggun kecil. Mereka berbicara panjang lebar tentang banyak hal—tentang kehidupan, tentang tujuan, dan tentang apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin.

“Mukhayyam,” kata Gurutta Harun sambil menatap nyala api. “Beladiri bukan hanya tentang kekuatan fisik. Ia juga tentang kekuatan hati dan pikiran. Seorang pemimpin sejati tidak hanya harus kuat, tetapi juga bijaksana. Kau harus belajar untuk memahami orang-orang di sekitarmu, untuk melihat apa yang mereka butuhkan, bukan hanya apa yang mereka inginkan.”

Mukhayyam mendengarkan dengan saksama, merasa bahwa setiap kata Gurutta Harun adalah pelajaran berharga.

“Dan satu hal lagi,” lanjut Gurutta Harun. “Kau harus belajar mengendalikan dirimu. Emosi adalah senjata yang paling berbahaya—baik untuk dirimu sendiri maupun untuk orang lain. Jika kau tidak bisa mengendalikannya, kau tidak akan pernah menjadi pemimpin yang sejati.”

Mukhayyam mengangguk, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang belajar bertarung, tetapi juga tentang menjadi seseorang yang lebih baik.

Malam itu, ia tidur dengan hati yang penuh harapan, siap untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang akan datang di bawah bimbingan Gurutta Harun. Perjalanan panjangnya baru saja dimulai, tetapi ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki seorang guru yang percaya padanya, dan ia bertekad untuk tidak mengecewakannya.

Keesokan Harinya

Pagi itu, sebelum fajar menyingsing, Gurutta Harun sudah berdiri di depan gubuknya, menunggu Mukhayyam yang masih menggosok matanya karena kantuk.

“Cepat!” seru Gurutta Harun. “Pemimpin sejati tidak tidur terlalu lama. Dunia ini tidak akan menunggumu.”

Mukhayyam segera berdiri, meski tubuhnya masih terasa lelah setelah hari sebelumnya. Ia mengikuti Gurutta Harun menuju sebuah lapangan kecil yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Udara pagi yang dingin membuatnya menggigil, tetapi ia mencoba mengabaikannya.

“Latihan pertamamu adalah belajar mengendalikan tubuhmu,” kata Gurutta Harun. “Berdirilah di atas batu itu.”

Gurutta Harun menunjuk sebuah batu kecil yang licin di tengah sungai. Batu itu hampir tidak cukup besar untuk kedua kaki Mukhayyam.

“Berdiri di situ? Untuk apa?” tanya Mukhayyam bingung.

“Pertanyaanmu terlalu banyak,” jawab Gurutta Harun dengan nada tegas. “Lakukan saja.”

Mukhayyam mengikuti perintah gurunya dan melangkah ke atas batu itu. Ia segera menyadari betapa sulitnya menjaga keseimbangan di atas batu licin itu, apalagi dengan aliran air yang cukup deras di sekitarnya.

“Fokus!” seru Gurutta Harun dari tepi sungai. “Kau harus memusatkan pikiranmu. Jangan biarkan dirimu terganggu oleh air, angin, atau apapun di sekitarmu.”

Selama beberapa menit pertama, Mukhayyam hampir jatuh beberapa kali. Tetapi perlahan-lahan, ia mulai menemukan ritmenya. Ia mengatur napasnya, mencoba menenangkan pikirannya, dan fokus pada keseimbangannya.

Namun, Gurutta Harun tidak berhenti di situ. Ia mulai melemparkan kerikil kecil ke arah Mukhayyam.

“Latihan ini akan membantumu belajar untuk tetap tenang meskipun ada gangguan,” kata Gurutta Harun sambil melemparkan kerikil berikutnya.

Mukhayyam mencoba menghindar, tetapi setiap gerakan tambahan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir jatuh, tetapi ia menahan dirinya dan terus berusaha.

---

Percakapan Panjang di Malam Hari

Malam itu, setelah hari yang penuh dengan latihan fisik dan mental, Mukhayyam duduk di depan api unggun bersama Gurutta Harun. Keduanya terlihat lelah, tetapi percakapan mereka tidak pernah berhenti.

“Gurutta,” tanya Mukhayyam perlahan, “mengapa Anda memutuskan untuk mengajariku? Apa yang membuat Anda percaya bahwa saya layak menerima ilmu ini?”

Gurutta Harun menatap nyala api dengan mata yang penuh makna. “Pak Bilal adalah sahabatku. Ia tidak pernah merekomendasikan seseorang tanpa alasan. Tapi alasanku sebenarnya lebih dari itu. Aku melihat sesuatu dalam dirimu, Mukhayyam. Sebuah potensi yang mungkin bahkan kau sendiri belum menyadarinya.”

“Potensi?” Mukhayyam mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”

“Setiap pemimpin yang hebat dimulai dengan kerendahan hati,” jawab Gurutta Harun. “Dan aku melihat itu dalam dirimu. Kau tidak sombong, kau mau belajar, dan kau punya tekad untuk melindungi orang-orang yang kau cintai. Itu adalah kualitas yang jarang ditemukan.”

Mukhayyam terdiam sejenak, merenungkan kata-kata gurunya. Ia merasa bangga, tetapi juga merasa ada beban tanggung jawab yang semakin besar di pundaknya.

“Namun, jangan salah paham,” tambah Gurutta Harun. “Potensi saja tidak cukup. Kau harus bekerja keras, menghadapi rasa sakit, dan mungkin kehilangan banyak hal dalam perjalanan ini. Apakah kau siap untuk itu?”

Mukhayyam mengangguk tegas. “Saya siap, Gurutta. Apapun yang terjadi, saya tidak akan mundur.”

Gurutta Harun tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Mukhayyam. “Bagus. Besok kita akan mulai dengan pelajaran yang lebih berat.”

---

Pelajaran yang Tak Terduga

Keesokan harinya, Gurutta Harun membawa Mukhayyam ke sebuah gua di kaki Gunung Cindua. Gua itu gelap dan dingin, tetapi di dalamnya terdapat ruang terbuka yang cukup luas. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kolam kecil dengan air yang jernih.

“Di kolam itu,” kata Gurutta Harun, “terdapat sesuatu yang akan membantumu memahami inti dari kekuatan sejati.”

“Apa itu?” tanya Mukhayyam penasaran.

“Kau harus menemukannya sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Tapi hati-hati, karena apa yang kau cari mungkin tidak seperti yang kau harapkan.”

Mukhayyam melangkah mendekati kolam itu, merasa sedikit gugup. Airnya begitu tenang sehingga ia bisa melihat bayangannya sendiri di permukaan. Ketika ia mencelupkan tangannya, ia merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada energi yang mengalir melalui tubuhnya.

“Mukhayyam,” panggil Gurutta Harun, suaranya bergema di dalam gua. “Apa yang kau lihat di permukaan air itu?”

“Saya melihat bayangan saya sendiri,” jawab Mukhayyam.

“Itulah musuh terbesar yang akan kau hadapi sepanjang perjalananmu,” kata Gurutta Harun dengan nada serius. “Dirimu sendiri. Ketakutanmu, egomu, keraguanmu—semuanya ada di sana. Jika kau tidak bisa mengalahkan bayangan itu, kau tidak akan pernah bisa mengalahkan musuhmu yang sebenarnya.”

Kata-kata itu menghantam Mukhayyam seperti petir. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menguasai kekuatan fisik, tetapi juga tentang menghadapi kelemahan-kelemahan dalam dirinya.

---

Akhir Hari yang Melelahkan

Setelah berjam-jam berlatih di gua itu, Mukhayyam kembali ke gubuk Gurutta Harun dengan tubuh yang terasa seperti habis dihajar badai. Namun, hatinya penuh dengan semangat baru. Ia merasa bahwa ia mulai memahami apa yang dimaksud dengan menjadi seorang pemimpin sejati.

Di depan api unggun, Gurutta Harun memberikan sebuah gulungan kertas kepada Mukhayyam.

“Ini adalah peta yang akan membimbingmu ke langkah berikutnya,” katanya. “Namun, perjalanan itu tidak akan mudah. Kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik daripada sebelumnya.”

Mukhayyam membuka gulungan itu dan melihat sebuah simbol yang tidak asing—simbol yang sama dengan yang ada di batu hitam yang ia temukan di sungai.

“Apakah ini terkait dengan kitab kuno yang diberikan Pak Bilal?” tanya Mukhayyam.

Gurutta Harun tersenyum tipis. “Itu adalah bagian dari teka-teki besar, Mukhayyam. Tapi kau akan memahami semuanya pada waktunya. Untuk saat ini, fokuslah pada pelatihanmu.”

Mukhayyam mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia merasa bahwa ia berada di jalan yang benar. Bersama Gurutta Harun, ia siap menghadapi apa pun yang menanti di depan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 39 Pertemuan Tak Terduga dengan Kekuatan Super

    Pagi itu, cahaya matahari yang menembus dedaunan di pinggir hutan menyambut langkah Mukhayyam dan Raniah. Kharun telah mengantar mereka hingga ke tepi hutan dan memberikan arahan terakhir. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang terasa berbeda—lebih asing dan penuh misteri. Bahkan udara di sini seakan mengandung energi yang tidak biasa.“Raniah,” Mukhayyam berkata pelan, sambil sesekali memperhatikan sekitar, “apa kau merasakan sesuatu yang aneh?”Raniah mengangguk, matanya terus waspada. “Aku merasa seperti diawasi. Bukan oleh manusia... tapi sesuatu yang lain.”Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah lembah yang tampak sunyi. Di sana, bebatuan besar bertumpuk seperti sisa-sisa bangunan kuno. Di tengah-tengah lembah itu, sebuah pohon raksasa berdiri megah, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.“Apa tempat ini?” Raniah bergumam.Mukhayyam mendekati pohon itu perlahan. Ada sesuatu yang memancar dari pohon i

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 38 Dunia yang Lebih Besar daru Desa Cindua

    Langit pagi merekah dengan semburat warna oranye ketika Mukhayyam berdiri di tepi bukit kecil yang membatasi Desa Cindua dengan dunia luar. Raniah berdiri di sisinya, memandang ke arah yang sama, di mana bentangan luas hutan, sungai yang mengular, dan pegunungan di kejauhan membentang sejauh mata memandang. Itu adalah pertama kalinya Mukhayyam melihat dunia luar begitu nyata—begitu besar, begitu penuh misteri."Jadi, inilah dunia yang selama ini berada di luar batas Desa Cindua," gumam Mukhayyam, suaranya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan yang tak terbendung."Ya," jawab Raniah pelan. "Ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap langkah yang kita ambil menjauh dari Cindua, semakin banyak hal yang akan kita temui. Tantangan baru, orang-orang baru, dan, tentu saja, pelajaran baru."Mukhayyam menoleh ke arah Raniah. "Apakah kau pernah merasa takut, Raniah? Kau sudah lebih banyak berkelana dibanding aku. Apakah dunia luar ini pernah membua

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 37 Pencarian Arti Sebenarnya dari Kekuasaan

    Mukhayyam dan Raniah duduk di bawah pohon besar, di tepi sungai yang tenang. Suara gemericik air mengalir lembut, menciptakan suasana yang sejuk dan menenangkan. Namun, di dalam hati Mukhayyam, perasaan gelisah masih terus mengganggu. Perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—ke sebuah titik di mana mereka mulai memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya terkait dengan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung. Itu lebih dari sekadar hal yang terlihat di luar. Kekuasaan sejati, Mukhayyam menyadari, adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks.“Apa yang sebenarnya kita cari, Raniah?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh kebingungan. “Aku merasa kita terus berjuang, tetapi aku tidak bisa merasakan arti dari semua ini. Apa tujuan kita sebenarnya? Apa arti dari semua kekuasaan yang kita peroleh?”Raniah menatapnya dengan tatapan serius. Dalam perjalanan mereka, ia telah melihat perubahan besar dalam diri Mukhayyam—perubahan yang membuatnya menjadi l

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 36 Menghadapi Musuh dalam Diam

    Desa itu, yang sebelumnya terasa sunyi, kini tampak lebih misterius. Mukhayyam dan Raniah melangkah pelan di belakang pria tua yang sebelumnya mereka temui. Suara langkah mereka serasa tenggelam dalam keheningan hutan, seolah dunia di sekitar mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Jalan setapak yang mereka ikuti semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seakan menutupi matahari. Hanya cahaya remang-remang yang berhasil menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.Mukhayyam merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ada perasaan tak nyaman yang merayapi tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang. Perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ia menatap Raniah, yang tampak tidak begitu terganggu meskipun suasana semakin mencekam.“Kita tidak bisa hanya berjalan begitu saja,” Mukhayyam berbisik pelan. “Ada sesuatu di sini, Raniah. Aku bisa merasakannya. Kita sedang diawasi.”

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 35 Langkah Maju ke Dunia Luar

    Mukhayyam berdiri di tengah kegelapan, tubuhnya terasa beku oleh apa yang baru saja ia alami. Dia telah menerima bagian dari dirinya yang tersembunyi, kegelapan yang telah lama ia hindari. Kini, setelah menerima kenyataan itu, ia merasa ada sebuah kekuatan yang berbeda mengalir dalam dirinya, seolah beban yang membebani jiwanya selama ini mulai terangkat.Di depannya, sosok yang menyerupai dirinya tersenyum tipis, namun tatapan itu penuh dengan kedalaman. “Kau telah melangkah lebih jauh dari yang bisa dibayangkan, Mukhayyam,” kata sosok itu dengan suara yang memantul di dalam kegelapan. “Kini, dunia luar menunggumu. Namun, apakah kau siap dengan apa yang akan datang?”Mukhayyam menatap sosok itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa yang akan datang? Apa yang aku hadapi setelah ini?”Sosok itu tertawa pelan, seolah tahu bahwa Mukhayyam sedang berjuang untuk memahami makna dari pertemuan ini. “Kekuatan itu ada di dalam dirimu, Mukhayyam. Tetapi dunia l

  • RAJA TANPA TAKHTA   Bab 34 Mukhayyam dan Pengorbanan Tak Terduga

    Mukhayyam dan Raniah berdiri di depan altar besar di tengah kuil. Mahkota kuno yang bersinar keemasan di atasnya tampak begitu agung, seolah menjadi pusat dari segala kekuatan yang tersembunyi di tempat itu. Namun, suasana di dalam ruangan terasa berat, seperti ada energi yang terus menekan jiwa mereka. “Mukhayyam,” Raniah berbisik pelan, matanya tak lepas dari mahkota itu, “kau yakin ini yang kita cari?” Mukhayyam menatap mahkota itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak tahu apakah ini benar-benar jawabannya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari perjalanan kita. Rahasia tentang takhta yang hilang mungkin terkunci di dalamnya.” Mereka melangkah lebih dekat ke altar. Namun, ketika Mukhayyam hendak menyentuh mahkota itu, sebuah suara dalam yang menggema menghentikannya. “Berhenti.” Suara itu terdengar dari segala arah, seperti berasal dari dinding kuil itu sendiri. Mukhayyam dan Raniah membeku di tempat mere

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status